Bab 35

3.1K 311 22
                                    

Selamat malam... satu lagi, ya.

"Sudah enggak ada yang ketinggalan, Mas?" tanya Bu Mar, orang yang menjaga dan membersihkan rumah milik Pak William selama ini.

"Kayaknya enggak, Bu," jawab Raga, sembari memasukkan dua koper juga tas ransel besar miliknya ke bagasi mobil.

Pria itu kemudian mengangkat tangan kirinya, menilik jam yang melingkar di sana. Hampir pukul sebelas. Sudah terlalu siang untuk mulai perjalanan panjang. Ia mengesah, kemudian menoleh ke perempuan paruh baya yang memandangnya dari teras.

"Bu, saya pamit, ya. Nanti kalau ke Malang, saya mampir. Salam buat Pak Slamet," ucapnya, seraya menyalami Bu Mar.

"Hati-hati di jalan, Mas."

Baru akan membuka pintu mobil, perhatiannya teralih kepada sebuah sedan merah yang berhenti tepat di depan rumah. Ia mengurungkan niat memasuki mobil, menyakukan kedua tangan ke kantong depan celana, lalu berjalan ke depan pagar.

Ia menunggu sosok yang sudah ia duga keluar dari sana.

"Mau keluar?" tanya Emma, sembari berjalan mendekat ke Raga.

"Mau pergi." Raga menatap tajam perempuan di depannya. "Em, aku mau bicara."

Emma mengerutkan dahi. "Oke."

Tanpa diminta, perempuan itu berjalan ke arah rumah melewati Raga. Namun, ketika mendekat, Raga mencekal tangan Emma. "Di luar."

Pria itu menunjuk mobil Emma. "Bawa mobil sendiri-sendiri. Aku tunggu di Starbucks depan."

Raga membuka pagar lebar-lebar, lalu memasuki mobilnya sendiri. Ia benar-benar tidak peduli dengan perempuan yang masih berdiri mematung, memandang penuh heran ke arahnya.

Tak lama, Raga melajukan mobilnya, mengarah keluar kompleks perumahan hingga sampai di parkiran kedai kopi yang ia maksud tadi. Cepat-cepat ia masuk. Usai melakukan pesanan, ia duduk di salah satu bangku di ujung.

Hanya berjarak beberapa menit, Emma menghampirinya. Perempuan itu meletakkan tas di bangku kosong, lalu duduk tepat di depan Raga. "Kenapa enggak di rumah saja?"

"Itu bukan rumahku," jawab Raga, sambil membalas pesan dari Rino yang barusan diterimanya. "Itu rumah bosku."

Raga meletakkan ponsel di atas meja. Jemarinya terjalin, matanya melirik ke barista yang barangkali sedang menyiapkan pesanannya sebelum akhirnya menatap lurus-lurus Emma.

"Aku selesai dengan Teresa," ucapnya.

Emma memajukan badan. Tangannya meraih tangan Raga, memegangnya lembut lalu tersenyum sampai matanya berbinar. "Aku tahu. Aku sudah menduga kalau kamu cuma main-main saja sama dia. Aku tahu kita akan bareng-bareng lagi kayak dulu. Aku janji aku enggak akan pergi, Ga. Aku janji."

Raga menarik tangannya dari sentuhan Emma. Ia menatap tajam perempuan yang senyumnya memudar itu. "Em. Aku enggak akan bersama kamu atau siapa pun."

"Maksud kamu?"

"Terserah, kamu mau membuntuti ke mana pun aku pergi. Aku sudah benar-benar tidak peduli."

Emma berkedip berkali-kali. Bibir merahnya terkatup. Binar matanya sirna seketika. Berdetik-detik kemudian, satu sudut bibirnya terangkat. "Kamu bercanda."

"Enggak."

"Tapi kamu sudah berjanji untuk tidak pernah meninggalkan aku, Raga."

"Aku berjanji ke kamu, karena waktu itu aku menganggap kamu seperti Rino. Dan sebagai laki-laki, aku berusaha memegang janjiku. Aku berusaha selalu ada buat kamu, seperti aku selalu ada buat Rino dan Vera."

Emma menggeleng. "Hubungan kita berbeda!"

"Itu kesalahanku." Raga memajukan tubuhnya. "Apa yang terjadi dulu adalah kebodohanku, Em. Aku yang bersalah, dan aku minta maaf atas itu. Aku yang tidak bisa mengakui perasaanku saat itu. Aku yang egois, yang membuat hubungan kita tidak seperti seharusnya."

"Apa itu artinya kamu memang memiliki perasaan yang sama ...." Mata Emma mulai berkaca-kaca. "Dulu?"

Raga terdiam sesaat, kemudian menggeleng pelan. "Ini berbeda, Em."

"Dulu kamu selalu datang ke aku setiap kali kamu merasa kosong. Kamu selalu datang setiap kali aku butuh. Sejak dulu, kita saling bergantung, Raga. Sikapmu, dan semua hal yang pernah kita alami selama ini membuat aku berpikir aku punya arti lebih buat kamu." Emma mengusap air matanya. "Aku hampir kehilangan kamu waktu menikah dengan Timur, dan aku menyesal. Pertemuan kita di Surabaya dua tahun yang lalu bikin aku menyadari kalau kita masih sama. Aku tahu kamu memiliki perasaan itu buat aku. Terus kenapa sekarang kita enggak bisa kembali seperti dulu?"

"Pertemuan kita dua tahun yang lalu di Surabaya membuat aku yakin, aku enggak akan pernah kembali ke masa-masa itu, Em." Suara Raga terdengar dingin. "Tidak lagi seperti dulu. Enggak bisa."

"Hubunganku dengan Teresa, dan apa yang terjadi waktu itu bikin aku menyadari sesuatu ...." Sejenak Raga terdiam, ditatapnya Emma dalam-dalam. "Aku cinta sama dia, Em. Dia yang pertama kali bikin aku hampir gila karena takut banget kehilangan seseorang."

"Enggak mungkin." Suara Emma bergetar. "Selama ini kamu cuma main-main. Dia cuma sementara sampai aku benar-benar berpisah dari Timur. Kamu akan kembali ke aku. Kamu enggak mungkin cinta sama dia, Raga. Bukan dia, tapi aku."

Raga mengusap wajahnya. Sepersekian detik, ia membuang muka ke jendela. "Tidak bersama Teresa, artinya tidak akan ada perempuan mana pun yang bisa menggantikan dia sampai kapan pun. Tidak kamu atau siapa pun. Berhenti mengharapkan sesuatu yang tidak akan pernah bisa kamu dapatkan, Emma. Bahkan dengan apa yang pernah terjadi di antara kita sejak dulu, kamu tidak akan pernah bisa menggantikan dia."

Raga menghela napas, mengambil ponselnya, lalu berdiri. "Aku pulang ke Jakarta dan mungkin enggak akan kembali lagi ke sini. Jaga diri baik-baik."

Raga berjalan menuju ke bar, lalu mengambil kopi pesanannya. Tanpa menoleh ke belakang lagi, ia mantap melangkah keluar. Memasuki mobilnya. Menyalakan mesinnya. Dengan kesakitan yang kian menjalar di hatinya, ia berkendara, keluar dari kota yang memberikan berbagai kenangan.

Rasanya sesak sekali. Raga mengusap air mata yang tertahansejak kemarin selepas Sasa meninggalkan mobilnya dengan penolakan. Air matayang merangsek keluar, tepat ketika ia melewati gapura batas kota.

Approve (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang