BAGIAN 6

72 8 0
                                    

Pendekar Lima Lautan langsung menjura hormat begitu melihat kehadiran Putri Sentika Sari dan Patih Luntaka. Dengan ramah wanita itu mempersilakan Kala Sakti duduk diatas permadani setelah dia sendiri duduk disinggasananya. Sementara, Patih Luntaka mendampingi di sisinya.
"Bagaimana hasilnya, Pendekar Lima Lautan?" tanya Patih Luntaka langsung pada pokok persoalan.
"Aku berhasil membawa Bunga Arum Dalu, Paman Patih!" sahut Kala Sakti dengan senyum gembira.
Pendekar Lima Lautan mengeluarkan sekuntum bunga berwarna merah darah dari balik bajunya. Kemudian segera menyerahkannya pada Putri Sentika Sari. Gadis itu tampak berbinar matanya. Wajahnya pun berseri-seri. Diperhatikannya bunga ditangan dengan tatapan seakan tidak percaya.
"Kau benar-benar telah mendapatkannya! Puji syukur kepada Tuhan!" Putri Sentika Sari bersorak kegirangan setelah bangkit berdiri dari singgasananya.
"Paman Patih! Tolong berikan hadiah yang telah kita janjikan. Oh, ya.... Sediakan sebuah kamar untuk melepas lelah buat Pendekar Lima Lautan!" perintah wanita cantik itu.
"Jangan...! Terus terang aku mencari Bunga Arum Dalu semata-mata bukan karena ingin mendapatkan hadiah. Lagi pula, jika tidak ditolong Rangga, mungkin aku tidak sampai ke kerajaan ini lagi!" ujar Kala Sakti.
"Jadi kau bertemu Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Patih Luntaka.
Pendekar Lima Lautan tentu terkejut mendengar ucapan Patih Luntaka. Sama sekali tidak disangka bahwa Rangga pemuda yang telah menyelamatkan jiwanya, tidak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti yang terkenal itu.
"Jadi..., jadi Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti...? Sungguh tidak kuduga kalau dia orangnya. Tapi terus terang Rangga telah menolongku. Dia Bahkan telah meminjamkan kudanya agar aku cepat sampai ke sini. Tetapi aku tak tahu, bagaimana nasibnya. Sebab ketika kutinggalkan, dia dikepung sekawanan serigala," jelas Kala Sakti khawatir.
Wajah Putri Sentika Sari tampak berubah mendung. Seolah dia benar-benar mengkhawatirkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan entah mengapa hatinya jadi cemas memikirkan keselamatan pemuda itu. Sungguh, sejak pertama kali bertemu Rangga, Putri Sentika Sari merasa ada sesuatu yang lain pada dirinya. Sesuatu yang membuat hatinya berdebar-debar.
"Aku yakin Rangga bisa menjaga diri! Sebaiknya, bunga ini langsung diolah, baru kemudian diberikan pada Gusti Prabu!" cetus Patih Luntaka, membuyarkan lamunan wanita itu.
Mengingat penyakit ayahandanya yang memang semakin bertambah gawat, untuk sementara Putri Sentika Sari terpaksa mengesampingkan ingatannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Maka segera ditinggalkannya ruangan utama. Sementara itu Patih Luntaka tetap menemani Pendekar Lima Lautan.
"Bagaimana kabar tentang Iblis Pemabuk?" tanya Patih Luntaka.
"Kurasa sekarang dia telah bergabung dengan Nini Baji Setan!" jawab Kala Sakti, menjelaskan.
"Siapa Nini Baji Setan? Dan mengapa pula Iblis Pemabuk memilih bergabung dengan orang itu?" tanya laki-laki setengah baya itu ingin tahu.
"Nini Baji Setan adalah Penguasa Bukit Setan. Iblis Pemabuk bergabung dengannya, karena Nini Baji Setan punya rencana untuk menyerang kerajaan ini. Dia berjanji jika berhasil menguasai kerajaan ini, maka Putri Sentika Sari akan diberikan pada Iblis Pemabuk!" papar Kala Sakti. "Maaf, kuceritakan semua ini. Karena malam itu aku sempat mendengar pembicarakan mereka. Dan sesungguhnya, Iblis Pemabuk tetap menghendaki Putri Sentika Sari. Jadi dia bukan tertarik pada emas yang dijanjikan!"
Kening Patih Luntaka berkerut dalam. Dia tidak habis mengerti, mengapa Nini Baji Setan berniat menyerang Kerajaan Lima Laras. Padahal seingatnya, Gusti Prabu tidak punya persoalan dengan Penguasa Bukit Setan. Lagi pula baru sekarang ini dia tahu kalau Bukit Setan ada penghuninya. Mungkinkah Gusti Prabu mengetahui sesuatu di balik semua peristiwa yang terjadi? Sebab sepengetahuan Patih Luntaka, beberapa belas tahun yang lalu Gusti Prabu Sida Brata selalu pergi berburu manjangan ke bukit itu.
"Kalau begitu, Putri Sentika Sari segera diberitahu tentang kabar ini!" cetus Patih Luntaka.
"Memang sebaiknya begitu!" sahut Kala Sakti ikut memberi dukungan.
"Pendekar Lima Lautan! Sebaiknya kau istirahat dulu. Kuharap kau tidak cepat pergi dari sini. Terus terang, tenagamu sangat dibutuhkan!" pinta Patih Luntaka penuh harap.
"Kalau itu keinginanmu, dengan senang hati aku akan membantu!" janji Pendekar Lima Lautan, mantap. "Tapi aku periu memulihkan kesehatanku."
Senang rasanya hati Patih Luntaka mendengar keputusan Pendekar Lima Lautan. Kemudian diantarnya Kala Sakti menuju kamar yang telah disediakan.
"Istirahatlah, Pendekar! Tentu kau sangat lelah setelah bersusah payah mendapatkan Bunga Arum Dalu," ucap patih ini.
"Aku ingin semadi dulu, Paman Patih. Terima kasih atas perhatianmu!" balas Kala Sakti.
Pintu kamar ditutup. Patih Luntaka segera meninggalkan kamar yang ditempati tamunya. Dia bermaksud kembali ke tempat peraduan Gusti Prabu. Tetapi sampai di dalam ruangan pertemuan, langkahnya terhenti. Di sana Pendekar Rajawali Sakti tengah berdiri ditemani seorang prajurit.
"Rangga...! Kiranya kau telah kembali...!" seru Patih Luntaka sambil menghampiri. Langsung dipeluknya pemuda itu dengan hangat.
"Ya.... Apakah Kala Sakti sudah sampai?" tanya pemuda berbaju rompi putih ini ingin tahu.
"Sudah. Belum lama dia istirahat. Kurasa sekarang dia sudah tidur. Sebaiknya kita menjumpai Gusti Prabu," ajak Patih Luntaka.
"Mari..." sahut Rangga langsung setuju.
Bunga Arum Dalu yang telah diolah menjadi ramuan cair, sudah diminumkan pada Gusti Prabu Sida Brata. Dan nyatanya ramuan itu memang manjur. Begitu Gusti Prabu meminumnya, perubahan segera terjadi. Wajah yang pucat berangsur-angsur tampak kemerah-merahan. Matanya yang terpejam terbuka pula. Denyut jantungnya juga sudah mulai teratur.
Mendapati kenyataan itu jelas membuat lega semua orang termasuk seluruh kerabat dan keluarga istana. Hanya pada saat itu, Gusti Prabu belum bisa diajak bicara. Kendati demikian, tampaknya Gusti Prabu Sida Brata terkejut juga melihat kehadiran Rangga. Namun apa yang dilakukannya hanya sebatas memandang, tanpa dapat berbuat apa-apa.
Barulah setelah keesokan harinya, kesehatan Raja Lima Laras itu semakin bertambah membaik. Bahkan beliau makan cukup banyak. Kenyataan ini semakin membesarkan hati para kerabat kerajaan. Namun yang paling bahagia melihat kesembuhan Gusti Prabu tentu saja Putri Sentika Sari.
"Oh.... Tahukah kau, betapa bahagianya hatiku, Rangga!" desah Putri Sentika Sari ketika bersama tamu-tamunya berkumpul di ruang utama. "Semua ini karena jasa kalian, Pendekar-pendekar Budiman!"
"Yang mendapatkan Bunga Arum Dalu adalah Pendekar Lima Lautan! Bukankah begitu, Kala Sakti?" tukas Rangga ditujukan pada pemuda yang duduk di sampingnya.
"Tidak juga. Walaupun aku telah mendapatkan Bunga Arum Dalu, tapi kalau bukan karena pertolonganmu, mungkin aku sudah mati di tangan Nini Sumbing," kilah Kala Sakti.
"Kita semua saling tolong-menolong. Tentu saja aku wajib berterima kasih atas jasa-jasa kalian," ujar Putri Sentika Sari.
"Sudahlah, lupakan masalah ini. Yang terpenting sekarang ini Gusti Prabu telah pulih kembali seperti sedia kala," sergah Pendekar Lima Lautan.
"Sebaiknya memang begitu. Hanya yang membuatku heran, mengapa Nini Baji Setan sangat berhasrat sekali menyerang kerajaan ini? Lagi pula, apa tujuannya meracuni Gusti Prabu dengan serbuk racun Bunga Bisa?"
"Kurasa Ayahanda merahasiakan sesuatu. Nanti aku akan tanyakan hal ini pada beliau," janji Putri Sentika Sari.
"Kurasa memang ada baiknya kau menanyakannya, Putri," timpal Kala Sakti.
Pembicaraan mereka langsung terhenti ketika Eyang Kinta Manik datang menghampiri.
"Putri Sentika Sari, Pendekar Rajawali Sakti, dan Pendekar Lima Lautan, Gusti Prabu mengharapkan kedatangan kalian semua di ruangan pertemuan. Tampaknya ada beberapa hal penting yang akan disampaikan oleh beliau!" ujar penasihat kerajaan itu.
"Kami segera menghadap!" sahut Putri Sentika Sari.
Lalu mereka pun berjalan beriringan menuju ke ruangan pertemuan. Jarak dua ruangan itu hanya dibatasi lorong saja. Sehingga dalam beberapa langkah saja sudah sampai di sana. Terlihat Gusti Prabu Sida Brata, Patih Luntaka, dan Panglima Layung Seta telah duduk di tempat masing-masing. Tiga orang pengawal yang selalu mendampingi Gusti Prabu segera meninggalkan ruangan yang cukup luas itu.
"Silakan duduk kalian semuanya!" perintah Gusti Prabu Sida Brata dengan suara serak.
Mereka segera menempati bangku-bangku mewah yang masih kosong. Sedangkan Gusti Prabu Sida Brata terus memperhatikan Rangga dan Kala Sakti silih berganti.
"Aku telah mendengar jasa kalian dari Paman Kinta Manik. Aku sadar, pendekar seperti kalian tidak pernah mengenai pamrih. Rasanya tidak ada barang berharga yang pantas kuberikan sebagai rasa terima kasihku atas usaha kalian dalam menyembuhkan aku," kata laki-laki setengah baya itu memulai.
Rangga menjura hormat.
"Salam sejahtera untuk Gusti Prabu. Hamba dan Kala Sakti sudah merasa senang melihat Gusti Prabu dapat pulih seperti sediakala. Satu hal yang perlu hamba ketahui, mengapa Nini Baji Setan ingin menghancurkan kerajaan ini? Dan mengapa pula dia meracuni Gusti Prabu?" tanya Rangga ingin tahu.
Raja Sida Brata menarik napas dalam-dalam. Matanya menerawang jauh ke depan. Seakan ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Rasanya mustahil dia menutupi keburukannya sendiri. Tetapi jika tidak berterus terang, toh lama-kelamaan pula Nini Baji Setan menyerbu ke istana. Dengan demikian segala apa yang dirahasiakan akan terbongkar juga. Rasanya lebih baik berterus terang pada semua yang hadir di dalam ruangan pertemuan itu.
"Baiklah.... Aku ingin berterus terang pada kalian semua. Orang yang belum mengetahui kejadian sebenarnya adalah Sentika Sari, Patih Luntaka. Juga kalian Rangga dan Kala Sakti yang telah menolongku. Dengarkanlah baik-baik."
Sejenak Gusti Prabu Sida Brata menarik napas panjang kembali, untuk melegakan dadanya yang terasa sesak. Sekaligus mengembalikan semua ingatannya.
"Dua puluh tahun yang lalu, istriku melahirkan dua anak perempuan kembar. Yang cantik dan mungil. Namun..., sesuatu yang tidak terduga terjadi. Sepekan setelah melahirkan, istriku tewas. Darahnya tersedot habis. Dadanya berlubang dengan jantung hilang. Yang membuat aku heran puting susunya pun putus. Tidak setetes pun darah yang tersisa ditubuhnya. Kedua putriku yang baru berumur dua minggu kemudian diasuh oleh beberapa orang dayang. Namun, mereka pun ditemukan tewas pada suatu malam."
Kembali Gusti Prabu Sida Brata terdiam. Ada kegalauan dalam dadanya, mengingat semua itu. Namun, semuanya harus diutarakan.
"Kami langsung mengadakan penyelidikan. Dan ternyata, kami memergoki putriku yang bernama Kuntalini sedang melakukan pembunuhan atas dayang lainnya. Aku hampir tidak percaya jika tidak melihat dengan mata kepala sendiri. Kemudian Kuntalini kupisahkan dari Sentika Sari. Karena aku takut dia membunuh saudara kembar sendiri untuk dimakan jantungnya. Beberapa hari kemudian dua orang dayang tewas pula. Tenggorokan mereka seperti dicabik-cabik serigala. Juga jantung mereka hilang. Ada luka mengerikan di dada para dayang malang itu. Pada saat itu, Kuntalini tidak ada di tempatnya. Setelah kami periksa, ternyata Kuntalini bersembunyi di kolong ranjang sambil memakan jantung para dayang. Dapat kalian bayangkan, betapa hancurnya hati seorang ayah melihat semua ini...," desah Sida Brata lirih dengan pandangan sendu.
Putri Sentika Sari sendiri tidak percaya ternyata punya saudara kembar. Dan saudaranya itu pula yang telah membunuh ibunya sendiri! Betapa sulit melukiskan, bagaimana perasaannya ketika mendengar penuturan Gusti Prabu Sida Brata.
"Lalu, apakah Putri Kuntalini kemudian dibunuh?" tanya Kala Sakti.
"Siapa tega membunuh darah daging sendiri?" sahut Gusti Prabu. "Aku dan Panglima Layung Seta lantas membawanya ke Bukit Setan. Di sana kukirim prajurit penjaga, dan dayang pengasuh. Lengkap dengan perbekalan dan pondok. Tetapi ketika sepekan kemudian kami datang ke sana, Kuntalini hilang. Sedang prajurit penjaga serta dayang pengasuh tewas semuanya!"
"Gusti Prabu tidak mencarinya?" tanya Rangga ingin tahu.
Raja Sida Brata langsung terdiam. Wajahnya tertunduk dalam-dalam. Tampaknya, dia tengah mengalami guncangan batin karena terkenang masa lalu.
"Aku dan panglima mencarinya ke sekeliling Bukit Setan sampai berhari-hari. Tetapi kami tidak menemukannya! Dugaanku, seseorang telah membawanya pergi dari Bukit Setan!" lanjut Gusti Prabu Sida Brata.
Apa yang dikatakan laki-laki setengah baya itu tentu menarik perhatian Rangga. Seorang anak manusia biasa, mengapa tiba-tiba saja berubah menjadi buas seperti serigala? Apakah tidak ada sesuatu yang melatar belakanginya?
"Maaf, Gusti Prabu," ucap Rangga sambil menjura hormat.
"Ya, silakan!" sahut Gusti Prabu Sida Brata. "Kalau ada sesuatu yang ingin kau tanyakan, dengan senang hati aku akan menjawabnya!"
"Begini.... Apakah ketika permaisuri mengandung, tidak ada sesuatu yang ganjil?" tanya Rangga.
"Hmm," gumam Gusti Prabu tidak jelas. Tampak jelas kalau laki-laki itu sedang berusaha mengingat sesuatu yang mungkin sempat terlupakan. Sampai kemudian Gusti Prabu tersenyum pahit.
"Memang ada. Ketika permaisuri hamil muda, aku sering berburu serigala ke Bukit Setan bersama Panglima Layung Seta. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku gemar berburu serigala. Padahal sebelumnya hal itu tidak pernah kulakukan. Serigala-serigala hasil buruan hanya diambil kulitnya untuk dijadikan baju atau penghias dinding. Lalu pada suatu malam, aku bermimpi bertemu seorang perempuan tua yang katanya tidak terima karena rakyatnya telah kubunuh. Dia mengutukku. Menurutnya, diantara keturunanku akan terlahir seorang perempuan dengan tingkah laku seperti serigala. Dialah yang kelak di kemudian hari akan menjadi musuhku sendiri. Semula aku menyangka semua itu hanya bunga tidur saja. Dan kenyataannya yang terjadi pada salah seorang putriku telah kuceritakan pada kalian!"
"Hamba yakin, perempuan tua yang Gusti Prabu ceritakan dan bertemu dalam mimpi itu, tidak lain adalah Nini Baji Setan! Dia bukan manusia biasa, tetapi setengah siluman," duga Kala Sakti, yakin.
"Sekarang segala-galanya telah jelas bagi kita. Nini Baji Setan meracun Gusti Prabu tentu demi kepentingan Kuntalini, Sayang, aku belum pernah bertemu Kuntalini atau Nini Baji Setan sendiri!" desah Rangga, menyesalkan.
"Lalu tindakan apa yang kita ambil jika mereka menyerang kemari?" tanya Patih Luntaka.
"Ayahanda! Apakah Nini Baji Setan mempunyai prajurit sebagaimana halnya kerajaan ini?" tanya Putri Sentika Sari.
"Dari semua cerita yang telah kudengar dari Paman Kinta Manik, aku menyimpulkan kalau dia mempunyai ratusan ekor serigala yang sudah sangat terlatih. Binatang-binatang buas itu lebih berbahaya daripada prajurit," kata Gusti Prabu Sida Brata.
"Tidak ada jalan lain bagi kita terkecuali melawan mereka. Kuharap Pendekar Rajawali Sakti dan Kala Sakti bersedia membantu kami dalam mempertahankan kerajaan ini. Tidak terbayang olehku, bagaimana jadinya jika sampai Kerajaan Lima Laras ini dipimpin oleh perempuan tua itu."
"Mengenai hal itu Paduka tidak usah ragu! Kami tentu akan membantu dengan segenap kemampuan! Untuk itu mulai saat ini kita harus mengatur siasat!" tegas Rangga, yang diikuti anggukan kepala Kala Sakti.
"Kuucapkan terima kasih atas perhatian kalian. Mulai saat ini, kalian berdua bisa bekerja sama dengan panglima, patih, dan juga Paman Penasihat Kerajaan," putus Gusti Prabu.

***

Malam ini suasana di kotaraja tidak seramai pada hari-hari sebelumnya. Terlebih-lebih dipusat pemerintahan Istana Lima Laras. Keadaan di sekelilingnya terasa lebih sunyi. Hanya di setiap sudut istana tampak beberapa prajurit bersenjata lengkap terus berjaga-jaga. Malam itu bahkan jumlah pasukan pemanah dilipat gandakan. Semua ini di lakukan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diingini.
Di luar sepengetahuan para prajurit penjaga, pada bagian luar benteng istana tampak sesosok tubuh berkelebat cepat melompati pagar benteng setinggi dua batang tombak. Gelapnya malam dengan langit tertutup mendung, merupakan keuntungan tersendiri bagi tamu yang tidak diundang itu. Setelah menjejakkan kakinya di atas tembok, sosok bayangan ini terus berkelebat ke arah atap dengan gerakan ringan bukan main. Namun tiba-tiba saja....
Set! Set!
Mendadak dari sudut bangunan terdengar suara desiran halus. Sosok bayangan itu mendengus, ketika tampak tiga batang anak panah meluncur deras ke arahnya. Dengan gerakan enak sekali, tangannya menyambut serangan anak-anak panah.
Tep! Tep! Tep!
Mudah sekali anak-anak panah yang meluncur ke arah sosok ini ditangkapnya. Bahkan secepat itu pula, dilemparkannya kembali ke arah datangnya.
Set! Crep! Crep! Crep!
"Aaa...!"
Tiga orang prajurit pemanah kontan menjerit tertahan ketika tiga batang anak panah menembus jantung. Para prajurit langsung jatuh bergelimpangan dan tewas seketika.
Dan teriakan prajurit-prajurit tadi sempat didengar oleh prajurit-prajurit lain. Termasuk yang berjaga-jaga di atas atap. Dengan serentak mereka bergerak mendatangi. Prajurit yang berada di sudut kiri sempat melihat kehadiran sosok bertubuh ramping yang menjadi biang keributan barusan. Maka secepatnya mereka melepaskan anak panah ke arah sasaran.
Twang! Twang!
Lima batang anak panah meluncur cepat ke arah sasaran. Dengan gesit, sosok ramping ini mengibaskan lengan jubahnya yang panjang sambil melakukan salto beberapa kali. Angin kencang laksana badai kontan menderu, membuat panah-panah berpentalan ke berbagai arah. Bahkan beberapa di antaranya ada yang berbalik, langsung menembus dada beberapa prajurit yang sial.
Crab...!
"Aaakh...!"
Suara jerit kesakitan secara berturut-turut kembali terdengar. Dua orang prajurit terjengkang bersimbah darah.
Sedangkan prajurit lainnya terus melepaskan anak panah ke arah pendatang ini tanpa henti. Walaupun sosok bayangan ini dibuat repot oleh serangan anak-anak panah, tetapi masih sempat tertawa mengikik. Dari nada suaranya yang melengking menyeramkan, jelas kalau tamu tidak diundang itu adalah seorang perempuan.
"Manusia setan! Berani benar kau mencari mampus dengan datang ke sini!" dengus seorang prajurit yang baru saja datang.
"Kalian semua yang akan kubuat binasa! Lihat saja nanti! Hiyaaa...!"
Perempuan tua yang tidak lain Nini Baji Setan tiba-tiba saja mengebutkan jubahnya yang panjang. Dan sebelum prajurit yang membentaknya tadi sempat melepaskan anak panah, dari jubah Nini Baji Setan melesat beberapa buah benda berwarna putih keperakan ke arah prajurit.
"Hup!"
Para prajurit berusaha mengelak, namun gerakannya masih kalah cepat dengan gerakan senjata rahasia perempuan tua itu yang berupa paku-paku beracun.
Jeb! Jeb!
"Huaakh! Auugh...!"
Para prajurit berteriak melengking tinggi, terhantam paku-paku beracun milik Nini Baji Setan.
Atap genteng bersimbah darah prajurit. Korban demi korban terus berjatuhan. Sehingga dalam waktu tidak sampai sepemakan sirih, sudah dua puluh orang prajurit kerajaan yang tewas di tangan Nini Baji Setan.
"Hihihi...! Anjing-anjing kerajaan adalah keledai-keledai dungu yang tidak mempunyai arti sama sekali!" desis Nini Baji Setan. Dan baru saja perempuan tua ini hendak bergerak ke tempat lain, tiba-tiba dari bagian genteng depan tampak berkelebat satu bayangan kuning.

***

213. Pendekar Rajawali Sakti : Gadis SerigalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang