*Izin*

597 112 2
                                    



"Peta rencana kita untuk saat ini adalah menyiapkan Ilyas untuk bermain di Toulon Tournament di Amsterdam. Jadi, tim dari Black World sudah berbicara dengan coach dan management dari Ajax Amsterdam terkait potensial dari Ilyas yang bisa menambah value dari tim sepak bola Ajax. Mereka sudah setuju dan akan membicarakan hal ini kepada Ilyas saat dia di Amsterdam nanti. Pertandingan di Surabaya ini akan menjadi penentu untuk masuknya Ilyas menjadi tim nasional U-20 yang akan mewakili Indonesia di tournament tersebut. Jangan sampai lengah dan kita lancarkan strategi untuk menggagalkan penjegalan Ilyas."

Ghazi menghembuskan nafasnya pada sore itu dengan luapan perasaan yang sumringah. Dengan datangnya keputusan dari markas pusat Black World tentang rencana lanjutan itu, ia bisa bernafas lega akan berakhirnya misi yang dilimpahkan kepadanya. Laki-laki itu memandang ke arah lapangan dan para santri yang sedang bermain bola dengan penuh semangat. Di antara yang bermain, Ilyas berbaur dengan tehnik permainan yang begitu dominan.

"Ghazi!" teriak Gus Ali seraya melambaikan tangan ke arahnya. Ghazi mendongakkan wajah dan membalas lambaian tangan itu dengan senyuman yang terukir.

"Ayo main! Gus Ilyas katanya mau satu tim sama sampeyan!" teriak laki-laki itu, namun Ilyas memasang wajah dengan delikan yang memenuhi gurat matanya. Ghazi mengangguk kepala pelan dan bergegas menuju ke lapangan. Gus Ali nampak bersorak ketika laki-laki itu akhirnya turun ke lapangan untuk bertanding. Mereka memasang posisi dengan strategi 3-4-3 mengandalkan Ilyas sebagai striker utama dan Ghazi sebagai second striker.

Ali menggiring bola menuju ke arah lawan dan mengintai pertahanan musuh yang akan dilewatinya. Ia menendang bola kepada Ghazi yang berada agak jauh dari luar sisi garis kotak penalti. Laki-laki itu menerima bola dari Ali dan melewati pertahanan musuh dengan berlari agak cepat. Ilyas yang berdiri menunggu umpan bola sedikit terpana melihat permainan Ghazi yang mampu mengimbangi mereka.

"ILYAS!" teriak Ali. Ilyas membuyarkan lamunannya seketika, namun terkecoh ketika mendapati pihak lawan sudah menguasai bola yang dioper oleh Ghazi. Ali menatap Ilyas dengan pandangan penuh kebingungan dan ia berusaha mengambil bola yang sudah dikuasai tim lawan.

KRINGGG.

Permainan bola mereka seketika terhenti dengan bunyi bel yang memekakkan telinga.

"Oke, bubar. Waktunya untuk persiapan nderes," ujar Ali kepada santri yang lain. Para santri serentak meninggalkan lapangan dan menuju kamar masing-masing untuk masuk ke jadwal pembelajaran mereka berikutnya.

Ali menyikut lengan Ilyas dengan tanda tanya yang menyerang pikirannya. "Kenapa bengong saja saat dioper bola oleh Ghazi? Kau terpesona dengan permainannya?"

Ilyas memicingkan mata ke arah Ali yang terus menggodanya. Ia mengepal tangan seraya bersiap untuk memukul pelan Ali, namun sepupunya itu dengan sigap menepis pukulan yang ingin dilayangkan oleh Ilyas.

"Kau belum berbicara ke Abah perihal ini, Ilyas?" tanya Ali. "Jika kau mewakili timnas U-20, cepat atau lambat namamu akan terpampang di media dan Abah akan mengetahui hal ini."

Ilyas menghela nafas pelan dan menghentakkan kaki dengan pelan. "Jika sudah fix masuk ke timnas, pasti aku akan memberitahukannya. Tidak ada jalan lain."

"Ya. Seperti itu lebih baik daripada kau terus-terusan bersembunyi seperti ini. Jadi, siapkan diri untuk pertandingan di Surabaya nanti dengan baik." Ali menepuk pundak Ilyas dengan kebanggaan yang membuncah.

"Kenapa senyum-senyum sendiri seperti itu?" tanya Ilyas.

"Aku akan bangga dan memamerkan ke seluruh dunia karena mempunyai sepupu pemain sepak bola yang bermain di kancah dunia nanti," pungkas Ali dengan wajah berbinar.

"Jangan berbangga seperti itu dulu. Perjalanan masih panjang."

*****

Ilyas merekahkan senyum di bibirnya ketika peluit tanda pertandingan usai. Skor yang diperoleh oleh timnya unggul dari tim lawan dan mereka berhasil memenangkan pertandingan final pada hari itu. Siluet matahari yang terpancar menambah gemuruh semangat yang membara pada diri Ilyas. Laki-laki itu melambaikan tangan ke arah supporter yang bersorak ramai atas kemenangan mereka.

"Selangkah lagi menuju Ajax," gumamnya.

Pelatih menghampiri Ilyas dan timnya untuk memberikan ucapan selamat atas pencapaian yang sudah diraih, setelah itu mengarahkan pandangan ke arah Ilyas yang masih belum percaya dengan kemenangan mereka pada hari itu.

"Ilyas," panggil coach. Ilyas menatap ke arah coach dan bersiap untuk menerima sebuah perintah yang telah lama dinantinya.

"Selamat karena kamu akan menjadi salah satu perwakilan dari timnas U-20 untuk mengikuti Toulon Tournament. Bersiaplah karena dua minggu setelah ini timnas akan berangkat ke Amsterdam," ujar coach dengan senyuman yang terukir di wajah. Ilyas menundukkan sedikit kepalanya ke arah coach dan mengucapkan terima kasih atas bimbingan yang diberikannya selama ini.

"Terima kasih atas semua yang telah diberikan, coach. Saya akan berusaha sebaik-baiknya untuk timnas U-20 dan membawa nama baik Akademi Sepak Bola Sembilan." Coach dan Ilyas saling bersalaman dan memberi hormat satu sama lain, setelah itu coach terlebih dahulu meninggalkan ruangan.

Kini, Ilyas duduk dengan beban pikiran yang menggelayuti. Antara rasa senang yang menghampiri dan bayangan gurat kekecewaan Abah yang terukir karena kebohongan yang selama ini diperbuatnya.

Bagaimana aku menyampaikan kebohongan ini? tanya Ilyas dalam hati.

*****

Ghazi sedang membereskan kitab-kitab milik Abah di rumah ketika pria itu sedang duduk berhadapan dengan anak semata wayangnya untuk pembicaraan empat mata tentang latihan yang dilakukannya selama ini di Akademi Sepak Bola Sembilan, kebohongan tentang pertemuan dengan kader organisasi yang ternyata untuk mengikuti pertandingan, dan kabar mengejutkan tentang masuknya Ilyas ke timnas U-20 di Toulon Tournament.

Abah menampakkan ketegangan di mimik mukanya, sementara itu Ilyas terlihat beberapa kali menahan nafas karena selama ini telah berbohong kepada Abah tentang apa yang dilakukan.

"Abah sudah pernah bilang kepadamu, Ilyas. Kau boleh mengejar cita-citamu, tapi penuhi dua persyaratan yang diberikan," pungkas Abah. "Abah tidak pernah melarang kamu ingin menjadi apa, tapi kebohonganmu ini membuat Abah menjadi sangat kecewa."

Ilyas menundukkan wajahnya dengan perasaan lemah. Ia ingin mengelak, namun tersadar bahwa yang dilakukannya adalah kesalahan. Namun, jika ia harus menunggu untuk menjadi ulama dan menikah terlebih dahulu, kapan ambisinya bisa terealisasi? Sedangkan untuk bermain di kancah dunia, ia harus berlatih sejak umurnya masih muda. Apa Abah tidak memahami hal yang sering aku perdebatkan tentang hal ini?

"Jadi, aku bisa ke Amsterdam 'kan?" tanya Ilyas dengan hati-hati. Ghazi yang berada di sudut rak seketika berdegup menunggu sebuah jawaban yang keluar dari lisan Abah. Ia berharap misi terakhirnya selesai dengan sempurna dan dapat segera kembali ke Amsterdam.

"Abah tidak mengizinkan."

*****

Spy in PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang