Bab 23

2.9K 301 1
                                    

Siapa yang bisa lupa dengan sosok yang pernah menghancurkan rencana besarnya? Setidaknya, Sasa tidak pernah bisa menghilangkan sosok Emma dari ingatan meski hanya dua kali mereka bertemu. Yang pertama saat ia memergoki perempuan itu berada di apartemen Timur, yang berujung pada hancurnya rencana pernikahannya, dan yang kedua saat tanpa sengaja mereka datang ke acara pernikahan yang sama, pernikahan teman kuliahnya dan Timur.

Ia ingat benar, bagaimana ia begitu membenci tatapan Emma terhadapnya dulu. Tatapan seolah-olah telah memenangkan peperangan. Tatapan seolah-olah ia adalah perempuan yang layak dikasihani karena tunangannya memilih Emma, dan bukan dia.

Sialnya, hari ini ia melihat sorot mata itu lagi. Namun, setelah sekian langkah menjauh dari Emma, Sasa menyadari ada sesuatu yang berbeda. Emma tidak menatapnya saja. Dan saat itu pula, ia merasakan genggaman Raga mengencang di tangannya.

"Pak?" Sasa menatap ke jalinan tangan di samping tubuhnya. Ia kemudian berhenti berjalan, menarik Raga biar pria itu ikut menghentikan langkah. "Kamu kenal sama perempuan yang barusan papasan sama kita?"

Rahang pria itu mengeras, bola matanya bergerak-gerak, seperti mencari sesuatu yang entah apa. Raga berdeham, kemudian melonggarkan genggaman. "Teresa, aku—"

"Kenal?" potong Sasa.

"Kita bicara di bawah. Oke?" Raga kembali menggenggam tangan Sasa, lalu membimbingnya kembali berjalan.

"Pertanyaanku sederhana, Pak Raga. Iya atau enggak," cecar Sasa.

"Iya." Raga menatap lurus ke depan. Suaranya terdengar begitu tegang. Tidak ada pembicaraan lagi setelah jawaban itu terlontar dari bibir Raga. Sasa mesti menahan diri, meski beragam tanya dan ketakutan tiba-tiba menyeruak di dalam benak. Kenapa mesti bicara?

Raga membelokkan langkah mereka ke kedai kopi di dalam mal dekat eskalator. Ia kemudian meminta Sasa memesan minuman sebelum memulai pembicaraan.

"Terima kasih," ucap Sasa setelah mengatakan pesanan mereka. "Kenapa mesti bicara?"

"Aku mau menjelaskan soal Emma."

Sasa memutar matanya. "Aku pernah berharap, pertemuan tidak sengaja beberapa waktu yang lalu adalah pertemuan terakhir kami. Asal Pak Raga tahu, cukup lama aku mencoba berdamai dengan keadaan, tapi aku tidak punya alasan untuk berdamai dengan orang yang sudah pernah membuat aku terluka."

"Teresa—"

"Please." Sasa menatap Raga lurus-lurus. "Jangan lagi."

"Kami kenal sejak lama. Aku, Rino, dan Emma saling kenal sejak kami SMP, hingga kemudian aku dan Emma jauh lebih dekat hingga ia hamil dan ... kamu tahu lanjutan ceritanya." Raga menelengkan kepala, lalu meraih tangan Sasa. "Semuanya sudah selesai sejak lima tahun yang lalu, Teresa. Enggak ada yang mau aku bilang selain, kamu dan dia berbeda. Apa pun yang terjadi nanti, aku minta tolong percaya sama aku."

Raga menatap Sasa lurus-lurus. "Kejadian itu, enggak akan terulang lagi."

***

Perempuan itu keluar dengan rambut setengah basah, lalu tersenyum kepada Sasa. "Raga udah balik?"

"Barusan," jawab Sasa.

Vera meraih ponsel yang semula diletakkannya di atas meja, lalu berjalan mendekat ke ranjang. "Muka kalian tegang banget tadi, jadi gue lama-lamain mandinya."

Sasa adalah penjudi yang tidak mahir, sebab raut wajahnya tidak pernah bisa berbohong. Saat kesal, saat sedih, bahkan saat senang sekalipun, ia sangat-sangat kesulitan mencoba untuk bersikap biasa.

"Lagi berantem?" tanya Vera, sembari duduk di sebelah Sasa yang menyelonjorkan kakinya di atas ranjang. "Gue jadi enggak enak. Apa gara-gara gue minta lo nemenin malam ini?"

"Loh, enggak, Mbak. Aku enggak masalah, kok," tanggap Sasa.

"Bener?"

"Iya. Bukan karena aku harus nginap di sini, kok."

"I'm all ears, Sa, kalau lo nyaman sharing. Meski gue bininya Rino, kita sama-sama perempuan, dan dari lubuk hati yang terdalam, gue seneng Raga dapet elo." Vera menyipit, lalu menaikkan selimut, membungkus kakinya. "Kayak ... akhirnya, dia dapet orang yang bisa diterima juga. Lo tahu, kan, dia susah banget dideketin."

Sasa tersenyum ketika mendengar ucapan Vera. Raga memang begitu. Seperti memiliki benteng yang dijaga benar-benar.

"Aku boleh tanya, Mbak?" tanya Sasa, ragu-ragu.

"Tanya apa?"

"Mbak Vera sudah lama kenal sama Pak Raga dan Mas Rino?"

"Sejak kuliah, sih. Gue kenal Rino duluan, terus kita pacaran, dan dia ngenalin Raga ke gue sebagai sahabatnya sejak SD." Vera menelengkan kepala, kemudian mengulum senyum. "Lo tahu, temen-temen gue belingsatan minta dicomblangin ke Raga, tapi dia? Ngelirik aja enggak, Sa. Gue sampai kepikiran dia gay."

"Berarti Mbak Vera kenal sama teman-temannya Mas Rino yang lain?" tanya Sasa lagi.

"Rino selalu ngenalin gue ke temen-temennya, sih. Jadi, bisa dibilang hampir semua temannya Rino gue tahu."

"Kalau Emma ... kenal?"

Vera tidak langsung menjawab pertanyaan Sasa. Perempuan itu mengarahkan pandangan ke televisi yang menyala. Hingga beberapa detik kemudian, ia balik bertanya, "Lo mau tanya ke gue soal hubungan Raga sama Emma?"

Vera menoleh kepada Sasa yang menatapnya. "Raga bilang apa ke lo?"

"Teman lama?"

Perempuan itu mengangguk pelan. "Memang mereka teman lama, Sa. Sejak SMP kalau enggak salah. Lo tahu, kan, kalau mereka semua asli sini?"

"Yang gue tahu, Rino sama Raga pindah ke Jakarta karena keluarga mereka, kan, di sana. Si Emma di Surabaya. Waktu gue masih pacaran sama Rino, beberapa kali Emma datang ke Jakarta. Kita sempet keluar bareng, berempat. Terus gue enggak tahu kenapa tahu-tahu Emma ngilang dan terakhir tahu kabarnya dia nikah sama teman kantornya. Habis itu, enggak pernah ketemu lagi."

Vera menghela napas, kemudian menata bantal untuk sandaran punggungnya. "Gue rasa, Raga sama Emma sudah ada di posisi yang terbaik sekarang."

"Maksudnya?"

"Hanya ada di masa lalu." Vera tersenyum. "Gue enggak tahu, Raga sudah cerita sejauh apa ke lo, tapi yang pasti, cuma ini yang bisa gue bagi. Karena menurut gue, hal kayak gitu mesti jadi ranahnya Raga buat cerita."

Sasa menunduk, jemarinya saling pilin. Ia menghormati keputusan Vera yang tidak ikut campur dengan permasalahannya dengan Raga. Malah, ia sangat berterima kasih kepada perempuan itu lantaran kebijaksanaannya. Raga mestinya beruntung karena dikelilingi sahabat yang sangat mendukungnya. Meski ia baru mengenal Rino dan Vera belum terlampau lama, ia bisa merasakan betapa pasangan ini adalah pasangan yang begitu baik. Yang barangkali mengetahui segalanya, tapi berusaha untuk tetap menjadi penengah di antara perselisihan sahabatnya.

"Sa, bertahun-tahun gue kenal Raga, dan dari cerita Rino ke gue soal Raga dengan segala tetek bengek keruwetan hidupnya, gue lega banget dia akhirnya bisa berlabuh di lo." Vera meraih ponselnya lagi.

"Memangnya Mbak Vera yakin aku perempuan baik-baik, sampai lega Pak Raga sama aku?"

Vera terkekeh. "Baik-baik atau enggak tergantung sama Raga, sih. Kalau lo bisa bikin dia anteng begitu, berarti memang lo yang terbaik. Eh, ngomong-ngomong laki gue barusan Whatsapp, katanya dia bakal ke sini besok. Kita jalan bareng berempat, yuk?"

Sasa mengangguk pelan. "Aku coba tanya Pak Raga dulu, ya, Mbak."

Vera menyenggol lengan Sasa dengan sikunya. "Bentar, deh, Sa. Lo itu manggilnya Raga pakai 'Pak' walaupun enggak di kantor? Lucu banget."

"Kebiasaan, Mbak. Susah ngubahnya."

Obrolan demi obrolan terus bergulir. Cerita-cerita mulai dari hal konyol sampai serius soal hubungannya dengan Rino tercetus dari bibir Vera. Tak jarang, perempuan itu membagi hal-hal menarik soal pernikahan kepada Sasa.

Vera adalah perempuan cantik, dan mandiri, dan pintar. Namun, dari binar matanya saat menceritakan Rino, terlihat sekali ia sangat mencintai suaminya itu. Sasa tak jemu-jemu menatap Vera yang asyik berbagi soal pengalamannya. Dalam setiap ucapan perempuan di sebelahnya, ia membatin, barangkali ini yang Raga rasakan ketika bersama Rino dan Vera. Nyaman dan merasa begitu diterima.


Approve (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang