Franda mencoba memejamkan matanya. Tapi matanya enggan menutup. Franda memutuskan turun dari ranjang. Ia melihat Bisma yang tidur dengan wajah polosnya di sofa. Terlihat tidak nyaman. Karena sedari tadi hanya membolak-balikkan badannya. Miring ke kanan dan miring ke kiri. Franda membetulkan selimut Bisma yang melorot. Kemudian melangkah menuju balkon. Menghirup udara yang sejuk. Aroma hujan yang tidak asing baginya. Langit masih menjatuhkan airnya rintik-rintik. Merentangkan tangannya. Menengadahkan kepalanya ke atas langit. Memikirkan ucapan Bisma tadi yang mengajaknya menikah. Masih banyak tanda tanya dikepalanya, seusai Bisma berbicara hal itu, Bisma langsung pergi ke kamar mandi dan menyuruhnya untuk tidur. Mungkin Bisma hanya bercanda, pikir Franda.
"Kamu ngapain di sini?" Franda terkejut. Menolehkan kepalanya ke pemuda yang kini berada di sampingnya.
"Nggak pa-pa. Cuma nggak bisa tidur aja tadi. Kamu hobinya ngagetin orang ya?" balas Franda.
"Pertanyaan yang dibalas dengan pertanyaan," sahut Bisma. Franda mengernyitkan dahinya.
"Nggak usah bingung. Kamu ke sini pasti mikirin ucapan aku tadi. Kamu pasti juga berpikiran kalau aku ini ngaco,"
"Mungkin. Tapi kenapa bisa kamu ngomong hal itu ke aku?"
"Aku nggak main-main tentang ucapan aku tadi,"
"Lalu gimana dengan hati kamu? Hati aku? Hati kita? Kita baru kenal, Bis," ucap Franda.
"Aku tahu, kita baru kenal. Tapi entah kenapa hati aku milih kamu, aku juga heran. Aku nggak mau jadi orang yang munafik tentang perasaan. Aku memang masih mencintainya. Sulit menggeser posisinya yang udah permanen di sini," tutur Bisma sembari menunjuk dadanya.
"Aku nggak tahu, aku masih trauma. Masih belum bisa percaya sepenuhnya sama orang lain lagi selain diri sendiri," sahut Franda.
"Aku nggak tahu rasanya seperti apa. Tapi aku yakin kalau kamu kuat. Kamu harus lawan itu. Aku juga mungkin sama brengseknya. Dia dan orangtuaku meninggal karena kebodohanku. Harusnya kita naik pesawat aja waktu itu, nggak usah naik mobil yang aku setir sendiri,"
"Dia dan orangtua kamu?"
"Mereka meninggal dan aku selamat dari kecelakaan itu tiga tahun lalu. Kami pergi ke luar kota, merayakan pesta ulangtahunnya. Tapi karena kebodohanku, mereka meninggal. Brengsek emang," Franda mendengarkan cerita Bisma dengan seksama.
"Aku sempet nyalahin Tuhan, kenapa bukan aku aja yang diambil. Kenapa harus mereka? Aku yang nyetir, tapi aku yang selamat. Waktu itu aku berpikir, Tuhan nggak adil karena ngambil orang yang kucintai dalam waktu bersamaan," ucap Bisma diiringi nada penyesalan. "Aku juga sempet trauma buat naik mobil, tapi beruntungnya aku masih punya Alan dan tunangannya yang selalu ngasih aku dukungan. Dan aku menyadari satu hal, Tuhan masih sayang sama aku. Tuhan ngasih aku hidup karena yakin kalau aku bisa ngelewatin ini semua," lanjut Bisma.
"Ternyata beban kamu lebih banyak daripada beban aku," balas Franda.
"Kamu mungkin orang ketiga yang aku certain ini semua. Alan, tunangannya, dan kamu," ucap Bisma. "Jadi, masih mau menikah denganku atau tidak?" tanyanya.
"Kamu masih mau nerima aku dan anak yang bukan anak kamu? Aku takut kalau kamu cuma nganggep aku dengan rasa kasihan,"
"Aku akuin kalau aku belum bisa mencintai kamu. Tapi aku akan berusaha buat mencintai kamu, walaupun kamu nggak bisa nempatin posisinya yang udah permanen. Dia sama seperti kamu, sebatang kara," ucapnya. "Dan aku akan nerima bayi kamu sebagai bayi aku. Bayi kita," tambahnya.
***
Franda bangun dari tidurnya. Melihat ke arah sofa, tidak ada Bisma. Ia melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Setelahnya beralih ke dapur. Terlihat Bisma dengan apron hitamnya yang sedang menumis sawi. Dan menggoreng ayam.