Menatap dirinya sendiri didalam cermin dengan raut wajah sendu, memenjamkan kedua matanya kala mendengar suara seseorang yang berada dibelakangnya.
Air mata jatuh, dia menangis dengan menahan isakan tangisnya.
"Kau ingin menjual toko bukumu?."
Dia adalah Javanica yang berusaha tegar dengan mengusap air matanya yang mulai terjatuh kepipinya. "Kenapa? Apa aku tidak boleh menjual tokoku sendiri?" ujar Javanica bertanya pada seseorang dibelakangnya.
"Ana, bagaimana bisa kau berpikir sempit seperti ini? Dan kenapa kau tidak berbicara ke mama terlebih dahulu?"
"Kenapa?" tanya Javanica dengan membalikkan badannya. Menatap sang ibu dengan mata berkaca-kaca.
"Ini tokoku, bukan toko mama. Jadi aku bebas mau diapain ini toko. Bukan urusan mama."
"Ana..."
"Stop ma! Ana lelah, ana ingin istirahat dari dunia yang kejam ini. Ana tau mama takut kehilangan penghasilan Ana ditoko ini, iya kan? Mama tidak pernah berubah, mama tidak pernah mengerti perasaan Ana." ucap Javanica dengan perlahan tubuhnya bergetar, suaranya pun ikut bergetar dengan diiringi tangisannya.
"Masa Ana menjadi penulis sudah usai ma, jadi izinkan Ana bebas. Ana berusaha mengumpulkan uang, karna Ana ingin hidup bebas tanpa kekangan dari mama. Selama ini mama tidak pernah terlihat bangga pada Ana, sedangkan pada kak Anya. Mama selalu bangga banggain, selalu bilang kesemua tetangga bahwa Kak Anya adalah perempuan yang cerdas!"
Javanica menepuk dadanya sendiri, "Ana iri, ya Ana akui itu. Ana berusaha menguwujudkan impian Ana sendiri tanpa dukungan mama. Coba mama pikir, apa mama pernah bantu Ana bahkan Ana tidak pernah ngeluh kalau mama minta uang buat ini itu, Ana selalu kirimkan uang ke mama. Mama tidak pernah bertanya padaku, Apa aku baik-baik saja? Apa uangku cukup tidak buat bulan ini? Mama tidak pernah peduli!"
"KENAPA MA!" teriak Javanica frustasi.
Javanica terkekeh melihat Sang Ibu hanya diam tak bergeming ditempatnya. "Inilah alasan kenapa Ana tak suka pulang kekampung, kalau bukan karna adek. Ana tak ingin menginjakkan kaki kerumah yang mana seharusnya menjadi tempat untuk berpulang."
"Inilah alasan kenapa Ana tidak terbuka pada Mama, karna mama tidak pernah mau mendengarkan keluhan Ana. Seakan Ana hanyalah Anak benalu bagi mama, anak yang tak pernah mama anggap. Kenapa Ma? Apa kesalahan Ana?"
Javanica mengusap air matanya dengan kasar lalu tanpa permisi ataupun berpamitan Javanica pergi begitu saja meninggalkan sang Ibu yang masih terdiam.
Rintikan hujan turun membasahi seluruh bagian kota, Javanica memutuskan untuk pergi ketoko bukunya. Tidak mempedulikan cuaca yang sedang tak baik-baik saja.
Dengan memakai masker diwajahnya, cukup tidak dikenali banyak orang. Dirinya masih dikejar para wartawan dan menjadi pembicaraan dimedia sosial. Sejujurnya Javanica lelah hidup seperti ini tapi untungnya tidak ada yang tau soal toko bukunya. Ya karna toko bukunya kebanyakan diminati oleh anak sekolahan dan juga Javanica lebih memilih duduk manis diruangannya yang ada ditoko bukunya mengawasi tokonya lewat cctv.
Javanica menghela nafas kala lampu merah sudah berwarna hijau membuatnya mau tidak mau harus menunggu dipinggir jalan tepatnya dihadapannya ada zebra cross. Hari ini Javanica sedang malas mengemudi lebih tepatnya moodnya lagi buruk jadi Javanica memilih berjalan kaki dan kebetulan rumahnya tak jauh dari toko bukunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa Monasrita
Teen Fiction"Kata mereka aku adalah seseorang yang jumawa, padahal memang begini adanya aku terlahir dengan jiwa monasrita." kata Anaphalis Javanica. Anaphalis Javanica adalah seseorang yang dingin tak tersentuh, tak suka berkomunikasi lebih lama dengan orang l...