Sebuah kaca terbanting dilantai memantulkan sebuah suara yang sangat menyaring membuat serpihannya terpencar dimana-mana seakan itu adalah waktu yang detaknya berpacu hebat. Berdetak mengganggu pemiliknya.
Pemilik waktu detak berpacu hebat itu adalah seorang perempuan yang memiliki kedua mata hitam pekat yang berkilau cantik dan bertambah cantik kala dimata hitam pekatnya menampilkan sebuah cahaya lampu yang terpantul dari serpihan kaca berserakan dilantai.
Perempuan yang tak lain adalah Javanica menatap shok melihat serpihan kaca berserakan dengan kedua tangan bergetar takut. Lalu tersentak kaget mendengar bentakan seseorang dihadapannya.
"Astaga kesialan apa lagi, aku harus bertemu dengan manusia seperti ini." sarkas seorang perempuan dengan memakai seragam yang sama dengan Javanica.
Masih dilingkungan sekolah Javanica saat itu sedang menikmati lagu diearphone yang ia gunakan pada kedua telinganya berjalan dengan santai dan tiba saatnya Javanica tidak sengaja menabrak perempuan yang sepertinya seusia dirinya.
"Kau bisu, tak ingin minta maaf padaku. Kau menabrakku dan membuat botol minum kacaku pecah karnamu."
Javanica hanya diam, dengan raut wajah yang tanpa ekspresi melirik kesekitarnya dirinya menjadi pusat perhatian. Ini yang membuat Javanica tak menyukai berada ditempat keramaian. Banyak pasang mata yang menatapnya berbagai macam ekspresi, membuat Javanica muak dengan semua ekspresi mereka semua.
"Aku tak sengaja menabrakmu."
"Astaga kau bilang tak sengaja tentu saja disengaja. Aku tau kau tak menyukaiku, karna aku lebih unggul darimu ya kan?."
Javanica menatap datar perempuan yang tampak percaya diri dihadapannya ini. Namun dalam hatinya bertanya siapa perempuan dihadapannya ini. Unggul, maksudnya apa?
"Aku membenci diriku sendiri..." ujar batinnya lirih.
"Dan membenci keadaan disekitarku, kenapa aku tak bisa merubah sikapku ini? Kenapa? Masa depan, dia bilang masa depan. Hidupku memang masih panjang tapi mimpi-mimpiku tak akan aku raih. Percuma aku akan kalah dengan orang yang berkuasa." gumam Javanica dengan menatap kesekelilingnya yang banyak sekali yang memandangi dirinya rendah dan menertawakannya.
"Aku lebih memilih untuk diam, aku tidak suka masalah ini berlanjut. Biarkan mereka memandangiku dengan berbagai macam ekspresi. Aku sungguh tak bisa membela diriku sendiri, karna aku adalah orang yang pengecut."
Javanica memenjamkan kedua matanya kala perempuan itu mendorong tubuhnya hingga terjatuh kelantai dengan tak elitnya. Berusaha untuk bersabar, semua ini pasti akan berlalu dan benar masalah ini pun tak akan berlanjut. Biarkan mereka tertawa bahkan mengejek.
Javanica mulai berdiri dan dirinya tak sengaja melihat salah satu anak-anak bola melambaikan tangannya kearahnya membuat Jovanka menengok kekanan kiri, siapa tau keorang lain. Javanica tak boleh terlalu percaya diri, lagian siapa yang mau berteman dengannya.
Tapi disekitar tempat Javanica berdiri tak ada orang sama sekali. Hanya Javanica yang berdiri didepan ruangan kepala sekolah, Javanica melihat kembali kesalah satu pria yang dilapangan masih melambaikan tangannya sembari tersenyum lebar menunjukkan senyuman manisnya kepadanya. Dilihat-lihat pakaian olahraga pria dilapangan tersebut seperti pakaian adik kelasnya.
Javanica menyerngit dahinya tangannya reflek menunjuk kedirinya sendiri, tunggu dulu pria itu seperti pernah ia temui. Ahh pria rambut coklat yang digerbang kemarin. Sama-sama telat tapi memutuskan untuk tidak masuk dan tentu saja dirinya tak tau kemana pria itu pergi saat terlambat kemarin.
"Hai kak!" sapanya mendekati Javanica yang masih tak bergeming ditempatnya. Mengerjap kedua matanya berusaha menormalkan pandangannya yang terkena sinar matahari.
Pria berambut coklat tersebut menggeserkan badannya untuk menutupi sinar matahari yang mengenai wajah cantik kakak kelasnya ini.
"Ada seseorang yang menyapa jawab kak, nanti dikatakan orang sombong loh."
Javanica mengangkat satu alisnya, ah pria dihadapannya ini bersikap seolah akrab dengannya.
"Kak Anaphalis Javanica, aku sedang berbicara sama kak Vani bukan sama patung tau."
Javanica menghembuskan nafasnya dengan kasar, sepertinya berbicara dengan pria dihadapannya ini akan membuang waktunya saja. Jadi tanpa menunggu lama Javanica membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya menjauh dari lapangan tersebut bahkan teriakan pria berambut coklat tak Javanica gubriskan. Moodnya semakin hancur...
"Bagaikan dikejar waktu untuk menentukan masa depan seperti apa, kenyataan mimpi dimasa depan belum tentu bisa diraih. Mimpi seperti waktu yang menyakitkan, detaknya membisingkan. Mimpi membuat rasa lelah selalu menghampiri semua manusia termasuk diriku. Aku lelah seperti dikejar waktu, kapan masalah ini berlalu dan berujung dengan mimpi yang kumimpikan."
Suara deritan kursi memecahkan lamunan seseorang disampingnya, menoleh sejenak lalu menundukkan kepalanya kembali.
Sepasang bola mata hitam pekat menatap bingung pada seseorang yang menundukkan kepalanya, berdehem membuyarkan kembali seseorang yang menundukkan kepalanya. Mengubah posisi kepalanya untuk mendongak menatap pemilik mata hitam pekat tersebut.
"Bolehkah aku duduk disampingmu, semuanya sudah penuh tinggal kursi ini saja."
Seseorang itu hanya menganggukkan kepalanya, tanpa menunggu lama pemilik mata hitam pekat mendudukan dirinya disamping seorang perempuan berambut sebahu yang menutupi sebagian wajahnya. Entah kenapa pemilik mata hitam pekat ini menatap aneh pada perempuan disampingnya ini, apa dia pemalu sama sepertinya? Berusaha tak berpikir keras dirinya mengangkat bahunya acuh.
Dan seiringnya waktu, pemilik mata hitam pekat mengenal siapa teman sebangkunya ini.
"Aku sudah menyalin semuanya. Kamu boleh pinjam bukuku." katanya dengan menyodorkan bukunya pada teman sebangkunya ini.
Teman sebangku ini menerima dengan baik, lalu tersenyum lembut dengan masih tidak berkontak mata dengan pemilik mata hitam pekat ini.
Perempuan pemilik mata hitam pekat hanya tersenyum tipis melihat teman sebangku ini mulai menerimanya dengan baik. Seiringnya waktu dirinya mulai tau kalau teman sebangkunya ini memiliki kekurangan. Kedua matanya bermasalah tapi anehnya dirinya tidak tau teman sebangkunya ini matanya mengalami minus atau plus. Tapi yang dirinya tahu pandangan teman sebangkunya ini tak normal, apalagi mereka berdua duduk paling depan dan tentunya terlihat jelas tulisan-tulisan dipapan tulis. Tapi untuk teman sebangkunya ini tidak, menulis dibuku saja dia sampai membungkukkan badannya dan wajahnya di dekatkan ke buku. Apa posisi seperti itu tak sakitkah?
Anehnya juga kenapa teman sebangkunya ini tak memakai kacamata, ingin bertanya namun dirinya tak terlalu dekat dengan teman sebangkunya ini takut merasa tersinggung jadi dirinya memilih diam walaupun penasaran. Apa yang terjadi dengan teman sebangkunya ini?
Hingga seseorang masuk dan mendekati teman sebangkunya ini dengan tatapan tajamnya, menggebrakkan meja dengan kuat begitu saja membuat kedua perempuan yang memiliki sifat yang sama tersentak kaget ditambah botol kaca yang berada diujung meja mereka terjatuh karna getaran meja tersebut. Jatuh kelantai membuat suaranya begitu bising didalam ruangan kelasnya membuat intensitas teman-teman kelasnya mulai melirik kearah tempat dirinya duduk.
Sampai
Pemilik sepasang bola mata hitam pekat dengan reflek bangkit berdiri tak terima dengan seorang perempuan berambut ikal yang baru datang tiba-tiba menarik rambut teman sebangkunya ini.
Kenapa? Ada apa ini? Apa teman sebangkunya ini mempunyai sebuah masalah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa Monasrita
Teen Fiction"Kata mereka aku adalah seseorang yang jumawa, padahal memang begini adanya aku terlahir dengan jiwa monasrita." kata Anaphalis Javanica. Anaphalis Javanica adalah seseorang yang dingin tak tersentuh, tak suka berkomunikasi lebih lama dengan orang l...