Kecelakaan kemarin masih menghadirkan rasa pilu. Terlalu sakit untuk diingatnya. Ah, seandainya saja kemarin ia mengetahui kode yang diberikan oleh Franda. Kecelakaan ini mungkin tak akan terjadi. Raut penyesalan sangat terlihat jelas di wajah Bisma. Matanya menerawang pada Franda yang terhalang oleh lapisan kaca. Selang infus tertancap di pergelangan tangan kirinya. Wajah putihnya memucat. Kepalanya diperban. Mata Bisma memandangnya sendu. Lingkaran hitam jelas tampak di wajah tampannya. Bisma tidak tidur semalaman. Hanya berharap Franda bisa selamat.
"Udahlah, Bis, yakin kalo Franda itu kuat. Jangan nyerah!" Alan memberikan semangat padanya. Bisma tak menggubrisnya. Tak ada niatan sedikitpun untuk membalas ucapan Alan.
Bisma yakin jika Frandanya akan kuat menghadapi ini. Tapi perkataan dokter tentang kondisi Franda membuatnya sangat terkejut. Franda keguguran. Franda ternyata hamil anak Bisma. Dan belum sempat Bisma menatapnya, Tuhan mengambilnya dengan cara yang seperti ini. Bisma sedikit heran ketika Franda hamil, namun dokter mengatakan bahwa itu semua kuasa Tuhan. Penyesalan Bisma semakin bertambah. Franda mengandung sebelum mengatakannya pada Bisma.
"Lo baik-baik ya, Franda pasti sadar." Alan masih memberikannya semangat.
Iya, Franda pasti sadar!
Alan pasrah. "Gue cabut dulu deh, Bis, kasian Sandra ngurusin Azka dan Rara sendirian." Alan pamit pada Bisma.
Bisma masih datar menanggapinya, ia enggan menjawabnya. Meski begitu, dalam hati ia mengucapkan rasa terimakasihnya pada Alan yang sudi menjaga dan merawat Rara di rumahnya.
Hari demi hari berlalu. Kondisi Franda masih belum ada perubahan yang berarti. Rasa bersalah semakin menyeruak di rongga dadanya. Seharusnya bukan Franda yang dirawat. Seharusnya dirinyalah yang dirawat. Dengan begitu ia tak akan merasakan sakit ini untuk ke sekian kalinya. Dengan begitu ia tak akan kehilangan buah cintanya. Kejadian sewaktu Franda melahirkan Rara mau tak mau terngiang-ngiang di pikirannya. Tapi kejadian ini lebih dari itu.
Sudah berhari-hari dan Frandanya masih belum sadarkan diri. Alan selalu menemaninya. Memberikan sedikit semangat untuknya. Sama seperti ia kehilangan Kinar. Bisma terlihat semakin kurus. Lingkaran hitam semakin tercetak jelas. Matanya berkantung. Bisma merasakan kehancuran yang amat mendalam. Dadanya masih sakit melihat Frandanya seperti ini.
"Bis, lo nggak mau makan?" tanya Alan sendu. Bisma menggeleng lemah.
"Lo harus makan. Lo masih pengen selamanya sama Franda kan? Lo harus pikirin Rara, dia masih butuh lo! Lo juga harus pikirin diri lo, Franda butuh lo buat ngelindungin dan ngejagain dia. Kalo lo sakit, gimana bisa lo jagain Franda dan Rara, Bis?"
Mau tak mau Bisma memikirkan ucapan Alan yang memang ada benarnya. Jika ia seperti ini, lalu bagaimana dengan Franda dan Rara?
"Lo bener, Al." Bisma menyetujuinya.
Alan mengangguk. "Lo harus tau, Bis. Hidup itu bangke. Kalo lo nggak bisa naklukin bangke, lo yang akan jadi bangke!"
"Perumpamaan lo nggak asik ya, Al? Sadis," Bisma tertawa mendengar ucapan Alan. Semangatnya bangkit kembali. Ada sesuatu yang menghantam nuraninya. Mengatakan padanya bahwa ia tidak boleh menyerah.
Berjuanglah ketika semua orang mulai menyerah. Berusahalah ketika semua orang berhenti untuk melakukan usaha. Kita tidak akan pernah tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan untuk kita.
"Thank's banget ya, Al." Bisma memeluknya. Alan membalasnya.
"Bis, lepasin ah. Lo bau banget, sumpah!"
***
"Sial, sial, sial!" Morgan mendesis.
"Harusnya bukan kamu, Nda, tapi dia! Brengsek!" Morgan kembali berkicau. Sendirian di apartemennya. Meminum minuman yang tak layak ia minum. Sudah berhari-hari lamanya, ia mengurung diri di apartemennya. Sejak mengetahui bahwa yang ia tabrak adalah Franda, rasa bersalahnya terhadap Franda semakin berlipat-lipat.