Bab 38

3.1K 314 25
                                    

"Langsung pulang, Sa?"

Sasa menoleh ke suara di belakangnya. "Iya, Pak."

Jody menyejajarkan langkahnya dengan Sasa. Sambil mengangguk menyapa beberapa orang yang mendahului mereka menuju parkiran, ia bertanya, "Mau bareng?"

Perempuan itu berhenti di dekat barisan palet kaca di depan kantor, begitu juga dengan Jody yang tampak menunggu jawaban. "Sebenarnya saya mau bareng sama Rani. Itu anaknya baru keluar."

Sosok yang dimaksud keluar dari balik pintu, lalu menghampiri mereka. "Sore, Pak Jody. Mamanya sudah sembuh, Pak?"

"Sudah pulang, sih. Cuma masih harus terus dipantau." Jody kemudian mengarahkan pandangannya ke Sasa. "Kalau begitu, aku duluan."

Sasa dan Rani serempak mengangguk. Selepas Jody menjauh, Rani dan Sasa pun menuju parkiran motor.

"Apa kubilang. Pak Jody itu naksir kamu, Sa," ucap Rani, seraya memakai helm. "Kelihatan dari gerak-geriknya."

Sasa mengesah, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan. "Besok sore kamu ada acara, Ran?"

"Malam Minggu? Masih kosong, sih. Kenapa?"

Beberapa saat setelah Rani menaiki motor dan menyalakan mesin, Sasa naik di sisi belakang Rani. "Inget pas kita ngopi minggu kemarin aku terima telepon dari orang? Nah, aku dapat undangan grand opening butik."

"Oh, yang itu. Memang butiknya di mana?"

"Di belakang Katedral. Mau, ya?" rayu Sasa.

Rani membalik badan, lalu meringis. "Ngajak Pak Jody aja. Pasti enggak bakal ditolak."

Sasa mendengkus sebal. "Aku maunya ngajak kamu, soalnya butik ini itu jual baju-baju perempuan. Mau, enggak?"

"Kalau butiknya juga jual baju laki-laki, kamu mau ngajak Pak Jody?" Rani mengedip-kedipkan mata, menggoda.

"Lama-lama kamu kayak Kiki, ya, Ran." Sasa menunjuk jalan yang mulai lengang dari antrean kendaraan. "Buruan jalan."

Rani yang mendengar Sasa menanggapi ucapannya dengan ketus tertawa, meski kemudian menuruti ucapan perempuan itu untuk mulai melajukan kendaraan.

"Pak Jody itu terang-terangan banget naksirnya. Kamu ingat pas kita meeting kemarin? Dia ngambilin bolpoinmu yang jatuh sambil senyum. Belum lagi beberapa kali nawarin pulang bareng. Terus, setiap kali lewat ruangan marketing suka curi-curi pandang ke kamu. Aku aja peka, masak kamu enggak," kata Rani, ketika mereka berhenti di belakang marka sebab lampu lalu-lintas menyala merah. "Justru aku heran pas Pak Raga sama kamu ada hubungan, soalnya selama di kantor, kalian kayak biasa aja."

Rupanya, bising kendaraan tidak menghalangi langkah Rani untuk terus merongrong Sasa perkara Jody. Tentu pada akhirnya Sasa sadar dengan perangai Jody yang begitu berbeda memperlakukannya. Ia sama sekali tidak buta, tidak juga menuli atas ajakan-ajakan yang pernah terlontar dari pria itu. Namun, ia enggan menanggapi. Tidak sekarang. Tidak tahu besok atau lusa atau kapan. Sebab memang hatinya belum siap menerima seseorang baru. Sebab, ia belum sepenuhnya selesai dengan apa yang terjadi kepadanya dan Raga. Lukanya masih basah. Menganga. Entah bagaimana caranya pulih. Yang pasti, yang Sasa yakini, bukan dengan cara mengalihkan perih itu dengan kesenangan semu ... menerima orang baru.

"Aku enggak mau mikir ke arah sana," ucap Sasa.

"Masih belum move on dari Pak Raga, ya, Sa?"

Sasa menepuk bahu Rani, lalu sedikit menaikkan volume suara. "Sudah hijau."

***

Rani bilang, dia diare satu jam sebelum menjemput Sasa. Mulanya, Sasa sedikit sebal karena mesti berangkat sendiri ke grand opening butik milik Vera. Terus terang saja, Sasa enggan membahas hubungannya dengan Raga kepada Vera. Tadinya, Sasa pikir dengan Rani di sisinya, tentu ia bisa leluasa mengelak dari pertanyaan-pertanyaan sahabat baik mantan manajer produksi tempatnya bekerja itu.

Approve (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang