Bab 26

2.8K 287 8
                                    

Selamat sore ....



Ia tercekat.

Timur mendekatkan badan ke setir. Matanya menyipit, mencoba mengamati lebih jeli interaksi dua manusia di depan sana. Sasa dengan seorang pria yang ia kira ia tahu benar siapa, sebab beberapa kali melihat pria itu bersama istrinya.

"Enggak mungkin," desisnya.

Timur meraih ponsel yang ia letakkan di dashboard, kemudian mencari foto-foto yang pernah ia ambil ketika mengikuti Emma bertemu dengan selingkuhannya di hotel.

Benar. Itu Raga.

Dari gesturnya, sepertinya ada kedekatan di antara mereka. Raga mengelus ujung kepala Sasa, dan perempuan itu menatap ke pria di depannya itu.

Timur mendengkus, lalu tawa menyedihkan keluar dari bibirnya melihat pemandangan di depannya. Tangannya mengepal, lalu dipukulnya setir bundar di depannya.

"Kebetulan konyol! Jancuk!" umpatnya.

Pria itu menyalakan mesin mobil, kemudian melaju meninggalkan pasangan yang masih berinteraksi di depannya tadi.

Sepanjang jalan, di antara amarah dan kebingungan, Timur terus mencoba mencari benang merah di antara mereka. Ia memang beberapa memergoki Emma bertemu dengan Raga. Tiga kali. Dua di Surabaya, beberapa bulan yang lalu dan yang terakhir ... di sebuah hotel di depan perumahan di Malang!

Hingga kemudian ia menyadari sesuatu, bahwa Sasa dan Raga bekerja di bidang yang sama. Namun, bagaimana mereka bisa saling mengenal sedangkan setahunya Raga bekerja di sebuah perusahaan kaca di Jakarta?

"Sialan!" Timur meninju setirnya. "Karma sialan!"

Timur menatap ke spion. Kendati sudah jauh dari kos mantan tunangannya itu, tapi pikirannya masih tertinggal di sana. Apakah Sasa tahu soal Emma dan Raga? Soal perselingkuhan yang terjadi di antara keduanya?

Demi apa pun, ia sungguh tidak tahu apa yang mesti ia lakukan sekarang. Mantan kekasihnya bersama dengan selingkuhan istrinya? Bukan. Mantan kekasihnya bersama dengan mantan kekasih istrinya!

Apakah ia harus memberitahukan kepada Sasa? Namun, buat apa? Apa perlunya? Apakah dengan begitu hubungannya dengan Emma membaik, atau justru merusak segalanya?

***

"Mau balik, Ga?" tanya Pak Dinar, ketika Raga hendak masuk ke dalam mobilnya. Pria itu bersama Pak Erwin dan Putra keluar dari mobil yang mereka tumpangi bersama.

"Iya. Barusan balik dari Surabaya?" Raga melirik ke dalam mobil, mencari sosok perempuan satu-satunya yang mestinya ada di rombongan itu.

"Iyo." Pak Dinar menoleh ke arah pagar, di mana Pak Erwin dan Putra sudah mendahului masuk ke area pabrik. "Besok meeting, Ga. Ada yang mesti dibahas dari hasil visit tadi."

"Oke."

Menyadari tidak ada Sasa di sana, Raga merogoh ponselnya. Bergantian menatap benda pilih itu dengan atasannya. "Aku balik duluan, Pak."

"Hati-hati," ucap Pak Dinar. Namun, baru dua langkah meninggalkan Raga, pria itu berbalik. "Ga."

Raga menoleh heran. "Ya?"

"Sasa tadi izin balik sendiri. Ada perlu mendadak sama keluarganya katanya," ucap Pak Dinar.

Kendati pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan dalam pikirannya, Raga mengangguk pelan, lalu tersenyum samar. "Thanks, Pak."

Ia kemudian masuk ke dalam mobilnya, mengecek pesan terakhir dari Sasa. Tidak ada pesan yang mengindikasikan bahwa perempuan itu pulang tidak bersama dengan rombongan kantor, bahkan dari telepon barusan, Sasa sama sekali tidak menyinggung soal pertemuannya dengan keluarga di Surabaya. Jelas, ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Lekas-lekas ia mengendarai mobilnya ke kos Sasa.

Approve (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang