Trigger Warning ⚠️! Suicidal themes and mental breakdown. Skip ya, bagi yang gak nyaman.
***
Lisie memainkan pulpennya. Mengetukkan ke meja, memutar, dan membuka tutupkan. Aksi itu berlatarbelakangkan ruang kelas yang dipimpin suara,
"Ada banyak kekeliruan dalam pemanggilan title. Misalnya, nama saya Samuel Zhang." Samuel berhenti berjalan dan berdiam di pinggir papan tulis. "Bagaimana cara kalian memanggil saya?"
"Mmm," Seorang siswi mengangkat tangan dan mengemukakan, "Mungkin Mr. Samuel?"
"Sir Samuel!" timpal siswa lain dengan percaya diri.
"Oke, tampung dua. Ada lagi?"
Hening adalah balasan bagi guru songong itu. Lisie tertawa setan dalam hati. Pas sekali, kelas 12 IPA 1 bukan kelas teraktif.
"Nah, jawaban tadi kurang tepat ya. Dalam title, yang benar itu ...." Tangan Samuel dengan cekatan membuka spidol dan menuliskan sesuatu.
"Mr. Zhang atau Sir Zhang!" baca salah satu murid aktif.
Selesai menggarisbawahi tulisannya, Samuel membenarkan. "Yap. Formatnya itu title-marga. Beda sama panggilan di Indonesia, yang cenderung panggil berdasarkan nama depan. Misalnya, Pak Dono. Pak Jerry."
Terdengar 'ooh' dari beberapa murid. Lisie sendiri memalingkan muka, enggan mendengar penjelasan dan menatap muka dari 'Sir Zhang'. Lagian gimana ceritanya ya, tentang Samuel yang mendadak jadi guru mereka?
Bagaimana pun, belum 15 menit Sir ini masuk dan Lisie sudah berharap dia cepat-cepat lulus. Agar bebas dari mantan pengawas ini.
Walau menutup telinga sekalipun, suara Samuel masih terdengar dengan lantang. "Kalau Indo campur keinggris-inggrisan, panggilan saya jadi Pak Zhang." Dia tergelak singkat atas ucapannya. "Entahlah bisa atau enggak, tapi terdengar ...."
"Seperti bakcang!"
Dua kata yang diceletuk seorang murid dapat membuat satu kelas dipenuhi gelak tawa. Benar-benar dipenuhi gelak satu kelas karena ... fine, harus diakui Lisie juga sedikit tertawa. Actually, setengah embusan napas saja kok.
Samuel hanya menunggu gelak mereka berakhir dengan sabar. Mata coklat itu meraup seisi kelas, lalu mengangguk.
Tidak ada yang tahu, bahwa dari sudut pandang Sam, dia senang dapat---secara tidak langsung---mencairkan atmosfer.
Aku sudah ... tidak sekaku dulu lagi, kan? Aku fleksibel. Aku sudah berubah.
Tapi dari sudut pandang Lisie, semua yang perempuan itu lihat hanyalah guru yang sok cool. Dari Samuel yang menempatkan sebelah tangan dalam kocek. Sepasang mata yang berakting datar. Belum lagi, tangannya yang bergerak membenarkan kerah setiap beberapa menit sekali.
Seolah 'sok cool' belum cukup, Sir Zhang juga mengoleksi title 'sok baik'. Lisie mengutip omongannya, 'Untuk mapel saya, kalian bebas mau makan, minum, atau gambar-gambar sebentar. Terserah. Asal sambil dengar penjelasan Sir dan kerjakan tugas dengan tepat, nilai kalian pasti aman.'
Hah, guru satu ini terlalu polos. Lisie menggeleng-geleng. Samuel paling berpikir dengan kelonggaran itu, belajar akan lebih asyik dan nyaman. Tapi yang ada, kenyataannya pasti berbeda. Lisie sudah dapat melihatnya.
Mengesampingkan perasaan tidak sukanya, ia mesti mengakui 1 perihal. Bahwa cara mengajar Samuel Zhang unggul.
Samuel yang secara aktif menggiring atensi murid, baik dengan memberi pertanyaan atau memastikan apa murid itu sudah mengerti. Samuel yang memperlakukan semua muridnya dengan adil, tidak satu pun murid yang dia 'kucilkan'. Lisie juga suka dengan penjelasan dari guru ini; percaya diri nan simpel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Standing Still
RomanceHal terakhir yang diinginkan Samuel Zhang, yaitu: dekat dengan orang pesimis dan pemurung. Namun, demi menjalankan tugasnya sebagai guru yang perhatian-dan tekanan lainnya, dia pun harus mentransformasi si murid terkelam, April Lisie agar menjadi le...