Bisma memandangi hujan. Padahal hari sudah malam. Ia memikirkan kejadian ketika di kantor tadi siang. Ada perasaan asing di dadanya. Lebih asing dari perasaannya terhadap Kinar. Entah apa, ia belum mengetahuinya. Ini kali pertama bagi Bisma merasakan perasaan asing seperti ini.
"Kamu kalo makan jangan belepotan dong, Bis," ucap Franda seraya mengambil sisa nasi di sudut bibir Bisma. Bisma tertegun. Perasaan asing kembali menguar di dadanya. Menyeruak hingga ke ulu hati.
"Ih, buruan dimakan dong, Bis. Ntar keburu dingin," kata Franda lagi.
"Iya... iya, bawel," cetus Bisma.
"Aku nggak bawel tahu!" Franda cemberut. Memajukan bibirnya ke arah depan. Dalam gerakan cepat, Bisma mengecup sudut bibir Franda. Hanya mengecupnya sekilas. Bukan ciuman yang dalam. Hanya sebuah kecupan sederhana yang mampu memberikan efek asing yang bahagia di dada tanpa mereka sadari.
Sesaat kemudian, Bisma memundurkan kepalanya. Terlihat salah tingkah di antara keduanya. Bisma menatap Franda yang sedang memegangi sudut bibirnya yang baru saja dikecup olehnya.
"Nda...," Bisma memanggil Franda. Franda mendongakan kepalanya. Menatap Bisma dengan tatapan yang sulit diartikan. Bisma semakin salah tingkah. Merasa bersalah.
"A-aku minta maaf ya? Beneran deh yang tadi itu nggak sengaja. Serius!" Bisma mengucapkannya dengan nada takut. Takut jika Franda akan marah padanya. Takut jika Franda akan membencinya. Sama seperti yang Franda lakukan pada pemuda masa lalunya.
Bisma gugup menunggu jawaban dari Franda. Ini seperti bukan Bisma. Bisma tidak akan segugup ini hanya karena masalah kecupan. Bisma segugup ini hanya karena Franda. Seorang Franda yang tiba-tiba hadir. Tanpa perkenalan yang mendalam.
"K-kamu nggak perlu minta maaf," lirih Franda yang membuat Bisma menautkan alisnya. Jawaban yang seperti ini di luar pemikirannya.
"Eh, kamu beneran nggak pa-pa?" Tanya Bisma memastikan. Franda mengangguk.
"Kamu suami aku. Aku istri kamu. Hal yang wajar kalo kamu ngelakuin hal itu," tutur Franda. "Tapi, aku masih belum siap kalo lebih dari itu. Maaf ya?" lanjutnya.
Bisma tertegun. Sekali lagi. Kalimat Franda barusan seperti sebuah isyarat bagi Bisma. Isyarat bahwa Franda sudah mulai menerimanya. Sebagai suami. Bukan Bisma.
"Nda, aku nggak suka kalo kamu ngomongin hal itu! Kamu tahu kan, aku ini tulus. Kalo udah saatnya nanti, aku yakin kamu dan aku bakalan siap," jelas Bisma sambil memeluk Franda erat.
Sebuah selimut hinggap di punggung Bisma. Membuyarkan lamunannya. Ia menolehkan kepalanya ke belakang. Franda. Ternyata Franda yang memakaikan sebuah selimut ke punggung Bisma. Membuatnya merasakan kehangatan.
"Kamu ngapain di balkon? Kan udah malem, dingin. Kamu kan alergi dingin," cerocos Franda.
Bisma tersenyum. Menggumamkan rasa terimakasih dalam hati. "Iya, aku cuma mau lihat hujan aja, kok," balas Bisma.
"Justru karena hujan, malah makin dingin Bisma," sahut Franda.
"Udah ah, kamunya bawel banget ih," balas Bisma lagi.
Bisma kembali memandangi hujan. Menengadahkan kepalanya. Menjulurkan tangannya ke depan. Seolah menunjukkan bahwa Bisma bisa menggenggam buliran demi buliran air yang jatuh itu.
"Kamu tahu?" Bisma bertanya. Franda menggelengkan kepalanya. "Ya iyalah nggak tahu, kan aku belum ngasih tahu kamu," ucap Bisma sambil menjulurkan lidahnya ke Franda.
"Jahat ih," Franda memukul pelan lengan Bisma.
Bisma memegangi jemari Franda yang berada di lengannya. Menariknya pelan. Memeluk bahu Franda. Franda terkesiap kaget. Ia merutuki kebodohannya, kebodohan debaran jantungnya.