Part 8

1 0 0
                                    


Sudah beberapa hari Bisma dirawat di rumah sakit. Franda menemaninya dengan setia. Masih merasa bersalah sehingga mengharuskannya bertanggungjawab dengan cara menemani dan merawat Bisma selama di rumah sakit. Luka yang berada diperut Bisma belum sepenuhnya mengering. Masih meninggalkan jejak basah. Makanya Bisma masih harus dirawat. Padahal sedari kemarin Bisma merengek minta pulang. Ia tidak betah berada di rumah sakit lama-lama. Berada di rumah sakit hanya mengingatkannya pada masa lalunya yang kelam. Ia tidak mau mengingatnya meski bayangan kelamnya masih melekat erat di memori otaknya. Kenangan akan ketidakberhasilan sang dokter dalam menangani mereka semua membuatnya sakit.

"Nda, mendingan kita pulang deh. Seriusan aku nggak pa-pa," bujuk Bisma pada Franda.

"Bisma, kamu masih butuh di sini. Luka kamu belum kering," keukeuh Franda.

"Terserah! Aku bakalan pulang sendirian." Bisma mencoba bangun. Padahal masih jelas terlihat raut mukanya yang meringis menahan sakit pada bagian perut. Ia bersikukuh untuk bangkit. Menyingkap selimut yang ada dipinggangnya. Dan mulai berdiri. Gagal. Bisma hampir saja terjatuh, jika Franda tidak memegangi lengannya.

Mereka saling menatap. Memperhatikan kedalaman mata mereka masing-masing. Pepatah konyol selalu mengatakan, dari mata turun ke hati. Mungkin ada benarnya. Cukup lama mereka saling bertatapan. Entah kenapa mereka melakukan adegan seperti ini. Adegan yang selalu muncul di sinetron-sinetron. Ketika dua insan tidak sengaja saling bertabrakan. Saling menopang tubuh masing-masing. Lalu terjadi adegan tatap menatap. Dan...

Mereka masih saling menatap. Memandang manik-manik mata keduanya. Tanpa disadari gerakan tubuh mereka berubah. Lengan Bisma yang tanpa sengaja melingkari pinggang Franda. Kedua lengan Franda yang sekarang sudah berada di bahu Bisma. Saling beradu tatapan. Hening. Hembusan napas keduanya saling memburu. Menciptakan suhu yang panas di area keduanya. Wajah keduanya saling mendekat. Semakin memburu. Pelan tapi pasti. Dan...

"Ow... ow..., tutup mata!" Alan dan Sandra memekik secara bersamaan. Membuat Bisma dan Franda saling menjauhkan wajah masing-masing. Merasa gugup dan kikuk. Seperti anak kecil yang ketahuan mencuri uang Ibunya.

"Eh..., kalian mau ngapain ke sini?" Bisma mencoba untuk membuat suasana menjadi tidak canggung lagi. Ia menggaruk rambutnya yang memang gatal. Sementara Franda hanya menundukkan kepalanya. Malu. Padahal mereka hanya melakukan aksi tatap menatap. Bukan sesuatu yang aneh. Tapi kenapa malah menimbulkan reaksi dari Alan dan Sandra yang heboh yang terkesan mereka sedang melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan.

"Santai kenapa sih," kata Alan yang menahan tawanya.

"Tau lo, kita ke sini kan cuma mau nengokin lo doang, Bis. Nggak ada sesuatu yang aneh gitu," Sandra mengucapkannya dengan menahan tawa. Sama seperti yang dilakukan oleh Alan.

"Terserahlah!" Bisma mencoba melangkah. Seperti yang tadi ingin ia lakukan. Ia merasa sehat padahal tubuhnya masih memberontak sakit. Ia ingin pulang ke apartemen.

"Bis, lo mau ke mana?" tanya Alan.

"Mau pulang," jawab Bisma ketus.

"Lo itu masih sakit! Ngapain sih pulang?" kata Alan setengah berteriak.

"Gue udah sehat, Al." Bisma bersikukuh.

"Apanya yang sehat sih? Lo itu masih sakit, jangan bikin gue marah!" geram Alan.

Bisma menatap Alan. Terkesan sinis dan menantang. Bisma tahu bahwa Alan sahabatnya. Sahabat yang mengerti semua tentangnya tanpa ada yang tertutupi satu pun. Tetapi Alan juga seharusnya menyadari posisinya untuk selalu mendukung apapun yang dilakukannya. Bisma memaksakan dirinya untuk pulang bukan tanpa alasan. Bisma ingin dirawat di apartemen. Tidak ingin terus berada di rumah sakit. Alan menyadari tatapan Bisma. Penuh rasa marah yang tertahan. Enggan terluap. Alan menyerah.

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang