10

591 38 16
                                    

"Usahakan Nayeon, Bibi sangat butuh uangnya. Kamu mau Bibi sama Paman-mu di penjara?!"

"Uang enam puluh lima juta itu banyak, Bi. Aku harus cari kemana uang sebanyak itu!" ucap Nayeon frustasi.

"Kalau memang kamu tidak sanggup maka jalan satu-satunya kita harus jual rumah peninggalan orangtuamu."

"Nggak mau, Bi. Itu satu-satunya peninggalan Mama sama Papa. Aku mohon jangan dijual."

"Kalau kita jual rumah orangtuamu hutang Bibi bisa lunas dan masih ada sisa untuk kamu membeli rumah yang lebih kecil jika tidak ingin tinggal dengan kami saat pulang."

"Kenapa bukan rumah Bibi dan Paman saja yang dijual? Kenapa harus rumah orang tua aku?" tanya Nayeon yang terkesan berani.

Untuk pertama kali dalam hidupnya Nayeon membangkang permintaan Bibinya. Terdengar hembusan napas Bibinya yang kesal dan marah. Nayeon memejamkan matanya bersiap menerima amukan Bibinya.

"Kamu mulai berani ya mengatur orangtua. Kalau bukan karena kamu yang sakit-sakitan sejak kecil keluarga Bibi gak akan kesulitan dan banyak hutang sampai sekarang!"

Lagi-lagi kalimat itu. Kalimat yang selalu Bibinya lontarkan saat memarahi Nayeon. Saat kecil Nayeon yang sudah di tinggalkan orang tuanya karena kecelakaan dan meninggal di tempat membuat Nayeon yang juga terlibat dalam kecelakaan itu mulai sakit-sakitan sampai ia masuk sekolah dasar.

"Kamu harus inget Nayeon kalau Bibi terpaksa berhutang untuk menghidupi kamu juga. Orangtuamu tidak meninggalkan apa-apa untuk kamu selain rumah tua itu. Bersyukur Bibi sudah membayar setengah hutang dan apa salah jika setengah lagi Bibi minta bantuan kamu?"

"Iya Bi, maaf ya aku akan usahakan untuk mencari uangnya. Jangan di jual rumahnya, beri aku waktu seminggu." ujar Nayeon menyerah dengan suara seraknya.

"Seminggu kelamaan Nayeon para rentenir itu cuma beri waktu sampai besok dan uangnya harus ada."

"Kenapa Bibi mendadak banget memberi tahu aku?"

"Karena Bibi sudah buntu, tadinya Bibi tidak mau membebani kamu."

"Tiga hari ya Bi waktunya. Aku janji pasti kirim uangnya ke Bibi."

"Nah gitu baru keponakan Bibi. Temanmu kan banyak pasti orang kaya kamu pinjam ke mereka atau kalau perlu cari lelaki yang bisa kamu pinta uangnya."

Nayeon hanya bisa menahan diri mendengarnya dan memilih untuk mengalah.

"Iya, Bi. Aku tutup ya, selamat malam."

Tubuh Nayeon yang lemas ia baringkan bersamaan dengan ponselnya di ranjang kecil kamar dalam kafe. Tidak terasa air matanya menetes keluar memikirkan situasi
sulit yang tengah membelitnya. Darimana ia harus mendapatkan uang sebanyak enam puluh lima juta hanya dalam tiga hari? Kenapa Bibinya harus berhutang pada rentenir yang memberikan bunga yang begitu membengkak.

Tidak ada tempat untuk bersandar ataupun mengadu untuk Nayeon. Dari dulu ia terbiasa menghadapi situasi apapun dan enggan untuk melibatkan orang lain tapi untuk masalah kali ini ia sepertinya butuh seseorang untuk membantunya. Kalau Sana apa mungkin sahabatnya bisa membantu meminjamkan uang sebanyak itu? Lalu Taehyung dan Dahyun? Sepertinya bukan pilihan yang bagus. Nayeon baru mengenal mereka dan akan sangat terkesan tidak tahu malu jika sampai nekat meminjam pada mereka.

"Arghh." Nayeon mengacak rambutnya frustasi karena tidak menemukan jalan untuk pemecahan masalah.

Jeongyeon. Tiba-tiba terlintas pikiran Nayeon pada pria itu. Namun ia langsung menggeleng merasa ide paling buruk jika harus meminta pertolongan pada Jeongyeon. Apalagi setelah beberapa jam lalu ia menampar Jeongyeon dengan nekat. Ia tidak mau Jeongyeon meremehkannya.  Lama berpikir Nayeon memutuskan untuk tidur dan berharap hari esok akan lebih baik. Semoga permasalahan hidupnya bisa segera diatasi.

 𝓂𝓎 𝒷𝑒𝓈𝓉 𝒻𝓇𝒾𝑒𝓃𝒹'𝓈 𝒹𝒶𝒹Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang