Bab 32

2.9K 297 11
                                    

Hawlo, teman-teman ... selamat malam Senin.

Aslinya aku deg-degan mau naikin bab 32 dan 33 hari ini. Revisi berkali-kali. Entah kenapa, semakin ke belakang dan mendekati ending, justru semakin "susah" ditulis. maap, curcol, hehehe ....

Yasudahlah, ya. Selamat membaca ^^



Dua buah koper besar tergeletak di lantai kamar kala Emma masuk. Perempuan itu kemudian duduk di tepi ranjang. Menatap benda besar itu lekat-lekat.

"Aku sudah selesai berkemas," ucap Timur.

Emma mengangguk. Ia menoleh ke Timur yang mendekat lalu duduk di sampingnya. Pria itu menghela napas. Matanya memindai kamar yang semula mereka tempati bersama.

"Buat yang terakhir kali." Timur menatap Emma, lalu menyunggingkan bibirnya. "Sebentar."

Pria itu beranjak, entah ke mana. Emma menatap pintu yang terbuka, hingga sesaat kemudian Timur kembali datang dengan dua botol minuman di pelukan tangan kanan dan dua gelas di tangan kiri.

Timur duduk di lantai, lalu meletakkan benda-benda yang ia bawa ke depannya.

"Duduk di sini." Timur menepuk lantai kosong di sampingnya, mempersilakan Emma agar duduk di sana. "Aku enggak ngajak bertengkar. Aku cuma mau ngajak kamu minum."

Timur mengambil botol wiski, lalu menuang isinya ke dua gelas tidak sampai separuh. Kemudian, Timur mengangkat satu gelasnya. "Untuk kesepakatan cerai."

Emma menunduk sekilas, lalu mengambil gelas miliknya. Ia menatap Timur yang menenggak habis isi gelas dalam sekali teguk. Pria itu kembali mengisi gelas dengan wiski, seolah-olah ingin menahan hari dengan bergelas-gelas alkohol.

Emma meneguk pula wiskinya, lalu menatap Timur yang membuka sebotol besar bir. "Aku masih ada dua di kulkas. Harus habis malam ini. Kita harus pesta, merayakan kebebasanmu."

Timur tersenyum lebar, lalu menuang bir ke gelas kosong mereka sampai penuh. Lagi-lagi ditenggaknya cairan kekuningan itu hingga tandas tanpa waktu lama. Seperti orang meminum air mineral biasa.

"Timur," kesah Emma.

"Kenapa? Ayo, minum." Timur menuang lagi wiski. Ia tertawa ketika melihat muka Emma. "Ayolah, Emma. Ini bukan seperti kamu."

Emma menggeleng pelan melihat tingkah laku Timur yang mulai agak mabuk. Ia tahu benar, Timur bukan orang yang bisa minum banyak. Tiga gelas wiski dan segelas bir, sudah berdampak pada kesadarannya.

"Tim, sudah," sela Emma, ketika Timur hendak menuang bir ke dalam gelas kosongnya.

"Kenapa?" Timur mencebik. "Biarin aku minum, Emma. Aku lagi sedih. Biarinlah, aku menikmati kesedihanku."

Timur menyandarkan kepala ke tepi ranjang, memejam, lalu tertawa. "Kayaknya aku benar-benar kena karma. Keluargaku hancur. Istriku minta cerai."

Pria itu menoleh ke Emma, lalu mengelus pipi perempuan yang masih sah menjadi istrinya. "Asal kamu tahu, sebenarnya aku enggak mau cerai. Aku mau sampai mati kayak yang aku bilang di depan altar waktu itu. Tapi yang dicintai istriku itu mantannya. Bukan aku."

Emma mengarahkan pandangan ke setiap tingkah laku Timur. Menuang minuman, menenggaknya sampai tandas, meracau, menuang minuman lagi, menenggak lagi, dan meracau lagi.

"Ingat, ya. Bima itu tetap anak kamu. Kamu enggak bisa melupakannya kayak kamu melupakan aku. Tapi enggak apa-apa. Biarkan dia tinggal sama aku, biar aku yang urus. Jadi kamu bebas menemui laki-laki itu," racau Timur, sembari terkekeh untuk sesuatu yang tidak lucu.

Approve (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang