Bab 18

3.1K 274 2
                                    

Punggung yang menjauh lalu hilang di balik pintu itu selalu jadi santapan matanya setiap pagi. Tidak ada sapa di awal hari, tidak ada sentuhan-sentuhan hangat seperti dulu-dulu. Hanya dengung pendingin ruangan dan sesekali teriakan anak kecil berusia lima tahun yang jadi suara-suara penyambut fajar.

Timur menoleh, kala pintu kamar mandi dalam kamarnya terbuka setengah jam kemudian. Emma keluar dengan berbalut jubah mandi dan handuk yang membungkus rambutnya.

"Mau ke mana sepagi ini sudah mandi?" tanya Timur, seraya meraih ponselnya.

Emma tidak menjawab pertanyaan Timur. Perempuan itu sibuk bersolek di muka meja riasnya.

"Bima minta ke Taman Safari." Timur meletakkan ponselnya, lalu duduk bersandar di atas ranjang. "Aku pikir, kita bisa ke sana hari ini."

Emma menoleh. "Aku ada janji dengan orang hari ini."

"Siapa?" tanya Timur.

"Temanku yang mau bikin bisnis bareng," jawab Emma, sembari kembali dengan kesibukannya sendiri.

"Di hari libur?!" Timur tertawa getir. "Anakmu butuh orangtuanya, Emma!"

"Pelankan suaramu," tegur Emma. "Bima masih tidur."

"Jangan ajari aku soal Bima." Timur menyibakkan selimut lalu berjalan mendekat ke Emma. "Dia bahkan tidak akan peduli apakah suara papanya mengganggu atau tidak, karena hal yang akan lebih mengecewakan buat Bima adalah mamanya tidak pernah punya waktu buat dia!"

Emma menaruh bedak padat di tangannya ke meja dengan keras. Kemudian, ia menatap Timur dari cermin. "Aku sudah lebih dulu punya janji dengan orang lain hari ini."

Emma menata kembali meja riasnya, kemudian beranjak dari duduk. Perempuan itu menatap Timur yang menyorotkan kekecewaan. "Aku mesti pergi."

"Kamu keterlaluan, Em. Sangat keterlaluan."

Perempuan itu bergeming. Ia tetap bersiap untuk apa yang akan ia lakukan sendiri. Rok terusan tanpa lengan warna hijau tua dengan kancing yang berbaris hingga paha membuat Emma tampak begitu cantik. Meski begitu, Timur seperti tidak lagi terpukau dengan visual perempuan yang dinikahinya lima tahun yang lalu itu.

Pria itu mencekal tangan Emma saat perempuan itu hendak keluar dari kamar mereka. "Telepon temanmu, batalkan janji sekarang."

"Kamu gila?!" Emma menoleh ke pergelangan tangannya yang dicengkeram Timur. "Lepas!"

"Kamu yang gila! Istri dan ibu macam apa yang enggak pernah meluangkan waktunya buat keluarga, hah?!"

Emma menarik paksa tangannya, kemudian mengarahkan tubuhnya ke Timur. "Kalau tahu aku bukan istri dan ibu yang baik, mestinya kamu enggak perlu mikir lama-lama buat menceraikan aku."

Timur menggeleng. "Cerai?! Aku enggak akan menceraikan kamu!"

Cengkeraman tangan di tasnya kian erat, Emma beradu pandang dengan suaminya, sama-sama terbakar amarah dan kehendak yang berbeda. "Kita tetap akan bercerai, Timur."

"Kamu kira aku enggak tahu perselingkuhanmu?" Suara Timur sontak menghentikan gerakan tangan Emma di tuas pintu.

"Perceraian yang kamu minta adalah usaha biar kamu bisa kembali ke Raga. Aku tahu semua, Em. Aku tahu selama ini kalian masih bertemu. Dan, kamu kira aku diam saja?! Jangan konyol, kamu. Sampai kapan pun tidak akan ada perceraian, Emma."

***

"Rame banget, ya." Sasa mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hampir semua meja sudah terisi pengunjung bahkan ketika ia dan Raga mengantre pesan ke kasir.

"Itu ada yang sudah mau pergi. Kamu duduk di sana saja, biar aku yang pesan," ucap Raga seraya menunjuk satu meja dengan orang yang sedang berkemas.

Sasa mengangguk, kemudian mengeluarkan dompet dari dalam tasnya. Namun, tangan Raga menahan gerakan Sasa. "Ngapain?"

Approve (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang