Jakarta memang akan selalu ramai. Entah itu pagi, siang, sore maupun malam. Sekalipun waktu menunjukkan pukul satu dini hari, jalan raya di kota metropolitan akan selalu dipadati kendaraan dan pedagang asongan kaki lima.
Dan disinilah Rafael berada, berdiri di tepi rooftop salah satu gedung pencakar langit yang terkenal di Jakarta. Menjadi salah seorang penikmat keindahan malam ibu kota yang dipenuhi pernak-pernik lampu di kejauhan. Seputung rokok diapit dengan jempol dan telunjuknya.
"El?"
Akhirnya orang yang sedari tadi ditunggunya datang. Rafael menoleh sebatas bahu sementara orang yang memanggilnya mengambil beberapa langkah sampai berdiri persis di sampingnya.
"Apa kabar? Tumben lo ngajak ketemu, padahal akhir-akhir ini lo selalu ngehindar waktu ketemu gue maupun yang lainnya."
Hening.
Dua laki-laki itu memandang jendela apartemen depan yang sebagian sudah gelap, hanya satu dua yang lampunya masih menyala. Mungkin tengah belajar kebut semalam untuk ulangan harian besok atau bisa saja sekedar begadang demi drama Korea terbaru yang sedang trending topic.
Bermenit-menit lamanya Rafael masih terdiam. Laki-laki disampingnya akhirnya tersenyum getir. "Gue minta maaf, El. Gue emang pengecut. Harusnya waktu itu gue nggak ninggalin lo gitu aja dan numpahin semua kesalahan-"
"Tujuan gue ngundang lo kesini bukan buat bahas itu." dengus Rafael memotong kalimat yang paling dibencinya.
Dia hanya tidak mau mengingat-ingat kejadian yang sudah lalu. Ingatan itu terlalu menyakitkan baginya. Begitu banyak pengkhianatan di depannya tapi dia memang bodoh karena terus menutup mata dan berharap semua akan baik-baik saja.
"Lupain semuanya. Gue nggak mau salah satu dari kalian bahas masalah waktu itu."
Si lelaki seketika menoleh dengan pandangan tidak percaya. "Jadi lo maafin kita?"
Rafael otomatis tersenyum di sudut, tidak mungkin dia semudah itu untuk memaafkan. rokoknya dihisap kuat, sebelum menghadap ke kanan. "Gue cuma mau satu hal. Jauhin gue dan anggep aja kita nggak pernah kenal." asap nikotin resmi keluar perlahan dari bibir dan hidungnya. Kemudian dia berbalik pergi meninggalkan temannya yang terdiam.
Urusan Rafael dengannya telah selesai jadi sudah tidak ada lagi alasan untuk tinggal lebih lama. Karena satu tempat bersama orang yang dibencinya rasanya sesak luar biasa. Emosinya sudah mencapai ubun-ubun. Dia harus cepat-cepat pergi dari sini sebelum amarahnya tidak dapat dibendungnya lagi.
"Tyas."
Tapi langkah Rafael terpaksa terhenti di langkah kedelapan begitu satu nama mengalun dari belakang punggungnya.
"Cewek itu kan yang menghasut lo buat jauhin kita-kita?"
Jeda.
"Cewek itu juga penyebab utama pertemanan kita hancur."
Kali itu sorot mata Rafael seketika berubah nyalang persis predator yang menemukan mangsanya. Dia berbalik untuk melayangkan tatapan tajamnya. "Jangan sekali-kali lo berani nyentuh dia. Atau lo, bakal mati di tangan gue."
Yang diperingati di tepi rooftop menelan ludah sembari memandangnya tak menyangka sekaligus ketakutan. Rafael yang dulu akhirnya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is Broken
Roman pour AdolescentsRafael itu pendiam, Rafael itu dingin, Rafael itu sulit bersosialisasi. Tapi kalau bersamaku, lelaki itu akan berubah 180 derajat. Meski semua orang berkali-kali bilang dia jahat, bilang dia kejam, bilang dia bajingan tidak punya hati, bagiku diala...