18 (bully stevan)

4.9K 319 9
                                    

Terima kasih banyak untuk dukungan dari para pembaca yang setia. Dukungan kalian membuat aku, yang bukan penulis senior, bisa terus melanjutkan perjalanan menulis ini hingga saat ini.

Aku sangat menghargai setiap vote dan komentar yang kalian berikan setiap kali aku mengupdate cerita. Itu benar-benar memberikan semangat dan motivasi untuk terus menulis dan berkarya.

Semoga update kali ini bisa menghibur dan memberi kalian kesenangan. Terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalanan ini, dan semoga karya ini bisa terus dinikmati!

Stevan menatap wajah damai Fano yang tertidur. Perjalanan menuju rumah terasa tenang, hanya ada senyuman dari wajah Stevan yang menikmati tingkah Fano. Sesekali, Stevan mencium kedua pipi Fano, merasa bersyukur atas kehadiran Fano dalam hidupnya.

"Tidak boleh ada seorang pun yang mengambilmu dari sisi papa," bisik Stevan pelan.

"Bos, kau mirip pedofil," celetuk Edward Snowden, tangan kanan Stevan.

"Diamlah, Ed!" balas Stevan dengan nada kesal.

"Kukira wajahmu cuma datar, mirip dinding. Ternyata kamu juga punya ekspresi lain ya, Stev!" goda Edward dengan santai.

"Jangan mentang-mentang kau temanku, jadi bisa seenaknya saja," jawab Stevan dengan suara datar.

"Ya, kita cuma berdua, gak perlu ada kesan formal kayak gitu," ujar Edward santai.

Memang, Stevan dan Edward sudah bersahabat sejak kecil. Tak ada orang yang bisa bertahan dengan sifat Stevan, kecuali Edward, itulah sebabnya Stevan mengangkatnya sebagai tangan kanan.

"Jarak usia anak-anakmu berapa tahun?" tanya Edward penasaran.

"Tidak jauh beda," jawab Stevan.

"Maksudku, coba jelasin deh, umur anak pertama sampai Fano," kata Edward kesal.

"Argo 24 tahun, Rimba 21, dan Fano 15 tahun," jelas Stevan.

"Argo gak ada niatan untuk menikah gitu?" tanya Edward lagi.

"Dia bilang masih ingin memanjakan kedua adiknya," jawab Stevan.

"Lu, umur 47 kan?" tanya Edward.

"Iya," jawab Stevan singkat.

"Gua aja udah punya cucu satu, sementara lu belum punya satu pun," celetuk Edward, menggoda.

"Diamlah!" balas Stevan kesal.

Saat itu, Fano terbangun mendengar suara pertengkaran antara Stevan dan Edward. Fano memberontak dari pangkuan Stevan dan terbentur kursi kemudi. Stevan langsung memeriksa bagian belakang kepala Fano dengan wajah khawatir.

"Rasain pusing atau ada masalah lain, nak?" tanya Stevan cemas.

"Tidak apa-apa kok," jawab Fano, sedikit kesal.

"Kau ini penyebabnya, bodoh!" teriak Stevan, jengkel.

"Kau yang ngajak adu mulut, Stevan!" protes Edward.

"Kalian berdua berisik banget. Udah bau tanah, kok masih bertengkar kayak anak kecil sih?" gerutu Fano dengan malas.

Fano, yang kesal, memukul wajah Stevan karena Stevan masih memeluk tubuhnya. Edward langsung tertawa terbahak-bahak melihat Stevan yang biasanya intimidatif, kali ini kalah dengan anaknya. Stevan menatap memelas ke arah Fano, namun Fano malah mengerutkan wajah dengan ekspresi ngeri melihat tatapan Stevan.

"Stevan, jangan sok imut deh!" teriak Fano.

"Hahaha, anak lu satu ini, kayaknya asyik banget nih," tawa Edward sambil meledek Stevan.

Stefano Mahardika (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang