Bab 34

3K 299 15
                                    

Bohong kepada diri sendiri adalah kesia-siaan. Sebab rasa ganjil yang tercipta kerap merongrong dari dalam sana. Dari sanubari, yang membikin ketenangan meremang. Demikianlah Sasa dengan ucapan-ucapan Raga yang kadung terdengar olehnya. Sesuatu yang mulanya mustahil, nyatanya terjadi pula. Nyatanya perasaannya terbalas pula. Namun, tidak bisa diungkiri kalau ada pula ketakutan dalam diri atas segala yang terjadi selama ini. Ia telah terluka, dan enggan merasakannya sekali lagi. Pada akhirnya, kendati segalanya—tanda tanya besar dalam hatinya—jadi benderang lewat pembicaraan singkat tadi, ia tidak bisa menampik diri kalau ia memang tidak baik-baik saja.

Sejak dua jam yang lalu, sejak memasuki kamar kosnya, sejak ia memutuskan untuk meninggalkan Raga di luar sana, ia hanya duduk diam di lantai. Bersandar pada ranjang, memeluk diri dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus berulang di pikiran. Apakah ungkapan itu yang dari dalam hatinya? Apakah keputusannya sudah benar? Apakah ini adalah sesuatu yang sungguh ia mau?

Demi apa pun yang berharga di dunia, amarahnya atas kenyataan yang sayangnya menorehkan nyeri dalam hati itu masih ada. Bergejolak setiap kali ia mengingatnya.

Perempuan itu mengangkat kepala, menatap ruangan pribadinya yang kini gulita karena sinar matahari memang sudah tidak ada. Sasa berdiri, lalu menyalakan lampu. Didekatinya tas yang ia taruh sembarangan di depan pintu, lalu diambilnya ponsel dari dalam sana.

Sasa menghela napas, ketika melihat beberapa pemberitahuan berjubel di layarnya. Salah satunya adalah dari Instagram yang mengatakan kalau Vera baru saja mengunggah foto baru.

Entah kenapa, dari banyaknya pesan, ia memilih mengetuk layar, tepat di pemberitahuan dari Vera. Tampak perempuan itu dan Rino berpose di sebuah meja restoran dengan latar belakang kerlap lampu kota. Barangkali makan malam momen spesial mereka, sebab ada gelas wine dan sajian mewah di depan mereka.

Sasa menghela napas panjang ketika melihat foto pasangan suami istri sahabat Raga itu. Ia ikut bahagia, tapi tidak mampu diungkiri kalau ada secarik iri dalam hati. Bukan dengki, hanya kehendak yang mesti dikubur dalam-dalam sebab ia menyadari diri kalau ia tidak bisa mengalami hal yang sama dengan mereka. Sasa mengetuk dua kali foto itu, juga meninggalkan komentar di sana.

Pasangan favorit

Namun, belum sempat Sasa meletakkan benda pipih itu ke atas kasur, benda itu bergetar lagi. Vera membalas komentarnya.

Hey! Lo sama Raga juga pasangan kesayangan gue. Baik-baik, lo berdua.

Sasa menghela napas dalam. Interaksi singkat itu memunculkan lagi percakapan mereka beberapa waktu yang lalu. Percakapannya dengan Vera soal hubungannya dengan Raga, soal Emma, dan soal bagaimana Vera dan Rino begitu percaya kalau Sasa adalah sosok yang tepat yang dipilih oleh pria itu.

"Gue rasa, Raga sama Emma sudah ada di posisi yang terbaik sekarang."

"Hanya ada di masa lalu."

Benarkah begitu? Sebab apa yang dilihatnya tidak seperti itu. Emma tidak pernah meninggalkan Raga.

Sasa memejam, lalu duduk di atas ranjang. Jemarinya bergerak di atas layar ponsel yang menyala, yang menampilkan foto-foto yang pernah ia ambil saat ia bersama Raga. Foto-foto yang ia telan sendiri lantaran tidak ada satu pun yang pernah diunggah di media sosial.

Jemarinya berhenti di foto yang sedikit mengabur. Foto saat Raga mencium ujung kepalanya dari belakang saat Sasa hendak mengambil swafoto di ruang makan tempat tinggal Raga. Sasa tidak bisa menahan senyuman meski foto yang ia tatap kian mengabur karena matanya kembali berembun. Ia menggeser lagi foto di ponsel. Foto ke sekian yang ia tatap. Sasa tersenyum lebar saat Raga memeluknya dari belakang dengan kepala yang terbenam di ceruk lehernya.

Kenangan kebersamaan mereka hilir mudik seperti enggan terusir oleh ketakutan-ketakutan yang meraksasa di benaknya. Sasa memejam, mencoba kembali menakar mana yang lebih besar. Cintanya, atau amarahnya. Kerinduannya, atau ketakutannya.

"Percaya sama dia, Sa."

Ucapan Rino di pembicaraan mereka kala itu juga tiba-tiba saja terlintas tanpa aba-aba. Menggema. Mendesak ragu-ragu. Menguatkan kerinduan. Menghantarkan kembali selebat bayangan Raga dan kebersamaan mereka. Tentu ia mencintai Raga. Dengan segenap perasaan yang ia punya. Dengan segala angan yang pernah ada di benaknya dan terbentuk sedemikian besar sejak Raga memperkenalkannya kepada keluarga. Namun, lebih dari itu, ia terlalu takut untuk bersama. Dengan segala yang terjadi pada mereka. Permasalahan-permasalahan yang berkelindan. Sungguh, ia tidak berani menggadaikan bahagia. Tidak lagi.

***

"Jadi sekarang, Emma tinggal di mana?" Danu melirik Timur yang belum juga berhenti menatap seloki berisi wiski.

"Pulang ke rumah mamanya di Malang." Pria itu meraih gelas itu, lalu menenggak habis isinya. "Dia keluar dari kantor sejak beberapa bulan yang lalu. Dia bilang sudah menyiapkan usaha bareng sama temannya sejak setahun belakangan."

Timur terkekeh, meski pandangannya kosong ke depan. "Dia sudah merencanakan ini jauh-jauh hari. Rencana untuk kembali ke mantannya."

"Ini sungguhan, ta?" tanya Danu mencondongkan tubuhnya mendekat ke meja. Matanya mencari keraguan dalam sorot pandangan Timur, tapi yang didapati pria itu hanya kegusaran semata. "Cerai, Tim?"

"Mau bagaimana lagi? Enggak ada yang bisa dipertahankan." Timur menatap ke arah Danu, tersenyum getir. "Proses perceraian sudah berjalan, aku sudah menyiapkan biaya-biayanya, sudah mulai memberikan pengertian kepada Bima sejak dua minggu yang lalu. Rasanya ini adalah keputusan terbaik buat dia."

Sebab faktanya, Emma tidak pernah benar-benar mencintainya. Sebesar apa pun Timur berusaha untuk membuat Emma berpaling kepadanya, hanya memikirkan dia dan Bima, rasanya kini sia-sia. Lima tahun bukan waktu yang sebentar bagi mereka untuk mencoba. Namun, rasanya segalanya tidak pernah berbuah. Pertengkaran-pertengkaran tidak pernah ada penyelesaian. Bagaimana bisa ada penyelesaian kalau hatinya Emma saja tidak ada bersama mereka? Tidak pernah ada.

"Jadi selama ini perkiraanmu benar soal hubungan mereka masih ada sepanjang pernikahanmu dengan Emma?"

Timur mengangguk lemas. Fakta kedua, sebenarnya bukan sekadar perkara perselingkuhan Emma dan Raga di belakangnya. Namun, lebih dari itu. Timur seperti dihantam kenyataan, kalau ia begitu pengecut untuk berhadapan dengan Raga. Ia punya hak untuk marah. Ia punya hak untuk menonjok muka pria itu tepat di hadapan Emma, tapi ia tidak sanggup melakukannya. Tidak pernah sanggup, sebab ia mengingat awal mula hubungannya dengan Emma.

Sepintas, bayangan Raga bersama Sasa menyerobot pikirannya. Timur kemudian menoleh ke Danu. "Walaupun sebenarnya aku enggak yakin apa Emma benar-benar bisa kembali ke mantannya."

"Kenapa enggak? Katamu mereka sering bertemu bahkan setelah kamu dan Emma menikah?"

"Sasa." Timur mendengkus. "Kebetulan yang aneh. Raga dan Sasa menjalin hubungan. Aku yakin hubungan mereka lebih dari sekadar teman. Soalnya aku melihat dengan mataku sendiri waktu aku mengantar Sasa pulang habis pertemuan tidak sengaja kami di Surabaya."

Sejenak, Timur terdiam. Dahinya berkerut, teringat soal percakapan singkatnya dengan Sasa di telepon. "Tapi Sasa sempat menanyakan soal siapa selingkuhan Emma ... terus, aku bilang namanya Raga. Sekarang, aku enggak tahu bagaimana nasib hubungan mereka." Timur menatap Danu lurus-lurus. "Kamu tahu sendiri, Sasa bukan tipe orang yang gampang memaafkan."

"Ruwet." Danu menggeleng. "Tapi andai Raga dan Emma benar-benar balikan. Kamu rela, Tim?"

Timur menghela napas, lalu terkekeh. "Memangnya aku punya pilihan?"

Danu menepuk bahu pria berkacamata di sebelahnya. "Sejak awal, sejak lima tahun yang lalu, kamu pernah punya pilihan. Sorry, Tim, sudah lama aku mau ngomong kalau waktu itu ... pilihanmu salah."

"Tidak ada akhir yang baik untuk sebuah hubungan yang dimulai dengan cara yang buruk." Timur tersenyum getir. 



"Tidak ada akhir yang baik untuk sebuah hubungan yang dimulai dengan cara yang buruk."

Setuju, nggak?? ^^

Approve (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang