Bab 6

3.9K 377 6
                                    

STG—Pak Raga

Jakarta liburan ini? Kebetulan saya juga ada rencana pulang. Mau bareng?

Pesan itu tidak dibalas oleh Sasa sejak Raga mengirimnya kemarin pagi. Namun, setiap kali Sasa membuka Whatsapp di ponselnya, ia selalu membuka kolom percakapannya dengan Raga, kendati tidak ada pesan lanjutan.

Hatinya galau setengah mati, lantaran ia tidak tahu harus membalas apa. Di satu sisi, Sasa ingin sekali memagari diri karena Raga sendiri mengatakan kalau ia hanya menganggap Sasa teman. Namun, Sasa sendiri tidak bisa memungkiri kalau ada yang membuat hatinya berdesir setiap kali berdekatan dengan pria itu. Bahkan, sikap Raga sama sekali tidak mencerminkan pertemanan senormal teman-teman pria Sasa lainnya.

"Mana ada teman yang sering ngajak makan berdua, sering Whatsapp sekadar tanya bisa tidur atau enggak, suka makan apa, suka main ke mana. Apa cara bertemannya Pak Raga memang begitu?" gerutunya.

Sasa menghela napas kasar, kemudian melempar ponselnya ke atas ranjang. Perempuan itu kemudian mendekat ke meja rias. Di depan cermin bundar yang menggantung di dinding, Sasa menatap pantulan diri.

"Cuma teman," ucapnya meyakinkan diri sendiri, lalu mengambil hair dryer.

***

"Yang mana?" Kiki menaikturunkan dua buah parfum di tangan kanan dan kirinya.

Sasa mengambil botol di tangan kiri Kiki, kemudian mengendus aromanya. "White Musk. Aku suka yang ini. Elegan, Ki. Bisa mengimbangi tingkah lakumu yang petakilan itu."

"Sialan." Kiki mengembalikan botol parfum yang dipegangnya dengan tangan kiri ke tempat semula, lalu membawa parfum yang direkomendasikan Sasa menuju kasir.

"Makan, yuk," ajak Kiki, usai menyelesaikan transaksi pembelian parfumnya.

"Kamu enggak puasa?" tanya Sasa.

"Lagi kedatangan tamu bulanan," jawab Kiki, seraya menggandeng Sasa meninggalkan toko kosmetik dan perawatan tubuh bernuansa hitam dan hijau di lantai satu mal.

"Aku pingin makan yakiniku, Sa."

"Dih, mentang-mentang THR sudah di tangan," ejek Sasa.

"Ya elah, perkara beli makan enam puluh rebu doang. Daripada kamu? Habis check out parfum mahal lagi, kan? Berapa, tuh? Sejuta lebih, kan?"

"Beli parfum setahun dua kali, Ki. Astaga," ucap Sasa membela diri.

"Kenapa, sih, mesti beli yang mahal-mahal, Sa? Beli yang isi ulang juga sama-sama wangi, kok. Tinggal bilang yang dipakai artis, mereka juga tahu, kali."

"Beda, dong, Zaskia Mira! Keringat jadi lebih wangi, tahu."

Kiki tergelak mendengar ucapan Sasa. "Mana ada?"

"Bukan secara harfiah, Nyonya. Aku jelasin, ya. Duit yang aku pakai buat beli parfum, kan, dari ngumpulin duit insentif yang didapat kalau target tembus. Nah, kalau aku pingin beli parfum, ya, berarti aku mesti kerja keras, banting tulang, keringetan. Makanya nilanya jadi berbeda. Bukan sekadar parfum buat wangi-wangian aja, Ki. Tahu enggak, begitu parfum sudah sampai di tangan, omelan Pak Erwin sama Pak Dinar, mumet-mumetnya orderan, telepon dari aplikator malam-malam jadi enggak kerasa. Lenyap semua!" terang Sasa menggebu-gebu.

"Mau sampai kapan ngumpulin parfum?"

"Selamanya, dong. Koleksi parfum itu salah satu impianku, tahu."

"Kalau salah satu, berarti ada impian yang lain?"

Kiki dan Sasa menoleh, karena pertanyaan barusan itu bersumber dari suara laki-laki di belakang mereka.

Approve (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang