Chapter 36

12 3 0
                                    

Playlist: Hero - Cash Cash ft. Christina Perri

I lost hope in saving you and me

***

Dengan terburu-buru, pantofel hitam dikenakan oleh Samuel. Ia sempat menyugar rambut di pantulan kaca mobil, sebelum bergegas memasuki bagian pengemudi.

Cherry yang kebetulan berada di tempat, menghampiri kendaraan Honda itu. Hal yang janggal. Bukankah ini hari Sabtu? Samuel tidak ada jadwal mengajar, mengapa sepagi ini hendak keluar?

"Mau ke mana, Sam?" tanya Cherry lewat kaca mobil yang diturunkan.

Cherry tidak berekspektasi banyak. Sudah terima jika Samuel mengabaikannya.

Terkadang hal aneh terjadi saat kita tidak berharap banyak. Sekonyong-konyong, Samuel membuka suara, "Meminta maaf."

Kening Cherry berkerut. "Kepada?"

"Orang terpenting dalam hidupku sekarang."

Melalui lirikkan singkat dari Samuel, Cherry menangkap keseriusan yang intens darinya. Cherry pun tersenyum. Meski dia tidak tahu detailnya, "Apa pun dan bagaimana pun, aku harap berjalan dengan baik ya."

Karena Samuel belum mampu mengulas senyum basa-basi, dia mengangguk sekali.

Kaca mobil pun ditutup, dan mobil itu melindasi Kota Pontianak ke sebuah tujuan.

***

"Tidak, tidak boleh!" Karina berdiri dengan panik. "J---jangan pertemukan pemuda itu dengan Lisie. Usir dia sekarang!"

Satpam itu mengangguk dan siap menuruti perintah sang nyonya. Ia baru terdiam ketika tangan bosnya, Urijah Sie terangkat. Sinyal untuk berhenti.

Urijah lantas meletakkan tablet-nya. Ia menoleh ke Karina merendahkan. "Kamu ini bodoh sekali. Tidak pernah belajar. Lisie pasti sudah hamil, mereka tinggal dalam satu atap selama semingguan, for God's sake. Jadi biarkan saja urusan mereka. Membahagiakan kalau bisa dinikahkan karena itu artinya kita bisa bebas tangan dari orang satu itu."

"Tapi kamu tidak tahu. Dia—"

"Cepat, bawa Lisie ke depannya," perintah Urijah ke anak buahnya. Ia melipat kakinya dan dengan terduduk santai menambahkan, "Lakukan apa pun yang perlu jika ia membantah." 

***

Samuel hampir tertidur sekali lagi. Ia mengerjap bingung, lantas mengusap wajah dan meluruskan punggungnya.

Di depan pintu gerbang istana ini, ia tidak menyerah menunggu. Walau sudah hampir 2 jam sesi dia berdiri dan duduk di tepian jalan, Lisie belum muncul jua.

Herannya, Samuel tidak merasa membuang-buang waktu dengan menunggu. Ia merasa ini sepadan, meski jika Lisie tidak muncul sama sekali. Mungkin karena ....

Samuel langsung saja berdiri. "Lisie---"

"Oh, bukan 'April' lagi?"

Rasa bersalah kembali menggelayuti Samuel. Tidak bertahan lama, karena perasaan itu tergantikan dengan terkejut. Pipi Lisie yang memerah---bukan rona alami. Melainkan khas kekerasan.

Tanpa pikir panjang, Samuel mengelus pipi Lisie. Penglihatannya menyalang marah. "Apa yang mereka lakukan?"

Sebetapa nyamannya Lisie dengan sentuhan itu, ia tepis. "Aku sudah di sini. Apa yang kamu mau?" tanya Lisie, mengimitasi nada abai dan kesal Samuel tempo hari.

Aku ingin membawamu pergi dari penjara ini. Tentu mustahil Samuel mengutarakan itu. Hal yang bisa Samuel ambil ialah fokus ke tujuannya datang. "Yang terjadi sebelumnya, aku benar-benar minta maaf. Aku---"

"Sam. Aku sudah tahu segalanya. Seperti ibuku adalah penyebab ayahmu meninggal. Ya, itu."

"Lisie."

"Sejak awal akulah masalahnya. Membuatmu terbebani dalam membantuku aktif. Dan aku tahu kamu tidak bisa menolak karena itu perintah dari Pak Dono."

Mulut Samuel terbuka pelan. "Dari mana kamu---"

"Selama ini aku menghabiskan waktu, energi, dan bahkan uangmu. Maaf, mungkin aku tidak bisa menebus segala itu." Lisie memaksakan senyum. "Kini tidak banyak pilihan, selain kamu tetap menjauhiku."

"Tidak. Lisie, kamu tidak salah atas apa pun. Aku senang menghabiskan waktu, energi, bahkan uang denganmu. Aku tidak terbebani olehmu, yang benar itu aku bukan apa-apa tanpamu. Tindakan lampauku itu sangat impulsif. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu, maaf.

"Sekarang aku sudah sadar. Walaupun ayahku orang baik dan Beliau meninggal di tangan ibumu, tetap bukan salahmu. Kamu tidak bertanggung jawab atas kesalahan orang tuamu. Dan aku mulai tidak peduli karena---"

"Tapi aku peduli!" pekik Lisie frustrasi. "Aku peduli, Sam, kamu pikir ini tidak menyesakkan buatku? Kamu pikir masih ada masa depan untuk kita?"

"Ya." Samuel mengangguk mantap, walau percikkan matanya tidak semantap itu. "Ya, masih ada."

"Keoptimisanmu akan membunuhmu."

"Selalu ada cara."

"Coba kamu bayangkan, jika kita melanjutkan hubungan ini. Anggap saja sampai ... jenjang pernikahan. Sebelum pesta pernikahan adat kita, ada acara tea pai. Upacara minum teh sebagai bentuk penghormatan. Pengantin pria berlutut pada ibu mertua, yang tak lain pembunuh ayahnya. Apa itu dapat diterima? Di mana harga dirimu, Sam?"

"Sekali lagi, aku tidak peduli."

"Karena apa?" Lisie menggigit bibir, sebagai upaya dalam membendung air matanya.

"Karena aku baru tahu, bahwa rasa sayangku padamu jauh melebihi kebencian pada orangtuamu. Jauh." Siapa pun yang dapat mencium ketulusan dan kehangatan akan merasakan kepekatan itu, saat Samuel membisikkan, "Jauh melebihi segala egoku."

Lisie mengerjap. Sebulir air mata melintasi pipi kirinya begitu saja. Ia sadar dengan gestur Samuel, yang siap memberinya pelukkan jika ia nyaman dengan itu.

Tapi tidak. Lisie mengusap lengannya sendiri dan membentuk batasan yang tinggi dan kokoh. "Good bye," tegas Lisie, setelah menarik napas.

"Lisie, tunggu." Samuel menyodorkan kotak makan 3 tingkat miliknya. "Ini, kamu harus ingat makan. Walau masakanku rasanya tidak seenak bikinan koki---ditambah aku sedang banyak pikiran saat masak, tapi tidak ada racun kok."

Samuel tertawa atas penuturannya sendiri. Lisie tidak.

Lisie terpana. Tersentuh dalam batin. Tidak semua orang peduli dengan 'apa dia sudah makan atau belum'. Heck, bahkan orang-orang di sekitarnya tidak peduli dia hidup atau mati.

Mau terharu, berbunga-bunga, jungkir balik, Lisie tidak boleh menampilkan itu. Ia menegaskan diri, menghentikan perasaan, dan harus tetap pada keputusannya.

Lisie pun meraih kotak makan itu. Tangannya bergerak membuka kunci dalam setiap tingkat. Ia sadar Samuel mengamati pergerakannya dengan bahagia. Di pikiran lelaki itu, Lisie mau melihat apa yang dia masak. Pada kenyataannya ....

Lisie sengaja menjatuhkan kotak makan itu. Masakkan rumahan itu langsung berserakkan di semen yang lembap.

Pandangan mereka bertubrukan. Lisie memanfaatkan waktu itu untuk memberikan tatapan merendahkan. "Berhentilah mencoba. Semua tentangmu itu menjijikkan. Dasar miskin. Saat-saat tinggal bersamamu ... aku tidak akan mau kembali merasakan itu."

___

Senin, 6 Februari 2023
21.14

Standing StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang