Playlist : A Million Dreams - Hugh Jackman, Michelle Williams, and Ziv Zaifman
***
Sepasang sepatu pantofel mendarat di luar ruang yayasan. Pemilik sepatu tersebut berdiam sejenak, diikuti dengan helaan napas.
Samuel Zhang tidak pernah merasa selega ini. Bahkan saat dia menjalani sidang skripsi, menyelesaikan 5 pesanan jasa freelance dalam tenggat waktu 24 jam, atau mengurus hal lain, tidak setara dengan ketegangan sesi interview dengan pihak yayasan sekolah.
Ah, gak boleh merasa tegang! Samuel memperbaiki postur tubuh dan merevisi pikirannya. Aku cuma nggak biasa sama interview. Bukannya takut.
Anyway, look on the bright side. Setidaknya semua telah selesai. Sepasang mata coklat hangat itu berbinar. Dia telah menyelesaikan wawancara menjadi guru. Akhirnya setelah setahun, dia berhasil keluar dari zona nyamannya.
Samuel Zhang tersentak begitu sadar bahwa bayangan sudah semakin terik. Menandakan bahwa hari kiat siang. Buru-buru diliriknya jam tangan Alba kesayangan, hingga alisnya bertautan.
Astaga. Sudah jam segini?! Mana masih harus ngelakuin A, pesanan B belum selesai, C minta diinikan .... Where do I begin? Pikir, pikir. Apa sebaiknya—
"Samuel! Samuel, 'kan?"
Semua penjabaran rencana yang ada di kepala Samuel, buyar. Langsung ditempatkannya fokus pada orang di depannya. "Eh, Pak Dono?"
Samuel bernapas tidak percaya. Wah. Mantan gurunya yang dulu mesti dilihat sambil melongokkan kepala, kini tinggi mereka telah setara.
Samuel lalu menunjuk dirinya sendiri, menuturkan kebingungan, "Kok masih ingat saya?"
"Ck, kamu kirain saya udah kakek-kakek pikun apa?!"
Samuel tertawa kecil. "Ampun, Pak."
Pak Dono ikut tertawa. Sambil mengulas senyum dengan mata menerawang, Beliau mengenang balik, "Ingatlah. Murid teraktif selama 30 tahun saya mengajar itu kamu lho."
"Wah." Sebagai gestur dia tersanjung, Samuel meletakkan tangannya di dada.
"Kamu aja saking aktifnya jadi dibenci sama teman sekelas. Ya kan? Gara-gara minta guru berikan tugas, ingatin buat kumpulkan PR, dan anti nyontek lagi. Terpuji lho, keberanian kamu menegur teman yang nyontek."
"Cukup, Pak." Samuel mengibaskan tangan. Bersamaan dengan merasa pipinya mengepul asap. Juga bersamaan dengan tawa Pak Dono yang terbahak.
"Lurus banget kamu tuh."
Samuel dengan lincah mengambil setir dalam konversasi. "Bapak apa kabar?" tanyanya, mengalihkan topik.
"Baik, baik." Tawa Pak Dono mereda. "Kamu? Udah nikah?"
"Belum lah, Pak. Baru aja mulai cicil rumah."
Jawaban itu tidak menyenangkan Pak Dono. Langsung disanggah, "Lah, kan bisa sambil jalan."
Untunglah untuk pertanyaan basi ini, Samuel sudah profesional. Sunggingkan senyum dan bilang saja, "Untuk hal ini, saya enggak terburu-buru."
"Lalu kamu ngapain di sini?" Pak Dono celingak-celinguk sejenak. "Bapak gak denger kalo ada kabar reuni."
KAMU SEDANG MEMBACA
Standing Still
RomanceHal terakhir yang diinginkan Samuel Zhang, yaitu: dekat dengan orang pesimis dan pemurung. Namun, demi menjalankan tugasnya sebagai guru yang perhatian-dan tekanan lainnya, dia pun harus mentransformasi si murid terkelam, April Lisie agar menjadi le...