Kuping Eve dijewer kuat oleh seorang wanita paruh baya. "Kamu pikir sudah pandai, hah?! Ngajak kelahi?"
"Awh, awh." Eve meringis dan melompat menjauh. Wajah elok namun penuh dengan memar itu mengeluarkan protes, "Ma! Aku yang dipukulin, lho. Aku yang babak belur!"
"Kamu yang kalah, kali! Anak bego!" Selesai mencak-mencak, Mama Eve menoleh ke arah guru dan menundukkan kepala singkat. "Maaf ya, Pak. Tingkah anak saya terlalu dangkal. Sampai merugikan orang lain segala."
Guru BK itu memaksakan senyum maklum. "Namanya anak-anak, Bu."
Mama Eve kembali menatap anaknya. "Sekarang, minta maaf ke Lisie."
"Gak!" tolak Eve cepat. Ia masih sempat menggunakan sudut mata untuk memberikan tatapan sinis ke Lisie.
"Minta maaf atau kamu gak boleh pulang! Ikut Pak Gibran jaga sekolah nih, terus tidur di gudang belakang. Kalo di gudang gak ada tikus, mama yang akan kirimkan satu truk berisi tikus buat kamu."
Eve terbelalak. "Ma!"
Sebagai anak yang tinggal seumur hidup dengan mamanya, Eve mulai ngeri. Pasalnya, pertama, dia sangat takut dengan tikus. Kedua, sang ibu ialah orang yang selalu menepati ucapannya.
"Cepetan! Mama masih sibuk tahu."
"Tapi Ma ...." Kali ini, nada Eve berubah jadi lebih memelas.
Mama Eve menatap anaknya lurus dan menuntut.
Maka tidak ada yang bisa Eve lakukan selain menuruti.
"Sori," ucap Eve dengan nada paling tidak ikhlas.
Mama Eve mendesah, lalu berpaling ke Lisie. "Dimaafkan ya, Lisie? Jangan perpanjang ini lagi. Mama kamu dan saya juga temanan baik."
"Lisie, sekarang giliranmu minta maaf," tambah guru BK di depan mereka. "Kamu keterlaluan juga, nombok sampai mata Eve bengkak begitu. Lagian orangtuamu mana?"
Lisie bergeming.
"Lisie, minta maaf sekarang," ulang guru BK itu tidak sabaran. "Lisie!"
Meski ia diserbu tatapan gak-ngerti-lagi dari Mama Eve, kebencian dari Eve, dan kejengkelan dari guru BK, Lisie tetap bergeming.
Lisie berdengus dalam hati. Minta maaf ke Eve, setan berkedok malaikat ini? Lebih baik Lisie mati.
Lisie ikut melemparkan tatapan sengit ke Eve. Tanpa melihat pantulannya, ia tahu mukanya juga sama parah. Hanya saja, matanya aman.
Jika Eve menargetkan badan Lisie, hingga Lisie terjerembab ke tanah dan seragamnya dipenuhi lumpur, Lisie sengaja menargetkan pukulannya ke mata Eve. Seandainya saja tidak ada petugas kebersihan yang datang dan melerai mereka, mungkin saja Eve sudah tidak bisa melihat.
Senyum sinis melengkung di bibir Lisie. Setidaknya lumayan puas ada lingkar ungu di mata menjijikkan Eve. Penguntit bising itu.
Namun senyum Lisie hilang dengan cepat. Keresahan yang menghantuinya sejak mereka di'tangkap' dan diminta untuk menelepon orangtua, kembali membuncah.
Ia akan berada dalam masalah setelah ini.
***
"Apa kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan?"
Dinding bercat putih, meja kerja direktur, dan rak buku 8 kompartemen itu seakan menatap Lisie horor. Lebih horor lagi, ketika---ugh---papanya itu berbicara padanya.
Urijah menatap ke luar jendela. Tanpa berbalik, ia mulai mengungkapkan, "Sungguh memalukan. Kadang aku berharap ada tombol 'Undo' terkait kehadiranmu. Sampah terbesar dalam hidupku. Tidak tahu kebaikkan orang."
Here we go again. Lisie menutup matanya lelah.
"Sudah cukup baik kutransfer sekian uang tiap bulan. Kuberi ruang untuk tinggal di rumah indah ini. Kuberi nama yang penuh kehormatan. Sekarang kamu masih mau berulah?"
"Sebenarnya apa salahku?"
"Aku tidak sadar kamu juga tidak punya otak." Tampak Urijah minum dari sebuah gelas, sebelum menambahkan, "Mencemari namaku dengan berkelahi."
"Mengapa kamu membenciku sejak detik pertama aku ada?" Suara Lisie mulai bergetar, di saat ia mencurahkan keluh kesah terdalamnya. Kesempatan yang datang sangat jarang karena Urijah tidak pernah sudi berada di dekat Lisie. "Tidak bisakah kamu melihatku, barang sebentar saja? Apa sebenarnya yang sudah aku lakukan, sampai seorang ayah memperlakukan anak segininya?"
"Look at yourself."
"No, look at yourself!" seru Lisie. Segala kefrustrasian yang ia tumpuk selama bertahun-tahun, tidak tertahankan lagi. "Kamu bisa pura-pura bersembunyi di balik alasan: tidak suka anak perempuan, walau alasan sebenarnya ..., sebenarnya adalah karena kamu tidak bisa menyayangi. Tidak pada Karina, tidak pada Kylo-Kyle, tidak pada dirimu sendiri!"
Punggung itu tetap diam. Bahunya tidak menegang, gerakannya tidak mengkaku. Tidak apa pun.
Perlahan, punggung tegap berbalut jas itu berbalik. "Tidak juga." Urijah menatap Lisie mencemooh. "Kamu salah. Aku sayang Kylo."
Lisie tergelak sarkas. "Itu bukan rasa sayang. Kamu hanya suka sosok miniatur dirimu, hanya butuh seorang pewaris. What a narcissist."
"Tidak, tidak." Urijah mendekati Lisie, hanya untuk menunjuk-nunjuk putrinya di depan muka dan tersenyum sinis. "Kesimpulan yang tepat ialah: kamu tidak bisa disayangi. Kamu hanya seorang April Lisie yang menyedihkan."
Setelah puas dengan Lisie yang terdiam, Urijah Sie pun mengusir Lisie keluar. Gerakan tangan yang mengusir itu, dilayangkan secara dua kali. Lalu sang ayah duduk di singgasananya dan mengurus berkas entah apa.
Lisie semestinya menuruti, lurus meninggalkan ruangan saja.
Sayangnya emosi Lisie sedang tidak stabil. Setelah dipancing oleh Eve, kini ia juga mendapat bonus; dikata-katai oleh ayahnya sendiri.
Urijah mungkin tidak tahu, namun kalimat-yang-mungkin-fakta itu sangat menyakitkan. Menusuk terlalu dalam.
Kamu tidak bisa disayangi.
Napas Lisie berburu. Ia teringat kembali, wajah Urijah yang pongah saat mengatainya. Perlakuan Urijah selama ini. Tatapan merendahkan. Penilaian. Ketidakhadiran. Pengasingan. Sejuta rangkaian kata menyakitkan lainnya.
Dengan cepat, akumulasi itu menelan Lisie. Akal sehatnya kalah. Sehingga ketika alam sadar Lisie memerintahkannya untuk meraih vas bunga mini terdekat dan melemparkannya ke kening Urijah, itulah yang terjadi.
Lisie tidak akan melupakan bagaimana Urijah mengangkat kepalanya dengan sinar marah.
Bulu kuduk Lisie merinding. Denyut jantung gadis dengan seragam terkotor sedunia itu berubah kacau.
Lisie mungkin takut pada apa yang akan terjadi setelahnya---sangat takut malah. Tapi dari lubuk hati terdalam, Lisie tidak menyesali tindakan kekerasannya. Tidak sama sekali pun.
***
Lisie's mood:
___
Jumat, 6 Januari 2023
19.50
KAMU SEDANG MEMBACA
Standing Still
RomanceHal terakhir yang diinginkan Samuel Zhang, yaitu: dekat dengan orang pesimis dan pemurung. Namun, demi menjalankan tugasnya sebagai guru yang perhatian-dan tekanan lainnya, dia pun harus mentransformasi si murid terkelam, April Lisie agar menjadi le...