Bab 30

3K 288 8
                                    

"Sasa! Sudah sembuh? Ditinggal Kiki langsung sakit begitu. Aku, kan, cemburu." Rani memekik dari meja front office, lalu menghampiri Sasa yang barusan masuk ke area lobi kantor.

"Hai, Rani." Sasa tersenyum simpul, lalu menyambut tangan teman sedepartemennya itu. "Paling enggak sudah enakan sekarang."

Kedua perempuan itu kemudian berjalan bersama ke ruangan mereka sambil bertanya jawab soal kondisi kantor saat Sasa tidak masuk bekerja.

"Kemarin ada retur kaca dari proyek mal yang kamu handle, Sa. Surat jalannya aku taruh di odner. Terus kontrak harga proyek hotel baru juga sudah turun. Semuanya aku taruh map," terang Rani, sembari duduk ke bangkunya.

Sasa meletakkan tas di atas meja, lalu mengambil lembaran-lembaran yang tertumpuk di rak besi paling atas di mejanya. "Retur lagi? Kenapa?"

"Wah, enggak tahu. Coba tanya ke QC. Tiga hari enggak ada kamu, rasanya sepi banget, Sa," gumam Rani sembari menyalakan komputer di depannya. "Eh, iya. Jangan kaget kalau nanti ada orang baru."

"Orang baru?" tanya Sasa, seraya duduk dan mulai membuka outstanding produksi hari ini dari layar menyala di depannya.

"Kan, manajer produksi kita ganti." Rani menoleh kepada Sasa. "Pak Raga balik lagi ke IMAG."

"Oh." Sasa menggigit bibir dalamnya.

Rani menghela napas. "Aku enggak tahu pastinya kenapa, soalnya aku rasa Pak Raga itu bagus-bagus saja kerjanya. Tapi kok tiba-tiba diminta pindah ke IMAG? Mendadak banget."

Sasa tidak lagi menanggapi ucapan Rani. Ia melirik ponsel yang layarnya tiba-tiba menyala karena satu pesan masuk di sana. Seketika ia teringat Raga yang selalu mencoba menghubunginya. Mengirim pesan berkali-kali dan menelepon, tapi tidak digubrisnya sejak empat hari yang lalu, sejak peristiwa itu.

Perempuan itu menghela napas, lalu mencoba menyibukkan otaknya dengan permasalahan yang berbeda. Kiriman kaca, juga retur yang baru ia terima.

"Loh, sudah masuk? Sakit apa, Sa?"

Sasa mendongak ketika atasannya berhenti tepat di depan meja bersama sosok yang sebenarnya sangat ingin ia hindari hari ini, besok, lusa, atau hari-hari ke depan. Namun, bagaimana ia bisa menghindari seseorang yang masih jadi bagian dari perusahaan tempatnya bekerja? Napas Sasa tercekat ketika mendapati Raga menatapnya tanpa ekspresi.

"Maag, Pak." Sasa tersenyum sangat-sangat tipis, kemudian memalingkan pandangan ke tumpukan kertas di atas rak, lalu berdiri setelah mengambil dua lembar surat jalan berwarna hijau. "Saya permisi ke ruang HRD dan QC dulu, Pak."

Perempuan itu mengambil surat dokter yang tadi ia keluarkan dari tas, kemudian bergegas meninggalkan meja kerjanya.

Sepanjang ia teronggok di kamar beberapa hari kemarin, ia sudah berupaya mempersiapkan sikap biasa ketika berhadapan dengan Raga. Sebab ia menyadari kemungkinan pertemuan mereka di area kerja, meski tetap saja kalau boleh berharap, ia ingin sekali tidak bertatapan muka. Dulu, waktu ia patah hati karena pertunangannya rusak, ia juga tetap bekerja seperti biasa, kendati ada waktu di mana ia merasa begitu sedih sampai mesti diam di toilet bermenit-menit untuk sekadar mengeluarkan tangis sendiri ketika jam makan siang, atau bahkan menjelang waktu pulang. Namun, kenapa kali ini rasanya begitu berat, dan semakin berat ketika mereka bertemu mata dengan mata.

Sasa berbelok ke ruangan HRD, tepat ketika bel penanda waktu mulai bekerja terdengar nyaring. Perempuan itu tersenyum begitu membuka pintu dan disambut sapaan dari Bu Indira, mantan atasan Kiki.

"Pagi, Bu. Saya mau menyerahkan surat dokter," ucapnya kepada perempuan berkacamata yang duduk di meja paling dalam ruangan HRD-GA.

"Pagi, Sasa. Thank you, ya." Perempuan itu menerima surat beramplop yang diserahkan Sasa. "Sakit apa kamu, Sa? Muka kamu masih pucat begitu."

"Cuma maag, sih, Bu. Tapi enggak tahu, kali ini rasanya sakit banget sampai enggak bisa bangun. Kayaknya kebiasaan telat makan saya sudah keterlaluan." Sasa meringis, sambil mengusap hidungnya.

Bu Indira melepas kacamata, lalu mengerutkan dahi. "Maag itu bukan cuma karena telat makan saja, loh. Bisa jadi stres. Handle customer rewel, ya, kamu? Jangan kebanyakan pikiran, Sa. Kesehatan tetap yang utama."

Seusai menasihati Sasa, perempuan itu memiringkan kepala menatap ke sisi belakang Sasa. "Pagi, Pak Raga."

Sontak, Sasa menegakkan badan, lalu sedikit melirik ke sisi belakang lewat ekor matanya. Ia berdeham, kemudian. "Bu Indira, terima kasih. Saya mesti ke QC."

Perempuan itu memaksakan senyuman, lalu berbalik. Menatap ke depan lurus-lurus. Benar-benar enggan menatap pria yang berdiri di belakangnya. Langkahnya besar-besar. Tangannya mencengkeram surat jalan yang hendak ia tunjukkan kepada petugas QC yang menangani returnya.

It's OK, Sasa. It's OK. Sakit hatinya sementara. Nanti kamu akan terbiasa, seperti waktu itu.

Rapalnya, seiring langkah demi langkah menuju ke departemen berikutnya.

***

Jemarinya berhenti bergeser ketika layar ponsel menampilkan sebuah foto tiga manusia sedang berpose selayaknya keluarga bahagia. Satu orang laki-laki yang menggendong tinggi-tinggi seorang balita. Di depannya perempuan berbaju terusan panjang warna putih dengan rambut tergerai dan kacamata hitam membingkai wajah ayunya. Berlatar belakang pantai dengan langit dan laut biru. Tampak begitu cerah dan ceria, sebab terukir senyum lebar di bibir ketiganya.

Bali, tiga tahun yang lalu. Timur ingat benar setiap peristiwa dalam hidupnya bersama orang-orang yang ia cinta. Betapa berharga. Betapa ia sungguh ingin ini selamanya. Namun, segala asa tetap selamanya menjadi asa, sebab hidupnya kini tidak lagi sama.

Kendati ia menutup mata atas segala yang dilakukan Emma di belakangnya. Kendati ia menahan ego demi Emma tetap berada di sisinya, ia tetap manusia yang memiliki rasa dan luka. Dan kemudian, luka itu kian kentara, tidak lagi mampu ia nafikan.

Timur mengusap wajah. Ia bimbang setengah mati dengan nasib keluarga kecilnya yang baru dibangun selama lima tahun. Bukan sekali dua kali Emma mengungkapkan perkara perpisahan, meski tidak pernah ia tanggapinya sebab ia lebih memikirkan perkara keutuhan. Namun, apa yang utuh sekarang? Sebab keluarganya seperti kusen kayu yang tampak baik-baik saja padahal di dalamnya berjubel rayap yang menggerogot. Hanya menunggu sedikit tekanan dari luar, lalu remuk sudah.

Tentu Timur sadar benar, bahwa apa yang ia ucapkan kepada Sasa akan memiliki dampak pula bagi hubungannya dengan Emma. Ia mengenal benar mantan tunangannya itu, dan ia yakin kalau Sasa akan memutuskan hubungannya dengan Raga. Lampu hijau buat Emma dan Raga untuk kembali bersama, lampu merah untuk keutuhan rumah tangganya, juga menorehkan luka lama bagi Sasa.

Timur mengesah. Diletakkannya ponsel itu ke atas meja, lalu ia menyandarkan punggung ke sandaran sofa. Matanya memejam, mencoba mengupayakan kewarasan dan mendamba kejernihan pikiran. Apa yang mesti ia putuskan?

Hingga tiba-tiba, suara pintu yang terbuka membuatnya ikut membuka mata.

"Dari mana kamu?" tanyanya, sembari sekilas menatap jam dinding yang menunjukkan hampir pukul dua belas malam.

"Ketemu sama orang," jawab Emma sambil berjalan memasuki kamar.

Timur beranjak, lalu berjalan mengikuti istrinya. Namun, begitu menutup pintu, ia hanya berdiri mematung. Menatap Emma yang duduk di bangku kecil di depan meja riasnya.

Sungguh, perempuan ini adalah perempuan yang benar-benar bisa membuat ia bersimpuh demi terjaganya anak mereka tetap berada dalam rahimnya. Perempuan yang membuat ia membutakan diri kendati dengan jelas telah berselingkuh dengan pria lain. Perempuan yang teramat ia cintai, sampai sebegitunya menderita.

Kedua tangannya mengepal di sisi-sisi badan. Timur mengetatkan rahang, lalu berjalan mendekat ke Emma.

"Kamu benar-benar lebih mencintai Raga daripada aku dan Bima?" tanyanya.

Emma beranjak dari duduk, lalu berbalik menghadap Timur. "Sudah terlalu malam untuk bertengkar."

Perempuan itu kemudian melangkah menjauh. Membuka lemari, lalu mengeluarkan baju tidur yang baru.

"Oke. Aku turuti keinginanmu," ucap Timur, saat Emma hendak memasuki kamar mandi. "Besok aku temui pengacara untuk mengurus perceraian kita."

Approve (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang