Seorang pemuda dengan tatapan tajam seperti elang. Tatapannya terasa dingin. Menatap ke arah langit gelap yang pekat. Hanya banyak bintang. Tanpa sinar rembulan. Morgan menyukai bintang karena Franda, perempuan yang telah disakitinya. Malam ini, ia hanya ingin menatap langit. Tanpa suara bising apapun. Tenang dan damai. Ia hanya terdiam menikmati bintang. Ingin menjadi bintang. Bintang yang bersinar secara bersama-sama, meskipun bintang selalu sendirian.
Tanpa disadari Maya menatap punggungnya. Terdiam di samping pintu balkon yang terbuka. Tidak berucap apapun. Hanya memandangi punggung Morgan sudah terasa cukup baginya, kini. Ia pernah mencoba memeluknya dari belakang ketika Morgan menatap langit sama seperti malam ini. Sebab setiap malam Morgan selalu berdiri di pinggiran balkon sambil menatap bintang. Tapi yang ia dapatkan hanya dorongan keras. Dengan tatapan Morgan yang tajam dan dingin tanpa ucapan apapun. Seakan tatapan Morgan berupa isyarat bahwa Maya hanya menjadi pengganggu hidupnya. Maya menyadari, sekeras apapun ia mencoba Morgan untuk jatuh cinta padanya, sekeras itu pula Morgan membentengi dirinya untuk tidak jatuh cinta pada Maya.
"Gan...," panggil Maya begitu lirih. Morgan terdiam. Tidak menoleh. Egonya terlalu tinggi untuk sekedar menoleh.
Pada akhirnya Maya memberanikan diri mengampiri Morgan. Berdiri di sampingnya. Memandang bintang sama seperti yang dilakukan Morgan. Ini kali kedua, Maya dan Morgan menatap langit bersama. Yang berbeda hanya kali ini bintang menemani mereka.
"Kamu kenapa sih setiap malem suka mandangin langit?" tanya Maya ragu.
Hening. Morgan masih menatap langit. Enggan menyahuti Maya yang menunggu jawaban darinya. Maya menghela napasnya pendek.
"Kamu kenapa diem?" Maya bertanya lagi. Morgan masih diam, enggan menjawabnya.
"Ah, kamu mah nggak asik. Kenapa sih selalu diem? Kenapa nggak pernah jawab pertanyaan aku?" cerocos Maya.
Morgan menoleh. Menautkan alisnya. Tetapi tetap tidak merubah ekspresinya yang tajam dan dingin. Maya tergeragap. Jantungnya berdebar keras. Matanya terpaku menatap mata Morgan. Kembali hening. Maya berusaha menormalkan detak jantungnya. Memegangi dadanya. Ia takut suara debarannya terdengar oleh Morgan.
"Lo ngapain di sini?" kali ini Maya yang bergeming. Bukan tak mau menjawab, hanya saja dipikirannya masih berusaha menormalkan degupan di jantungnya yang semakin keras.
Morgan melambaikan telapak tangannya ke wajah Maya. Maya terkesiap. Kaget. Morgan belum pernah melakukan seperti ini sebelumnya. Semenjak menikah yang ia dapatkan hanya gumaman demi gumaman. Jarang menyahut ketika disapa apalagi ditanya. Ini kali pertama Morgan menanyakan padanya. Hanya pertanyaan sederhana dengan nada dingin seperti biasanya, tetapi mempunyai efek yang bahagia dibatin Maya.
"Eh...," Maya bingung. Seakan pertanyaan yang ada di kepalanya buyar seketika.
"Lo ngapain sih?" tanya Morgan sekali lagi.
"Ah, itu... apa ya? Ehm...," Maya semakin bingung. Debaran di jantungnya semakin keras seiring suara Morgan menggema di telinganya. Terdengar berlebihan!
Morgan menautkan keningnya. Dalam hati ia tersenyum, menertawakan kebodohan Maya yang salah tingkah akibat mendengar suara Morgan yang dingin.
"Lo itu ngapain di sini? Gangguin acara gue, ngerti?!" tegas Morgan. Morgan hendak melangkah. Maya mencekal lengannya.
"Eh, mau ke mana?" Morgan menautkan alisnya kembali.
"Bukan urusan lo!" terdengar dingin dan tegas. Maya menundukkan kepalanya, lalu mendongakkan kepalanya. Menatap mata Morgan. Dan tersenyum. Morgan memandangnya heran.
"Lo sakit ya? Aneh," ujar Morgan yang semakin membuat lekukan dibibir Maya tersungging sempurna. Maya merasa Morgan perhatian padanya meskipun sedikit.
Maya menggelengkan kepalanya pelan. "Aku nggak sakit, kok," kata Maya yang masih dengan senyumnya.