Javanica menaruh id card sebagai seorang penulis disebuah penerbit buku cukup terkenal ini. Diatas meja pemilik penerbit buku yang sudah membawa impiannya terwujud.
"Terima kasih bu, sudah membiarkan karya-karyaku dinikmati oleh banyak orang. Dan membawa mimpiku terbang tapi masa penulisku sudah usai saat ini, jadi izinkan aku untuk rehat sebentar."
Seorang wanita berusia cukup dewasa mulai bangkit berdiri dari singgahannya menatap Javanica dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kamu marah, karna karyamu yang terbaru belum ku terbitkan."
Javanica menggeleng kepalanya cepat.
"Lantas, kenapa kamu ingin rehat hm?"
"Aku ingin berhenti sejenak, aku butuh istirahat sebagai seorang penulis. Pikiranku sedang kacau jadi bagaimana bisa aku tetap menulis kalau ideku tak ada."
"Id card ini kau simpan saja, bukannya kamu berkata hanya ingin beristirahat sejenak."
Javanica hanya diam melihat id cardnya diatas meja.
"Apa kamu berniat ingin mengundurkan diri?"
Javanica menggeleng kepalanya kembali.
"Astaga Vanica, kamu kekanakan. Walaupun kamu bukan lagi sebagai penulis terkenal. Bukan berarti kamu menghancurkan karirmu sendiri dengan memutuskan untuk mundur itu bukanlah hal baik."
Wanita itu meraih id card Javanica lalu mendekati Javanica, berdiri dihadapan Javanica.
"Kamu harus ingat, kamu seorang penulis. Seniman, tidak seharusnya kamu berhenti ditengah jalan. Kamu ingin menjadi penulis yang tenggelam hm."
Wanita itu meraih tangan Javanica lalu ia taruh id card itu ditelapak tangan Javanica.
"Simpan itu, aku tak akan membiarkan kamu lepas dari penerbit ku ini. Aku rela menunggumu lama asalkan kamu masih tetap menjadi bagian penulis dipenerbit bukuku ini. Cuma kamu penulis tetap dipenerbit bukuku ini. Aku yakin kamu akan terus bersinar sebagai seorang penulis. Karyamu sungguh luar biasa Vanica."
Wanita itu meraih tubuh Javanica untuk ia dekap, menepuk punggung Javanica perlahan seakan menenangkan Javanica.
"Aku tau kamu butuh sebuah dekapan. Ada aku hm, aku sudah menganggapmu sebagai anakku sendiri."
Javanica hanya diam dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca.
"Menangislah Vanica, tidak apa. Aku tau perasaanmu bagaimana?"
Tangis Javanica pun pecah didalam dekapan atasannya ini.
"Tidak apa Vanica, sebuah masalah akan cepat selesai dengan sendirinya. Kamu adalah perempuan kuat."
Waktu terus berjalan, seperti Javanica yang baru keluar dari gedung penerbit yang menerbitkan karya-karyanya. Berjalan dengan mata sembabnya lalu mulai masuk kedalam mobilnya. Mengendarai mobilnya kesuatu tempat yang dapat mengeyangkannya.
Javanica berjalan ditengah bazar yang sedang diadakan ditengah kota. Javanica memang tak menyukai tempat keramaian ini namun dirinya akan tetap datang ditempat keramaian jika tak ada yang mengenalinya. Dan sepertinya berita dirinya sudah perlahan hilang, tak ada lagi wartawan yang mengikutinya. Bahkan tak ada orang yang mengenalinya sebagai Anaphalis Javanica karna sekarang lagi hitsnya tentang Ayunda seorang penulis yang sedang naik daun.
Javanica iri, tentu saja tidak. Malah Javanica ingin berterima kasih pada Ayunda karna sudah menghilangkan berita dirinya dan Ali. Jika masih bertanya-tanya tentang Aliandra, Aliandra masih dalam rehabilitas dirumah sakit jiwa. Masih dalam keadaan parah, bahkan Aliandra seperti orang yang hilang akal. Dan itu membuat Javanica kasihan pada Aliandra, apalagi keluarga Aliandra tak peduli tentang keadaan Aliandra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa Monasrita
Teen Fiction"Kata mereka aku adalah seseorang yang jumawa, padahal memang begini adanya aku terlahir dengan jiwa monasrita." kata Anaphalis Javanica. Anaphalis Javanica adalah seseorang yang dingin tak tersentuh, tak suka berkomunikasi lebih lama dengan orang l...