lima belas -efemeral

22 8 0
                                    

Rafael tidak mengira kesengajaannya untuk masuk sekolah lebih siang justru membuatnya terjebak bersama seseorang yang ingin dihindarinya. Mata laki-laki itu melirik ke samping, dimana gadis berambut sebahu tengah berdiri kaku dengan raut muka tegang. Bulir keringat tampak membasahi pelipisnya sementara napasnya tersengal seperti sehabis berlari dari halte dekat pertigaan jalan menuju kemari.

Alis kiri Rafael berkedut ingin terangkat. Terheran-heran gadis itu bisa terlambat mengingat selama ini Tyas selalu berangkat sekolah pagi-pagi. Awal pertemuan mereka saja dipukul enam tepat.

Oke, kenapa jadi lari kesana?

Kalau beberapa hari lalu mungkin Rafael bakal mendekat dan mengelap keringat gadis itu, tapi sekarang dia memilih cuek dan justru memasukkan tangan ke saku celana. Mengalihkan pandang pada pelataran sekolah lewat celah gerbang yang menjulang di hadapannya. Sepi. Sebab, jam pembelajaran sudah berlangsung lima belas menit yang lalu.

Keheningan terus terjadi kendati suara knalpot kendaraan berlalu-lalang melintas satu meter di belakang mereka.

Setidaknya sampai Fatih selaku ketua OSIS yang bertugas menangkap siswa-siswi terlambat seperti keduanya tau-tau muncul dari sisi kiri pos satpam.

"Kayaknya baru hari ini lo telat,"

Laki-laki itu melempar senyum singkat pada Tyas sebelum merunduk, membuka gembok gerbang yang sebelumnya dikunci di jam tujuh tepat. Seolah mengabaikan kehadiran Rafael di dekat mereka.

Tyas mengangkat bahu. "Begadang tadi malem,"

Fatih manggut-manggut kemudian menggeser sedikit gerbang hingga terbuka. "Masuk,"

Tyas tidak mungkin tidak menurut. Gadis itu lantas melangkah melewati gerbang sementara Rafael mengekori sambil mempertahankan muka tanpa ekspresinya, mencoba tidak terganggu dengan kedekatan mereka.

Ketiganya berdiri berhadapan di depan pos satpam.

"Kalian udah tau kan harus ngapain?" Tanpa menunggu respon siapapun, Fatih sudah mengangguk sendiri. "Bener, lari keliling lapangan."

Rafael menaikkan pandang padanya. Sekilas dia bisa melihat ada sudut main-main di bibir Fatih. Tapi Tyas mungkin tidak mengetahuinya karena gadis di sampingnya ini justru menundukkan kepala.

"Lima puluh puteran." lanjut ketua OSIS itu dengan mata yang tak pernah lepas dari Rafael seperti bermaksud menantang. Yang ditantang menatapnya lurus-lurus.

Dia tidak berniat sedikitpun menanggapi sampai Tyas angkat berbicara.

"Lima puluh?" tanya si gadis mengangkat wajah tidak percaya.

"Iya," angguk Fatih kemudian tersenyum manis. "Pasti bisa lah kan bareng cowok lo."

Tyas seketika bungkam.

Baru rahang Rafael mengeras. Tangannya segera saja mengepal. Agaknya Fatih sengaja memberikan hukuman itu karena ingin memainkan emosinya. Bagaimanapun Rafael tidak mungkin tega membiarkan Tyas dikerjai seperti ini. Meski masih marah, dia harus tetap menghentikan ulah laki-laki itu.

"Dia cewek kalo lo lupa," dengusnya tidak terima. Sejurus kemudian memalingkan muka ketika Tyas menoleh ke arahnya.

Bodoh, gadis itu pasti mengira dirinya masih peduli. Meski memang iya, tapi harusnya tidak terang-terangan begini. Ini semua gara-gara bajingan satu itu. Keparat, Rafael pasti akan membalasnya.

"Terus kenapa?" tanya Fatih masih ingin bermain-main ternyata. "Lo bisa gendong dia kalo dia capek nanti."

Jeda.

"Bukannya lo pacar Tyas?"

Otot-otot wajah Rafael resmi mengendur, air mukanya berubah datar, sementara tangan Tyas justru mendadak terkepal. Alisnya menukik tajam.

He Is BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang