12

155 21 3
                                    

~selamat membaca~



Jidan memakaikan Jarrel baju dengan sangat telaten. Menyisir rambut tipis itu dengan sangat hati hati.

Di tatap putranya itu kemudian mencubit pipinya gemas, "Lucu banget anak papa."

Jarrel terkekeh geli kala Jidan menghujami wajahnya dengan kecupan ringan. "Pah, mamah?"

Jidan mengangguk, "Iya, kita ke rumah mamah."

Jarrel langsung bangkit dari duduknya, kemudian melompat lompat di kasur. "Mamah, alel."

Jidan tersenyum, ternyata serindu ini anaknya kepada wanita yang bahkan melahirkannya saja tidak. Jidan tertegun, jika ibu Jarrel ada, akankah dia serindu ini kepada orang lain? Atau tidak?

Lamunan Jidan buyar, kala pintu kamarnya dibuka, "Sudah siap?"

"Udah mah."

Mamah Jidan mengangguk, "Yaudah, ayok. Tunggu apalagi."

Jidan mengernyitkan alisnya bingung, "Emang mau apa sih kesana? Mamah jangan macem macem deh."

Mamah Jidan memutar bola matanya malas, jengah dengan putranya yang tidak peka itu, "Mau ngapain disana, nanti juga kamu bakal tau. Lagian Jarrel juga pasti kangen sama Nabila kan?"

Jidan mengangguk

"Yaudah, ayok. Tunggu apalagi?"

Jidan berdecak samar, kemudian menyerahkan Jarrel ke gendongan mamahnya, "Anak kamu berat Jidan."

Mereka mulai menuruni tangga, Jidan menuntun sang mamah agar tidak terjatuh, "Ya mamah pikirlah, Jarrel makannya banyak. Udah pasti gendut."

Mamah tersenyum seraya mengecup pipi Jarrel gemas, "Kalian tuh hobinya emang makan. Tapi Jarrel beda sama kamu, kamu banyak makan tapi badan kamu gak gendut gendut."

"Jidan kan berotot."

"Iya berotot, tapi gak berotak. Sampai punya anak tapi gak punya istri."

***

Nabila sedang menyiram bunga di halaman depan rumah, lebih tepatnya sih menyiram tanah. Karena, Nabila sedang melamun jadi air nya tidak mengenai bunga sedikit pun.

Lamunan Nabila buyar kala mendengar deru mobil memasuki pekarangan rumahnya. Iya mengernyitkan dahinya bingung, "Itukan mobil Jidan. Kok kesini?"

Dibukalah pintu mobil itu, menampilkan Jidan dan mamahnya berserta Jarrel.

Jarrel bersitatap dengan Nabila, anak itu kemudian menjerit, "Mamah."

Ia berusaha untuk turun dari gendongan sang nenek. Memaksa untuk turun.

Nabila yang tau itu langsung berlari, mengambil Jarrel dari gendongan mamah Jidan.

"Anak mamah. Kangen banget." Jarrel menenggelamkan wajahnya di perpotongan ceruk leher Nabila. Mengeratkan tangannya di leher Nabila.

"Ayok masuk Mah, Jidan."

Keduanya mengangguk lalu melangkahkan kakinya masuk ke rumah Nabila, "Duduk dulu aja. Nabila siapin minum, sekaligus manggil ayah sama ibu dulu."

Nabila melangkahkan kakinya ke halaman belakang, yang mana ayah dan ibu sedang berbincang disana, "Gimana pun, mereka gak ada ikatan hubungan. Apa kata orang orang kalau putri kita tinggal bersama seorang lelaki? Dan anak."

Nabila mendengar percakapan keduanya, ia menghela napas.

"Ibu ngerti Yah, ibu juga setuju untuk gak mengijinkan Nabila kembali kesana. Terlebih lagi, Naren bilang kalau lelaki itu tidak pernah menikah. Dia punya anak karena kegelapan remaja. Bahkan sampai sekarang, ibu dari anak itu gak pernah menampakan dirinya. Bahkan untuk sekedar menjenguk anaknya saja tidak."

"Itu ibu tau, jadi sebelum ada itikad baik dari keluarga lelaki itu. Ayah gak akan menyerahkan putri kita."

Nabila menghembuskan napasnya kasar, kemudian berjalan menghampiri kedua orang tuanya, "Ayah, ibu. Jidan sama Mamahnya datang."

Mereka saling melempar pandangan satu sama lain, "Kamu siapkan minum untuk mereka."

Netra ibu terhenti pada anak yang sedang digendong putrinya itu, "Dia?"

Nabila mengangguk, "Ibu lihat kan? Gimana nempelnya dia sama Nabila?"

Jarrel mengangkat kepalanya seraya bertanya, "Mah, dia siapa?"

Ibu Nabila tertegun kala anak itu memanggil putrinya dengan sebutan 'mamah'

"Nenek sama Kakek. Beri salam."

"Hola Nenek, Hola Kakek." Ucap Jarrel, lalu kembali menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Nabila.

Ibu Nabila tersenyum, lalu mengusap surai putrinya lembut. Kemudian melangkahkan kakinya untuk menuju ruang tamu.

"Ayah mengerti, rasa sayang kamu sama anak ini." Ucap Ayah Nabila lembut, kemudian meninggalkan putrinya.

Nabila tersenyum, hatinya terenyuh. Ia hanya bisa berdoa, semoga kedepannya akan baik.

Nabila melangkahkan kakinya menuju dapur, "Jarrel turun dulu ya. Mamah mau siapin minum."

"Ndak, nanti Mamah tinggalin alel."

Nabila tersenyum, ia mengusap punggung sempit Jarrel. "Gak akan. Udah ya turun dulu. Atau samperin papah, nanti mamah bawain minum. Jarrel suka stroberi kan? Nanti mamah bawakan."

Jarrel mengangguk kemudian turun dari gendongan Nabila, berlari untuk menghampiri sang Papah di ruang tamu.

Nabila mulai menyiapkan minum untuk para tamu dan orang tuanya. Tak lupa juga dengan buah stroberi kesukaan Jarrel.

Membawa nampan itu dengan hati hati ke ruang tamu. Kemudian, menata minuman itu.

Nabila mendudukan dirinya di samping ibunya, yang berhadapan langsung dengan Jidan. Netra mereka bertemu, Jidan menatap dengan tatapan yang sulit diartikan.

Nabila segera memutuskan kontak mata mereka, lalu fokus kepada Jarrel yang sedang berusaha naik ke pangkuannya.

"Jadi, ada apa datang kemari?"

"Begini pak, bu. Saya minta maaf atas semuanya, saya tidak tahu kalau Nabila ini masih punya keluarga yang sangat utuh dan juga dengan ekonomi keluarga yang sangat baik."

"Waktu itu saya menawarkan pekerjaan karena Nabila membutuhkannya, saya juga butuh pekerja. Kebetulan saya mempunyai satu cucu, yang mana memerlukan pengasuh untuk setiap harinya. Jadi saya tawarkan kepada Nabila."

"Mereka begitu dekat bu, sampai Jarrel sendiri saja memanggil Nabila mamah."

"Jadi, untuk memperjelas hubungan mereka bertiga." Mamah Jidan menggantung kalimatnya, kemudian menatap Jidan. Jidan mengangguk.

"Saya menginginkan putri bapak untuk menjadi teman hidup saya." Ucap Jidan

Bersambung...

Bandung, Senin, 10 okt 2022

Papa Jidan || Park JisungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang