Keheningan menyelimuti dua orang yang saling mendekap,lebih tepatnya laki laki itu dengan setia memberikan kenyamanan kepada wanita yang mulai menerima keberadaan nya.
Bersandar di ujung tempat tidur ,menutupi setengah badan menggunakan selimut tebal dengan tubuh wanita itu yang bersandar di dada bidang laki laki yang sudah tidak tau jalan pulang kerumahnya.Keheningan malam menjadi saksi dua orang yang saling menguatkan.
Chico melirik kebawah untuk melihat wajah Gita yang bersandar di dadanya.
Sadar ada yang memperhatikan dirinya,Gita melihat wajah Chico tepat di atas kening nya sedang menatap dirinya,
Tidak pernah terfikirkan jika orang yang baru saja dia kenal seperti tanpa ada batasan di antara mereka."Mau minum ?"
Chico berusaha mengalihkan perhatian nya, sedekat ini dengan Gita tidak pernah dia bayangkan juga,dia selalu mencoba menahan diri jika melihat Gita ,bahkan di kantor pun sebisa mungkin dia selalu bersikap profesional.
Naluri nya selalu ingin berada di dekat Gita ,dia mulai berfikir apakah itu cinta atau obsesi,tapi yang paling penting saat ini hanya menemani Gita , perkataan muthe saat di tempat mereka berlibur membuat dia semakin yakin untuk berada di samping Gita,saat ini atau mungkin selama nya, berlebihan tapi itulah perasaan,kadang orang yang tidak pernah menangis pun bisa terluka hanya karena perasaan.
Rasa.
Darimana asalnya untuk apa dia di ciptakan dan mengapa dia diciptakan,bukan hal yang harus di pikirkan dengan logika tapi hadiah terbaik yang memang di sematkan di setiap hati manusia.Chico meraih botol minuman di samping tempat tidur,lalu memberikan kepada Gita.
Gita kembali merebahkan badannya di dada Chico .dan berusaha memejamkan mata.Kabar dari Aldo membuatnya semakin pusing, keadaan ayahnya semakin memburuk dan meminta persetujuan dirinya karena sang ayah harus segera di paangkan kayu di kaki nya,hal yang sejak awal dia takuti saat ayahnya di diagnosa gangguan kejiwaan oleh dokter.
Ternyata Aldo yang berprofesi sebagai dokter kejiwaan pun tidak bisa sedikit menyadarkan ayahnya karena yang terus terucap dari mulut ayahnya hanyalah namanya,berulang kali mengucapkan kata maaf ,tapi tak pernah di dengarkan oleh Gita ,lebih tepatnya tidak ingin mendengarkan apapun dari cinta pertamanya.Hari dimana ayahnya pingsan setelah meminta untuk di berikan maaf,sejak hari itu semua berubah .
Keputusan yang di buat karena tidak ada jalan lain.
Membiarkan ayahnya berada di rumah sakit jiwa.
Penyesalan tidak di perlihatkan sejak awal,
Laki laki yang di harapkan bisa menjadi contoh malah menjadi penyebab semuanya hancur.
Pergi dengan wanita lain.
Meninggalkan mereka begitu saja, membuat sang ibu menyerah lebih dulu.
Bahkan ibu yang seharusnya menguatkan dirinya malah menyisakan luka lebih dalam.
Lantas untuk apa adanya keluarga kalau hanya untuk di hancurkan."Air mata kamu stoknya banyak ya,nangis terus "
Gita semakin sesenggukan mendengar kalimat Chico ,hanya untuk satu menit saja dia tidak ingin memikirkan kisah hidupnya yang tragis tapi semakin dia menahan justru semua seperti anak panah yang di tancapkan bergiliran .
Chico mendekap erat Gita seakan tubuh Gita kapan saja bisa hancur lebur dan hilang tanpa sisa,hanya ada kerapuhan dan kesakitan.
"Mau teriak ga ?"
Gita menegakkan kepalanya dan menatap wajah Chico .
Pantaskah pria itu mengatakan hal demikian?"Itu bisa jadi obat ,, setidaknya bisa di lepaskan gaharus di tahan "
"Bapak mau saya di usir "
Chico kembali menarik tubuh Gita kedalam pelukannya.
Dengan reflek dia mencium puncak kepala Gita ,membuat Gita merasakan hal baru di hidupnya.
Dia terdiam dan mencoba menenangkan gemuruh di dadanya yang tiba tiba terasa begitu menenangkan,dia mencoba menenangkan dirinya agar Chico tidak merasakan jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Aku
Fanfiction"bagiku Dunia hanya tentang Kesenangan bukan Kebenaran,hanya tentang singgah bukan selamanya,hanya tentang Aku "