Bab 46

10.7K 408 38
                                    

Ponsel di atas meja bergetar. Layarnya menyala, menampilkan satu pesan dari Raga. Sasa tersenyum ketika membaca pesan itu, lalu membalas dengan pesan suara.

"Tunggu. Lima menit lagi aku keluar."

Hari ini adalah hari pertemuan mereka kembali, lepas satu bulan Raga memberikan keputusan kepada keluarga Wijaya. Sasa keluar dari kamar, mengunci pintu, lalu berjalan cepat ke pagar.

Begitu sampai di depan, ia tidak melihat mobil Raga, melainkan mobil asing terparkir di lokasi di mana Raga biasa berhenti. Saat hendak mengambil ponsel di tas, Sasa menoleh karena klakson mobil asing itu. Ia pun berjalan mendekat sembari memicingkan mata.

"Kaget, ya, aku bawa Avanza?" tanya Raga, saat membukakan pintu mobil dari dalam.

"Mobilnya siapa?" tanya Sasa, begitu duduk di bangku penumpang depan.

"Mobilku." Raga meraih sabuk pengaman, lalu menyalakan mesin.

"Terus mobil lamamu?"

"Nanti aku ceritain. Sekarang kita berangkat dulu ke lokasi tujuan," ucap Raga, seraya mulai melajukan kendaraan.

"Kita mau ke mana?" tanya Sasa lagi, ketika melihat jalan yang ditempuh mereka.

Raga tidak menjawab. Pria itu hanya tersenyum, lalu kembali memandang ke depan. Meski sebal, Sasa tidak memberondong Raga dengan pertanyaan-pertanyaan. Ia malah mengeluarkan ponselnya, berselancar di media sosial sambil sesekali melihat arah, menebak-nebak restoran atau kafe mana yang akan mereka tuju.

Sasa mengerutkan dahi ketika menyadari Raga berbelok ke perumahan di Utara kota. Ia semakin heran ketika jalan yang dipilih Raga persis sama dengan jalan yang kerap ia sambangi dulu. "Kita mau ke mana, sih? Aku pikir kita mau makan."

Raga menggeleng "Nanti pesan antar aja, ya."

"Rumahnya Pak William?" tanya Sasa, begitu Raga berhenti tepat di muka rumah.

Raga menyerahkan kunci kepada Sasa. "Minta tolong bukakan pagar, dong."

Tanpa pikir panjang, Sasa kemudian menuruti permintaan Raga. Ingatannya seperti ditarik ke masa-masa ia dan Raga kerap menghabiskan waktu di rumah ini. Seperti kebisaan lama, Sasa kemudian berjalan ke pintu masuk, memasukkan kunci ke lubang pintu sembari menunggu Raga keluar dari mobilnya.

"Kok ke sini?" tanya Sasa, ketika mereka kini sudah berada di dalam rumah.

Sasa mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada yang berubah dari rumah ini. Segalanya masih sama seperti saat terakhir kali. Ia duduk di sofa di depan teve, lalu meletakkan tas di sampingnya.

Ia menoleh saat Raga menyodorkan sebuah paper bag putih kepadanya.

"Apa?" Sasa berkedip, sambil melihat isi dalam paper bag itu. "I-ini?"

"Bener itu, kan, Chanel No. 5?"

"Parfum ini ... buat aku?" tanya Sasa, ragu-ragu. Ia menghadap Raga yang kini duduk di sebelahnya.

Raga mengangguk, lalu tersenyum "Soal mobil. Pajeronya aku jual, terus sebagian uangnya aku belikan Avanza buat sementara. Apartemenku yang di Jakarta juga aku jual lewat temannya Rino yang agen properti, cuma belum ada yang cocok."

Sasa melongo mendengar ucapan Raga. Ia kemudian meletakkan parfum yang selama ini diidam-idamkannya ke atas meja. "Kenapa?"

"Aku jual aset yang aku punya ... buat beli rumah."

"Rumah? Di mana?"

"Di sini." Senyuman di bibir Raga makin lebar. Pria itu mengusap ujung kepala Sasa. "Waktu aku pamitan ke Pak William sebulan yang lalu, aku iseng tanya apa rumahnya boleh aku beli. Ternyata dikasih sama dia, malah dijual ke aku dengan harga sangat murah. Katanya buat perpisahan."

Approve (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang