"Ah, i-itu, a-aku hanya ingin melihat kursi pijat di kamar papa. Ya, kursi pijat papa, ini badanku pada sakit habis begadang diajak teman lihat proyek jalan, jadinya pengen dipijat. Lumayanlah lima menitan, Sayang. Badanku enak lagi. Nanti kalau aku punya uang, aku akan beli kursi pijat seperti yang di kamar papa. Enak banget, pijatannya pas. Ayo, temani aku makan!" Lusia tidak sempat mengomentari jawaban suaminya. Tangannya sudah terlanjur ditarik ke ruang makan.
Edmun nampak gelisah karena uang yang ia sembunyikan di dalam baju kemejanya, membuat kulit perutnya gatal. Pria itu makan dengan cepat karena ia harus segera pergi dari rumah mertuanya.
"Kalau kamu masih betah di sini, kamu di sini saja dulu, Sayang. Aku mau melakukan perjalanan bisnis ke Bali. Doakan semua lancar ya." Bola mata Luisa membesar. Ia senang dengan perkataan Edmun yang sepertinya sudah memulai kembali bisnisnya.
"Beneran, emang udah mulai lagi, Mas? Sama siapa?" tanya Luisa antusias.
"Ada temen kuliah dulu. Kemarin ketemu dan ajak bisnis bareng penginapan di Bali gitu. Doakan lancar ya, Sayang. Oh, iya, mmm... gak jadi deh! Aku berangkat ya, kamu hati-hati di rumah. Tidur di rumah kita juga gak papa, temani Nonik sekakian."
"Iya, Mas, kamu juga hati-hati ya. Semoga urusannya lancar. Minggu depan aku harus bayar arisan sepuluh juta ya, Mas, semoga sudah ada duitnya. Sepuluh juta aku main tiga nomor ya, jadi tiga puluh juta." Edmun mengangguk, lalu mencium tipis bibir istrinya.
Uang arisan saja satu grup tiga puluh juta. Belum grup yang lima jutaan dan grup dua puluh lima juta. Jika ia tidak kerja banting tulang, darimana ia dapatkan uang untuk membayar arisan istrinya. Dahulu, uang puluhan juta yang ia keluarkan untuk Luisa, sama sekali tidak pernah menjadi bebannya. Namun, setelah ia terjerat utang dengan Levi, dengan memaksakan diri menanam saham dengan usaha teman-teman yang baru merintis, akhirnya ia sendiri yang jatuh miskin. Ya, bisa dikatakan miskin karena ia sampai nekat merampok uang dan juga surat berharga mertuanya.
Edmun pulang ke rumah. Ia masuk ke kamar untuk membawa beberapa helai pakaian. Tas ransel kemping ia gunakan untuk membawa baju-baju dan juga beberapa berkas penting yang berkaitan dengan usahanya.
Bik Noni terheran saat melihat majikannya pulang dengan tangan hampa, tetapi keluar lagi dengan membawa tas ransel besar.
"Tuan mau ke mana?" tanya Bik Noni saat wanita itu sedang menyapu ruang tamu.
"Saya ada urusan kerjaan ke Malang, Bik. Oh, iya, uang belanja saya bisa kasih satu juta dulu ya. Luisa sedang menginap di rumah papanya. Jadi kamu bisa sedikit santai. Dihemat uang belanjanya ya karena saya paling baru balik minggu depan." Edmun memberikan sepuluh lembar uang merah dari segepok uang yang ia curi dari brangkas mertuanya. Uang itu ia berikan pada Noni karena memang ia sudah berjanji untuk memberikan uang belanja.
"Oh, naik, Tuan, semoga kerjaannya lancar. Hati-hati, Tuan." Bik Noni mengantar Edmun yang keluar dengan tergesa. Ojek online sudah menunggu majikannya itu di depan pagar.
Edmun bukan pergi ke Malang ataupun Bali, tetapi pria itu pergi ke rumah mamanya. Ya, pria itu memutuskan untuk bersembunyi di rumah mamanya sampai situasi aman. Baik dari Levi maupun dari Cristy dan terutama dari Luisa.
"Mama kemarin gadai gelang pemberian Luisa. Mama mau ambil hari ini, kamu punya uang gak? Dua puluh juta saja." Baru saja duduk di sofa ruang tamu, mamanya sudah mencecarnya dengan uang.
"Napas saya baru sampai kerongkongan, Ma. Minum saja belum, udah ditagih uang. Ma, Ed lagi paceklik. Mama tahu istilah itu gak? Anak Mama ini lagi bangkrut bisnisnya karena ditipu teman. Mending temannya bisa ditemukan untuk dimintai pertanggung jawaban, ini tidak, Ma. Ed udah habiskan semua harta Ed untuk bayar utang. Ed gak punya apa-apa sekarang." Pria itu merasa benar-benar putus asa. Didesak istri dan orang tua bersamaan disaat ia sudah tidak punya apapun.
"Dulu Mama gampang banget minta sepuluh, dua puluh, lima puluh, pasti kamu kasih. Uang kamu udah buat Luisa semua ya. Makanya punya istri jangan terlalu dimanjakan, mentang-mentang cantik dan sarjana. Akhirnya kamu sendiri yang pusing ounya istri circle-nya sosialita. Ulang tahun saja maunya di hotel mewah. Kamu itu yang salah. Satu lagi, kamu ditipu orang ya bukan urusan Mama. Kamunya yang gak hati-hati." Bu Mega melipat kedua tangannya di dada. Wajahnya terlihat begitu kesal karena tidak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan dari anaknya.
"Tahu deh, Ma, Ed pusing. Ed mau tidur saja. Jangan bilang siapa-siapa kalau Ed ada di sini. Nanti Ed transfer ke Mama uang untuk beli sayur." Pria itu berjalan masuk ke kamar belakang. Kenapa harus ke kamar belakang? Karena ia tidak mau nanti saat Luisa mencarinya ke rumah mamanya, Luisa menemukannya di kamar.
"Luisa tahu gak kamu ke sini?!" Teriak Bu Mega."Nggak, Ma, Ed bilang ada perjalanan bisnis ke Surabaya." Pria itu pun masuk ke dalam kamar, lalu menguncinya. Segera ia keluarkan uang hasil curian tadi dari dalam ransel. Ia ambil sepuluh lembar untuk ia berikan pada mamanya. Lusa atau minggu depan, barulah segepok dolar itu ia tukarkan. Pokoknya ia harus menenangkan diri sejenak sampai ia menemukan jalan keluar dari permasalahannya.
Kembali ke rumah Pak Darmono. Luisa baru saja selesai mandi sore. Ia mengintip ke bawah untuk mengecek penjaga rumahnya. Pak Yadi tengah menyiram tanaman hias milik papanya dengan begitu telaten. Badannya sesekali bergerak ke sana-kemari mengikuti irama musik yang ia putar dari ponselnya. Luisa tersenyum tipis, lalu ia turun ke lantai bawah untuk mencoba kursi pijat sang Papa.
Pelan ia membuka pintu kamar papanya. Semua nampak rapi dan bersih. Nisa memang pandai menguris rumah orang tuanya dengan baik, sehingga semua barang tertata rapi dan juga tepat di tempatnya.
Luisa menyalakan pendingin ruangan. Lalu ia duduk di kursi pijat sang Papa yang memang sudah lama sekali tidak ia coba. Tombol pengaturan gerak sofa pijat yang berada di lengan sofa ia tekan cukup lama sampai lampu di sana menyala. Namun, berkali-kali ia menekan semua tombol yang ada di sana, kursi pijat itu tidak mau menyala. Luisa berjalan ke jendela, lalu membuka jendela kamar papanya dengan lebar.
"Pak Yadi, sini deh!" Panggil Luisa. Pria dewasa itu mematikan keran air, lalu berlari menghampiri Luisa.
"Ada apa, Non?" tanya Pak Yadi sembari mengeringkan tangan di ujung baju kausnya.
"Ini, kursi pijat di kamar Papa tiba-tiba gak bisa saya gunakan. Padahal saya sedang ingin dipijat, Pak," kata Luisa dengan wajah masam.
"Apa Bapak bisa membetulkannya? Apa saya yang gak ngerti tombol untuk mengaktifkannya?" Pak Yadi malah tertawa pendek.
"Non, itu kursi udah satu bulan rusak. Udah panggil tukang service tetap gak bisa."
"Hah? Rusak? Satu bulan lalu?" Luisa tidak percaya dengan ucapan Pak Yadi.
"Iya, tanya saja sama Papa, Non. Masa iya saya bohong!" Luisa mendadak pias. Berarti Edmun berbohong. Apa yang sebenarnya dilakukan suaminya itu di kamar papanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dipaksa Foto Tanpa Busana oleh Suamiku
RomantizmEdmun tiba-tiba saja meminta istrinya;Luisa agar mau difoto tanpa busana.