Berkunjung ke rumah Biru

34.7K 2.7K 159
                                    

"Biru, kamu punya keluarga yang harmonis saja aku kalah telak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Biru, kamu punya keluarga yang harmonis saja aku kalah telak."---Gusti Ayunda Maharani.

☔🌧️

Biru baru saja selesai mengumpulkan tugas yang diberikan oleh Bu Ajeng minggu lalu. Saat ia hendak menaiki tangga menuju kelas, tiba-tiba Januarta, Mario, dan Sagara mencegatnya dari depan. Biru merasa cukup lelah meladeni orang-orang seperti Januarta, apalagi dengan kedua temannya yang selalu ikut-ikutan.

Jika bukan karena cita-citanya untuk menjadi seorang dokter dan mengangkat derajat kedua orang tuanya, mungkin Biru sudah lama putus sekolah. Ia sudah lelah dan muak dengan semua ini.

"Minggir, gue mau lewat," kata Biru dengan wajah datar, mencoba tetap tenang.

"Enggak usah sok lo anjing!" maki Januarta, lalu mendorong tubuh Biru dengan kasar. Biru terjatuh dari atas tangga, dan semua mata di koridor langsung tertuju padanya dengan tatapan sinis dan menghakimi.

Tatapan itu sangat mengerikan, terasa seolah-olah setiap mata itu penuh dengan kebencian.

Biru merasakan seluruh tubuhnya remuk, sakit. Melihat bagaimana orang-orang di sekitarnya memperlakukan dirinya seperti keset di depan pintu.

"Pagi-pagi lihat pemandangan kayak gini bikin gue bahagia," kata Januarta dengan senyum sinis, seolah menikmati penderitaan Biru yang diperlakukan seperti itu.

"Enak ada hiburan," cibir seseorang dari kerumunan.

"Sendirian mulu, enggak punya teman ya?" suara lain menambah sindiran.

"Cie, nggak punya teman," ejek yang lainnya.

"Ganteng sih dia, tapi sayang miskin, buat apa? Yang ada hidup gue melarat," bisik seorang gadis, cukup keras agar Biru bisa mendengarnya.

Tanpa peringatan, Mario langsung menendang pinggang dan perut Biru dengan kasar, membuat cowok itu kesulitan bernapas. Setiap tendangan terasa lebih sakit dari sebelumnya, tubuh Biru dipenuhi rasa nyeri yang tak tertahankan. Tindakan itu berulang, seolah-olah Mario menikmati penderitaan yang ditimbulkan.

Sementara itu, Januarta tidak tinggal diam. Ia menjambak rambut Biru dengan kejam, bahkan mengeluarkan ponselnya untuk memotret wajah menyedihkan Biru yang sudah tercabik-cabik.

"Wajah lo burik! Kalau dijual sama tante-tante, kayaknya nggak akan laku," ejek Januarta dengan tawa sinis.

Biru terbatuk-batuk, darah kental mengalir dari mulutnya. Rasa sakit itu begitu parah, seolah-olah hidupnya tak lagi berarti. Ia merasa seolah ingin mati, ingin lari dari semua siksaan ini.

Setelah puas, Januarta dan teman-temannya meninggalkan Biru yang meringkuk di bawah tangga, tergeletak lemah dan terluka. Mereka melanjutkan langkah mereka, melancarkan rencana yang sudah mereka susun sebelumnya, seolah-olah tak ada rasa penyesalan atas apa yang baru saja mereka lakukan

KOTA BANDUNG DAN BIRU [ Sudah terbit ]  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang