Spy in Pesantren

*Amsterdam*

Damrak, Amsterdam, Belanda.

Angin bersemilir lembut, burung yang berterbangan, suasana kanal yang di setiap sudutnya terdapat rumah tua bergaya klasik dengan cat yang berupa warnanya, kereta serta angkutan umum yang hilir mudik di Damrak Street seakan menjadi sebuah pesona yang begitu menawan. Kapal-kapal yang terparkir serta bangunan yang berdiri dengan gaya Eropa Mediterania tak bisa dipungkiri menambah sebuah nilai historis yang terukir pada salah satu sudut kota Amsterdam. Di salah satu sisi kanal terdapat deretan rumah kanal grachtenpanden yang berjajar dengan tegak dan memanjang—The Dancing Houses—rumah menari yang menjadi salah satu bangunan tertua dan menjadi ikonik dari kota Amsterdam. Di antara bangunan yang berada di lokasi tersebut, terdapat salah satu gedung dengan susunan bata merah yang berdiri megah dan kokoh di antara bangunan ikonik lainnya—Beurs Van Berlage—bangunan yang menjadi Bursa Efek Amsterdam dari tahun 1903-1998.

Damrak menjadi salah satu tempat yang ramai dikunjungi wisatawan serta jalan utama yang menjadi tempat untuk penghubung menuju pusat kota Amsterdam dari Stasiun Centraal. Mulai dari restoran, bar, cafe dan toko banyak ditemukan pada area tersebut berjajar dengan bangunan lainnya. Kanal yang terdapat pada Damrak terbentang luas dari area Stasiun Centraal sampai Muntplein. Ketika menyusuri kanal menuju area Muntplein, maka akan melewati sebuah pasar bunga terapung satu-satunya di dunia—Bloemenmarkt—yang menjual bunga dan souvenir khas Belanda. Karena saat itu Belanda sedang memasuki musim semi, banyak ditemukan toko yang menjual aneka bunga tulip dan benihnya.

Dari sekian banyak pengunjung pada hari itu di Bloemenmarkt, terdapat salah satu perempuan muda dengan rambutnya yang tergerai panjang serta coat hitam tipis dan celana jeans yang mengitari area tersebut. Ia memakai topi hitam serta masker yang menutupi wajahnya pada hari itu dan berjalan mengitari pasar bunga dengan perasaan penuh sumringah. Netranya menangkap sebuah bunga tulip yang tersusun rapi dengan aneka warna yang tersemat. Perempuan muda itu mengambil satu tangkai bunga tulip berwarna pink muda dengan senyuman yang merekah.

Seorang mata-mata sejati pantang untuk menaruh perasaannya kepada orang lain, apalagi terhadap musuh demi misi yang dijalankan. Semua kehidupannya dipenuhi dengan sandiwara wajah kedua.

Elena mendengus pelan ketika mengingat kalimat yang diucapkan oleh pimpinan organisasi mereka.

Perasaan? Jatuh cinta? Tidak ada dalam kamus kami sebagai mata-mata organisasi Black World.

Ketika ia menerawang dengan berbagai pemikirannya, dering dari handphone membuat ia kembali menaruh bunga tersebut.

"Elena?"

Seorang pria di seberang telefon menyebutkan kode spionase yang membuat wajahnya terperanjat. Ia segera berbalik arah menuju markas Black World—sebuah tempat yang menjadi perkumpulan para petinggi dan intelijen organisasi hitam yang menjadi tempat bernaungnya.

Elena Brechtje, seorang gadis Belanda yang berumur 19 tahun, intelijen jenius yang mampu menghafal dengan cepat, menguasai 10 bahasa, dan menangkap sebuah hal dalam waktu singkat, pada hari itu mendapatkan sebuah tugas yang membuatnya tersentak.

"Menghafal Qur'an dan beberapa kitab?" tanya Elena. Perempuan itu menerima sebuah dokumen yang bertuliskan tentang sejarah dan biografi sebuah pesantren berpengaruh di Indonesia—Pesantren Al-Mahabbah, yang letaknya berada di kota Kudus, Jawa Tengah. Pesantren itu sudah berdiri selama ratusan tahun dan pemikiran tokohnya selalu menjadi rujukan para ulama di negara tersebut.

"Ya. Untuk menyempurnakan penyamaran dan kamu bisa berbaur dekat dengan mereka. Saya yakin kamu bisa menguasai itu dalam waktu singkat karena kejeniusanmu."

Elena terdiam. Ia merasa seperti mendapatkan sebuah de javu—pada sejarah seorang intelijen Belanda yang bernama Snouck Hurgrounje. Dia juga menjadi mata-mata untuk menaklukkan Aceh pada zaman kolonial Belanda.