Bab 1

15.2K 603 8
                                    

Halo teman-teman ....

Saya datang bawa cerita lama tapi "agak baru", hehehe. Sebenarnya cerita ini akan saya rilis tahun baru nanti. Sebagai pemanasan, saya naikkan satu bab buat perkenalan.

Ceritanya ringan-ringan aja, kok.

Bab-bab berikutnya akan dirilis mulai Januari 2023.

Semoga berkenan, dan selamat membaca.

^^


****


Rasanya tidak ada yang lebih posesif daripada kasur di Minggu siang yang panas. Ditambah suhu AC kamar yang sudah diatur sedingin kulkas, beragam camilan, dan lagu-lagu energik dari boyband asal Korea yang disetel dengan volume maksimal. Bisa jadi, tidak akan ada hal lain yang bisa membuat Teresa Naima rela beranjak dari kasur, karena buatnya bermalas-malasan adalah salah satu self reward-nya setelah seminggu kemarin dihajar oleh pesanan kaca dengan spesifikasi terumit sejak enam tahun menjadi staf penjualan di PT. Surya Tama Glass.

Tidak ada yang mewajibkan seseorang untuk mandi dua kali di hari libur. Begitu kilahnya. Rambut tergerai berantakan, piama satin yang belum terganti sejak semalam, dan muka bantal sehabis ketiduran, jadi penampilan yang sungguh paripurna untuk sebuah kegiatan mulia. Rebahan.

Namun, rupanya kesenangannya tidak berlangsung lama karena suara melengking dari luar kamar memanggil-manggil namanya.

"Astagfirullah, Sasa ...." Perempuan berjilbab merah muda tercengang begitu pintu kamar terbuka. Sasa, alih-alih Teresa. Begitu ia kerap disapa terutama oleh teman-teman terdekatnya. Sasa mendongak, lalu mendengkus, ketika menyadari siapa yang mendatanginya.

"Kenapa, sih, Ki?"

"Dari tadi pagi enggak mandi?" Kiki, perempuan berjilbab merah muda itu berjalan mendekat ke Sasa. "Geser, geser," suruhnya, seraya mendorong tubuh Sasa ke tengah kasur.

"Astaga, ganggu banget, deh," gerutu Sasa. "Tiduran di kamarmu sendiri, sana!"

"Tadi aku habis ketemu sama Pak Raga di minimarket depan."

Seperti mendapat sengatan, Sasa langsung bangkit dan duduk menghadap Kiki yang kini berbaring di ranjangnya. "Pak Raga? Manajer produksi yang baru?"

"Ya, iyalah. Memangnya siapa lagi yang namanya Raga yang kita kenal?" Kiki memutar mata, kemudian berbaring miring, menyangga kepala dengan tangan kanannya menghadap Sasa.

"Di minimarket depan? Ngapain dia di sana?" tanya Sasa lagi.

"Berenang, kayaknya. Ya, belanjalah, ogeb."

Sasa ber-oh panjang, lalu kembali berbaring di sebelah Kiki. Perempuan itu menatap langit-langit kamarnya.

"Tahu enggak, sih, Sa. Semakin dilihat dari dekat, mukanya Pak Raga itu adem banget, kayak ubin masjid. Rasanya pingin rebahan-"

Belum selesai Kiki menyelesaikan racauan, bantal kotak milik Sasa sudah mendarat di mukanya.

"Heh! Sembarangan," tegur Sasa.

Sontak Kiki bangun, lalu duduk bersila menatap Sasa. "Setuju enggak kalau Pak Raga ganteng?"

Khusus untuk pertanyaan Kiki satu itu, ia memang tidak bisa mengelak lagi. Manajer produksi di tempat kerjanya yang baru itu memang memiliki visual yang agak lain. "Ya, iya, sih. Aku kalau punya fisik begitu, enggak mau repot-repot kerja di pabrik kaca. Mending jadi seleb."

"Nah, ini uniknya, Pak Raga. Kerja di pabrik begini kayaknya memang passion, deh. Mana ada yang mau ke pabrik hari libur begini, coba," terang Kiki.

Approve (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang