Mulanya semua masih baik-baik saja. Kedua orangtuanya sibuk bekerja, berkutat seharian dengan berkas di kantor sampai matahari tenggelam dan baru kembali ke rumah saat Rafael sudah tidur. Bangun pun juga seperti itu. Ketika Rafael membuka matanya tau-tau derum mesin mereka sudah menjauhi pekarangan rumah. Jadi nyaris setiap hari anggota keluarga itu tidak pernah bertemu meski berada di satu atap yang sama.
Waktu itu Rafael hanya diam karena belum sepenuhnya mengerti. Beranjak kelas tiga SD dia mulai melihat anak-anak lain yang terus-terusan diantar jemput oleh orangtuanya. Hati Rafael segera saja tercubit membandingkan dengan dirinya yang meski diantar-jemput mobil mewah tapi yang duduk dibalik kemudi bukanlah ayahnya melainkan orang asing yang ditugaskan menjaga Rafael.
Kelas empat SD, Rafael ceroboh. Itu adalah kali pertama dia mendapatkan nilai merah sekaligus menyaksikan langsung pertengkaran kedua orangtuanya di meja makan.
Piring-piring, gelas, sendok maupun wadah-wadah kaca lainnya berjatuhan sewaktu taplak meja ditarik kasar. Suara pecahannya begitu memekan telinga.
"Lihat! Karena kamu bersikeras untuk bekerja, anak itu sekarang mendapatkan nilai merah di rapotnya. Seharusnya kamu dirumah menjalankan kewajibanmu sebagai ibu dan bukannya malah gila kerja seperti ini."
"Kenapa kamu malah nyalahin aku? Ini jelas salah kamu, Gerald! Kamu yang tidak mau mencarikan guru les lagi untuk menggantikan temanmu yang sebelumnya mengajari Rafael. Lagipula aku mencari uang untuk membiayai hidupku sendiri."
"Apa uang yang saya berikan masih belum cukup, Ras? Sampai kamu melakukan yang bukan kewajiban kamu."
"Kewajiban apa sih, Rald!? Berhenti bicara seolah kita menikah atas dasar cinta. Ingat! Orang tua kita yang menginginkan pernikahan ini bukan aku!"
Sialan. Rafael cuma bisa berdiri mematung dengan derai air mata di tengah pertengkaran orangtuanya.
"Aku pergi."
"Terserah apa mau kamu, Ras. Aku nyerah."
Saat itu Rafael hanya bisa menangisi punggung cantik ibunya yang menghilang dibalik pintu. Sebelum akhirnya kembali menangis sewaktu ayahnya berlutut dan memeluknya erat.
"Kamu anak hebat, El. Ayah bangga sama kamu." Diusapnya kepala Rafael lantas berdiri untuk berbalik pergi. "Maaf, ayah bukan ayah yang baik buat Rafael."
Keesokannya hampa benar-benar singgah di rumah megah itu. Hanya Rafael seorang diri yang berdiri di dekat jendela untuk memandang pelataran rumah dengan tatap kosong. Menunggu, dan terus menunggu tetapi mereka tidak pernah pulang.
"Pa, Ma, Rafael kangen."
Kemudian saat SMP anak-anak sekelas SD yang dulu membully Rafael tiba-tiba menawarkan diri menjadi temannya. Rafael tentu saja menerimanya. Kenaikan kelas dua, mereka akhirnya bertanya mengapa orangtua Rafael tidak pernah datang saat pengambilan rapot. Kalau sudah ditanya begitu apalagi yang bisa dilakukan Rafael selain dengan gelengan kepala. Tapi teman-temannya justru tertawa keras sembari menepuk-nepuk pundaknya.
"Santai, bro. Kalo ortu lo nggak sayang sama lo, masih ada kita-kita yang bisa jadi sahabat lo."
"Lo tau kan kita selalu welcome ke siapapun. Kalo lo butuh teman cerita, lo tinggal pilih aja salah satu dari kita. Kita pasti dengerin."
Satu-persatu dari mereka menganggukkan kepala dengan senyuman lebar menampakkan gigi.
"Fatih, bener. Kita siap kok kapanpun lo butuh bantuan."
Ajaib, bagaimana mendadak hangat menjalari dada Rafael hanya karena mendengar kalimat-kalimat itu. Dengan begitu dia ikut mengangguk. Menampilkan senyuman paling jujur yang pernah dimilikinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is Broken
Ficção AdolescenteRafael itu pendiam, Rafael itu dingin, Rafael itu sulit bersosialisasi. Tapi kalau bersamaku, lelaki itu akan berubah 180 derajat. Meski semua orang berkali-kali bilang dia jahat, bilang dia kejam, bilang dia bajingan tidak punya hati, bagiku diala...