29

447 28 7
                                    

Nayeon masih menangis terisak sejak satu jam yang lalu di dalam selimut kamar Jeongyeon yang kini juga telah menjadi kamarnya. Ucapan orang-orang yang ditujukan padanya masih terngiang di telinga Nayeon. Segala ucapan yang terkesan sinis, sindiran, bahkan kalimat meremehkan dengan begitu mudahnya orang-orang tujukan padanya.

Tadi sore saat Nayeon tengah sendiri karena Jeongyeon yang masih di kantor dan Sana yang mendadak ada urusan keluar rumah tiba-tiba saja datang begitu banyak orang. Mereka semua adalah keluarga dekat Jeongyeon dan ada juga keluarga dari mami Sana. Mama Jeongyeon pun ikut serta datang.

Nayeon yang saat itu tidak tahu apa-apa langsung ikut menyambut bersama dua asisten rumah tangga Jeongyeon. Awalnya semua berjalan baik sampai akhirnya beberapa orang yang tengah berkumpul di ruang keluarga saat tengah menunggu makan malam mulai berbincang mengenai Nayeon dan Jeongyeon yang tidak enak untuk di dengar.

"Aku tidak habis pikir dengan Jeongyeon setelah sekian lama menduda malah menikahi gadis yang seumuran dengan Sana." Salah satu dari mereka mulai berbicara Nayeon yang tahu merupakan sepupu Jeongyeon.

Nayeon yang saat itu baru keluar kamar tentu langsung mendengar begitu jelas karena lokasi kamar Jeongyeon dan ruang keluarga begitu dekat yang hanya terpisah oleh sekat pembatas ruang.

"Benar, mana hamil di luar nikah lagi. Pasti gadis itu gak bener dan hanya ingin harta Jeongyeon saja." Balas yang lainnya dengan suara yang bahkan tidak repot-repot dikecilkan.

"Nah benar. Melihat background keluarga gadis itu yang jauh dengan keluarga kita saja sudah terlihat jelas kalau gadis itu hanya ingin harta Jeongyeon." Sahut salah satu kakak perempuan Jeongyeon.

"Awas dia dengar, jangan terlalu keras."

"Tidak apa-apa, sekali-kali kita harus melatih mental dia kalau tidak ada cinderella di dunia nyata."

"Setuju, jadi manusia jangan lembek lah. Syukur-syukur Jeongyeon mau sama dia yang bukan siapa-siapa."

"Kakak menyesal dulu saat adik mendiang mama Sana belum menikah tidak di jodohkan saja dengan Jeongyeon."

"Setidaknya keluarga mama Sana lebih sepadan dengan kita dibanding keluarga gadis itu."

"Gadis itu hanya bermodalkan wajah dan tubuh yang cantik serta pasti pintar menggoda."

"Kalian!" tiba-tiba mama Jeongyeon datang dan langsung menghentikan percakapan yang terdiri dari lima orang sedari tadi.

"Sudah cukup dan jangan terlalu jauh menilai seseorang."

Nayeon yang berniat bergabung tentu langsung membatalkan niatnya dan memilih kembali masuk ke dalam kamar. Tangis Nayeon langsung pecah di dalam kamar Jeongyeon yang beruntung kedap suara sehingga ia bisa sepuasnya mengeluarkan tangis. Nayeon tidak tahu kesalahannya apa pada semua orang yang ternyata begitu membencinya. Hanya karena ia berasal dari keluarga yang tidak sepadan dengan Jeongyeon bukan berarti mereka bisa berbicara seperti itu. Nayeon sangat ingin membalas perkataan semua orang namun ia masih tidak berani dan takut nantinya akan menjadi masalah besar. Ditengah tangisnya yang masih belum reda dengan tubuhnya yang bergetar Nayeon tiba-tiba mendengar suara pintu kamar yang terbuka lalu tertutup kembali. Ia sebisa mungkin bersikap tenang agar Jeongyeon yang Ia yakini masuk ke dalam kamar mengiranya sudah tertidur. Air mata Nayeon masih turun ditengah dirinya yang menahan napas agar tidak membuat Jeongyeon curiga. Ia berdoa semoga Jeongyeon tidak mendekatinya dulu karena ia tidak ingin suaminya itu tahu keadaan dirinya.

"Sayang." Jeongyeon duduk di pinggir ranjang dekat Nayeon yang berbaring begitu tenggelam di dalam selimut bahkan kepala istrinya itu tidak terlihat.

Nayeon masih tetap tenang dan menahan ujung selimut agar tetap menutupi kepalanya.

 𝓂𝓎 𝒷𝑒𝓈𝓉 𝒻𝓇𝒾𝑒𝓃𝒹'𝓈 𝒹𝒶𝒹Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang