Bisma sudah memulai aktivitasnya. Setelah beberapa hari ia sakit. Franda merawatnya dengan baik. Terlihat hari ini Bisma kembali ke kantornya. Memulai rutinitasnya. Franda menyiapkannya sarapan. Hanya roti bakar dan susu. Orang yang biasanya membersihkan apartemennya meminta ijin kepadanya untuk tidak bekerja selama seminggu. Sehingga apartemennya terlihat berantakan dan berdebu di setiap sudutnya.
"Bis, aku mau ke kontrakan ya? Aku mau ngambil barang-barangku di sana," ijin Franda di sela-sela sarapan mereka berdua.
Bisma menelan rotinya. "Besok aja ya? Nanti sekalian aku anterin," jawab Bisma.
"Nggak usah. Biar aku sendirian aja," balas Franda cepat. Ia tidak mau merepotkan Bisma.
"Nda, aku nggak mau kamu kenapa-napa. Jadi, jangan ngebantah," tegas Bisma. Franda mengangguk dan menundukkan kepalanya. Ia baru tahu sifat Bisma yang seperti ini. Sifat yang tegas yang tidak mau dibantah jika sudah mengucapkan sesuatu yang dirasanya benar.
Bisma mengangkat dagu Franda. "Hei, aku cuma nggak mau kamu kenapa-napa. Kamu pernah cerita kalo mantan kamu lagi nyariin kamu. Bisa aja dia nyewa orang buat mata-matain kontrakan kamu. Terus kalo kamu diapa-apain, gimana? Aku nggak mau kalo calon pengantin aku diculik sebelum jadi pengantin," kata Bisma.
Franda tersenyum. Memukul lengan Bisma dengan sayang. "Apaan sih," ucap Franda malu-malu.
"Aku berangkat dulu ya? Jangan ke mana-mana? Oke?" Bisma pamit kepada Franda. Biasanya ketika Bisma berangkat kerja, Franda masih meringkuk di kasur Bisma yang empuk. Kali ini Franda bisa melihat Bisma berangkat kerja. Dengan senyumannya yang manis, Franda menghentikan langkah Bisma. Menggenggam telapak tangan Bisma dan mengecupnya. Bisma tertegun. Sudah lama sekali ia tidak merasakan hal ini. Dalam hati ia merasakan sesuatu yang nyaman. Dengan spontan Bisma mengelus pelan rambut Franda. Mendorong ke arahnya. Mengecup dahinya singkat. Franda tertegun kemudian, merasakan debaran aneh pada jantungnya. Sekali lagi.
***
Mereka duduk di pelaminan. Tersimpan rasa bahagia yang meletup-letup pada pengantin wanita. Sangat bertolak belakang dengan pengantin pria yang memancarkan aura dinginnya. Tajam yang dalam. Seolah-olah ingin melarikan diri dari acara pernikahannya. Maya dan Morgan berdiri di pelaminan. Menyalami satu per satu tamu yang hadir. Hanya Maya yang memasang senyuman lebarnya. Matanya melirik ke arah Morgan yang sama sekali tidak meluapkan rasa bahagia. Ia menyadarinya. Namun, hatinya tetap merasakan sakit. Seharusnya ia bisa membatalkan acara pernikahan yang menurut Morgan sangat konyol ini. Tapi ada sesuatu di sudut hatinya yang menentang pikiran ini. Melenyapkannya hingga sirna. Dalam hati ia bertekad, ia akan membuat Morgan jatuh cinta kepadanya. Dengan rasanya yang tulus. Ia bertekad!
"Seenggaknya kamu senyum dikit dong, Gan. Hargai orangtua kamu," kata Maya ketika sudah tidak ada tamu yang menyalaminya.
Morgan hanya meliriknya. Tidak membalas. Maya menghembuskan napasnya perlahan. Memegangi dadanya yang terasa sakit.
***
Franda menatap ke sekeliling apartemen. Kotor. Ia berinisiatif untuk membersihkannya, mengambil sapu dan memulai menyapu. Setelahnya mengepel. Keringat mengucur di dahinya. Sudah lama sekali ia tidak melalukan aktivitas rumahan seperti ini. Baru disadarinya ia gampang lelah. Mungkin karena faktor hamil sehingga mempengaruhinya.
Hari sudah sore. Franda bergegas ke kamar mandi. Air hangat langsung mengguyurnya. Setelah selesai ia beralih ke kasur. Ia ingin memejamkan matanya sejenak sebelum Bisma pulang.
Terdengar suara ketukan pintu apartemen. Franda tidak menyadarinya. Sepertinya ia masih lelap. Sang pengetuk berhasil memasuki apartemen. Membuka kamar satu-satunya yang dikhususkan untuk tidur. Memandang Franda dengan senyumnya. Tak terlalu kentara. Ingin membangunkannya tapi sepertinya tidak perlu. Ia menyeret sebuah kursi. Duduk dalam diam. Menopang dagunya. Memandang Franda yang pulas.