Biru dan ketidakadilan.

26.4K 2.4K 90
                                    

“Semestaku Biru sudah terlalu banyak luka, namun mengapa masih ada orang-orang yang selalu berusaha menyakitinya? Apa salah Biru hingga manusia-manusia itu memperlakukannya semena-mena?”----Gusti Ayunda Maharani

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Semestaku Biru sudah terlalu banyak luka, namun mengapa masih ada orang-orang yang selalu berusaha menyakitinya? Apa salah Biru hingga manusia-manusia itu memperlakukannya semena-mena?”----Gusti Ayunda Maharani.

🌊🌊🌊

       NARENDRA menatap Biru nyalang. Setelah kejadian tadi Biru di panggil untuk menghadap kepala sekolah. Laki-laki itu hanya duduk diam di sofa tanpa bergeming sedikitpun karena Biru tau ini konsekuensi yang harus di hadapi jika berurusan dengan Januarta.

"Kamu tau apa yang sudah kamu lakukan Biru!? Kenapa kamu memukul wajah anak saya? saya minta kamu minta maaf!" bentak Narendra dengan urat-urat leher yang tercetak jelas.

"Januarta yang salah disini jika dia tidak menghina ibu saya, saya tidak akan memukul dia." jawab Biru tidak takut karena disini ia memang tidak salah. Sesekali Biru melirik ke arah Januarta yang sedang duduk santai di meja.

"Apa kamu tidak bisa menahan emosi?  Kamu tau karena kasus ini bisa saja beasiswa kamu saya tarik. Walaupun kamu pintar tetap saja beasiswa itu di tarik jika kamu melakukan tindakan kekerasan. Ingat satu hal, kamu berasal dari keluarga tidak mampu. Apa kamu tidak kasihan dengan kedua orang tua kamu?"

Cowok itu mengepal kuat tangannya, mata Biru memerah ingin rasanya ia marah, lagi-lagi membahas tentang ekonomi. Padahal sudah jelas disini Januarta yang salah tapi kepala sekolah tetap menyuruhnya untuk meminta maaf? Selama ini Biru selalu disiksa oleh Januarta, tapi pihak sekolah tidak pernah mengambil tindakan apapun. Ia merasa tidak adil.

Luka di wajah Januarta tidak seberapa dengan perbuatan laki-laki itu bertahun-tahun.

“Apa karena saya dari keluarga yang kurang mampu jadi saya di perlakukan tidak adil?” tanya Biru dengan suara bergetar.

"Saya selalu diam saat orang-orang di sekolah ini membullying saya, bahkan semua guru tau tapi mereka menutup mata. Bapak ingat kasus saya 1 tahun lalu? saya pernah patah tulang karena perbuatan anak bapak Januarta, tapi pihak sekolah mengatakan bahwa Januarta bermain sesama teman?" Lanjut Biru dengan napas memburu mengingat kembali kejadian itu membuat Biru terluka hingga dulu ia pernah hampir takut untuk pergi ke sekolah.

Sekolah itu menakutkan bagi mereka yang sering mendapatkan bullying.

"Bermain apa sampai mematahkan tangan seseorang?" tanya Biru.

"Bapak tidak tau, mereka memukul saya habis-habisan di gudang, bahkan saya berbohong dengan ibu dan bapak saya sewaktu di tanya tentang tangan saya, karena apa? karena saya tidak mau menyusahkan beliau. Saya memang miskin pak, tapi saya manusia, saya punya perasaan, dan saya butuh keadilan."

"Apa begini sistem sekolah? membedakan siswanya berdasarkan ekonomi dan status? saya tau Januarta anak bapak, tapi bapak harus bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar!"

"Jangan sekali-kali kamu mengajari saya benar atau salah. Kalau bukan saya yang memberikan kamu beasiswa kamu tidak akan pernah bisa bersekolah. Anak miskin seperti kamu mana bisa bersekolah disini!? Kamu makan saja susah dan sekarang ngelunjak? Saya menyuruh kamu minta maaf, kenapa susah sekali!?"

Januarta hanya bermain ponsel melihat Biru terkena amukan sang ayah, tak segan-segan laki-laki itu memotret wajah Biru yang sangat menyedihkan.

Mampus. Ini balasan karena lo ngatain gue, gue nggak terima sialan!

"Karena saya disini tidak salah, dan saya tidak mau minta maaf!”

Wajahnya berpaling ke kanan saat  Narendra menampar pipi Biru hingga cowok itu merasakan panas di area pipi kanannya. Biru tersenyum sinis, "Kalau di dunia ini ada banyak manusia seperti bapak, saya bisa jamin banyak orang yang nggak mendapatkan keadilan."

"Tutup mulut kamu, saya tidak akan segan-segan mengeluarkan kamu dari sekolah. Masa bodoh, kamu siswa berprestasi bahkan selalu mengharumkan nama sekolah!”

Manusia terlalu jahat, kenapa mereka membuat hidupku se-berantakan ini, mengapa aku harus merasakan semua ini, apa salahku? Padahal mereka sama sepertiku sama-sama manusia, tapi kenapa mereka tidak peduli apa yang aku rasakan?

Jika di dunia ini ada manusia suka semena-mena terhadap seseorang ketika ia tau dirinya berkuasa, mungkin itu adalah Narendra.

Semenjak tadi seorang gadis menguping dari balik Pintu, karena tadi ia mendengar nama Biru di sebut untuk menghadap kepada kepala sekolah. “Ternyata anak sama bapak sama aja.” gumamnya dengan emosi yang meluap-luap lalu membuka pintu tersebut dengan kasar.

“Nggak ada yang bisa mengeluarkan Biru dari sekolah ini!”

“Ayunda?” lirih Biru.

Melihat kehadiran Ayunda mampu membuat Biru kaget, begitu pula dengan Januarta dan kepala sekolah.

"Kamu tenang aja, ada aku di sini,” bisik Ayunda pada Biru, ia menatap Biru dengan lembut, tetapi ketika melihat wajah cowok itu babak belur, amarahnya kembali meluap.

“Tadi saya enggak salah dengar, kan? Om mau mengeluarkan Biru? Ingat, ya, Om, Om itu di sini cuma jadi kepala sekolah. Pemilik sekolah ini adalah Ayah saya, jadi Om enggak berhak mengeluarkan Biru seenaknya!”

“Yun, kamu kok belain Biru? Aku loh dihajar habis-habisan sama dia, lihat pipi aku luka, ini semua gara-gara dia,” oceh Januarta sambil memegangi pipinya. Lelaki itu tidak terima ketika Ayunda lebih membela Biru dan bukan dirinya.

Ayunda sangat jijik melihat Januarta. “Diem lo bangs*t. Kalau bukan lo duluan, Biru enggak akan mukul.”

“Jaga sopan santun kamu, Ayunda!” Bentak Narendra.

Ayunda tersenyum miring. “Jaga sopan santun sama orang yang enggak tahu kejadian sebenarnya? Om terlalu memanjakan Januarta hingga dia tumbuh jadi anak yang enggak punya rasa empati dan berlaku seenaknya. Dulu waktu SMP Januarta juga kayak gini, Om. Selalu bully orang sampai ada salah satu anak yang berhenti bersekolah karena takut setiap hari selalu dipukul Januarta.

"Dan sekarang Om mau menambah korban lagi? Om itu orang berpendidikan tinggi, tidak seharusnya memiliki pikiran yang
dangkal.” Setelah mengatakan itu Ayunda menarik tangan Biru untuk keluar dari ruangan kepala sekolah.

Januarta yang melihat itu sangat kesal, apalagi mengingat kembali Biru mengatainya anak yang tidak memiliki ibu.

Narendra memijat pelipisnya karena pusing, “Lihat saja kamu Ayunda saya tidak akan tinggal diam. Berani sekali kamu mengatakan itu kepada saya.” Amuk Narendra melempar semua barang-barang yang ada di atas meja.

KOTA BANDUNG DAN BIRU [ Sudah terbit ]  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang