*Giethoorn*

573 106 5
                                    



Ilyas menyandarkan tubuhnya ke kursi pesawat dan melepas rasa lelah setelah perjalanan yang begitu menguras tenaga dan pikiran untuk menuju sebuah momen yang telah ditunggunya selama ini. Ya, momen membersamai tim nasional U-20 untuk mengikuti turnamen bergengsi yang menjadi langkah awalnya untuk bermain di sepak bola kancah dunia.

Awalnya, Ilyas merasa harapannya pupus karena Abah menentang keras kepergiannya ke Amsterdam. Ketika pada akhirnya ia menyampaikan untuk mundur dan tim nasional sudah bertolak menuju ke Amsterdam, tiba-tiba Abah melunak dan ikhlas melepas kepergiannya. Walaupun gurat wajah pria itu masih menunjukkan ketidakrelaan saat melepas anak semata wayangnya untuk pergi menuju Amsterdam, namun Abah tetap melantunkan do'a terbaik untuk Ilyas.

"Semoga Allah mudahkan semua urusanmu," ucap Abah. Ilyas sedikit tertegun ketika menatap wajah pria itu yang nampak berkaca-kaca, namun ia kembali meneguhkan hatinya.

"Excuse me."

Seketika, suara seorang perempuan membuat Ilyas menepis pikiran yang memenuhi benaknya. Pramugari itu tersenyum dan membawakan makanan untuk Ilyas serta dihidangkan di atas meja.

Mereka menaiki pesawat Singapore Airlines tujuan Amsterdam dan sempat transit di Singapura sebelum bertolak ke tujuan. Pramugari itu menghidangkan untuk Ilyas aneka makanan khas Asia, mulai dari nasi kari, sate ayam, karedok dan beberapa hidangan lainnya. Karena mereka menaiki maskapai yang notabene menyediakan makanan non-halal, maka sebelum melakukan perjalanan, Ghazi telah memesan makanan halal khusus untuk perjalanan mereka selama di pesawat yang memakan waktu hampir 14 jam.

Ilyas menoleh ke arah samping, tempat duduk Ghazi yang bersebelahan dengannya. Pada akhirnya, Abah mengizinkan Ilyas untuk berangkat ke Amsterdam dengan ditemani oleh Ghazi karena tim nasional sudah bertolak terlebih dahulu berangkat ke sana. Mereka duduk di kursi tengah business class yang terdapat dua kursi lebar yang bersebelahan.

"Kau tidak makan?" tanya Ilyas ke arah Ghazi yang nampak sibuk membaca buku di tangannya.

"Belum lapar, Gus Ilyas," jawab Ghazi.

"Nggak kedengaran."

Ghazi menoleh ke arah Ilyas yang lahap dengan makanannya, lengkap dengan headphone di telinga yang terpasang.

Bagaimana mau terdengar jika pakai headphone seperti itu? Apa dia benar-benar niat bertanya? batin Ghazi.

Laki-laki itu membiarkan Ilyas yang memakan makanannya hingga habis dan kembali terduduk dengan perasaan kenyang. Dari samping, ia mendengar Ilyas menguap berkali-kali, tanda bahwa ia sudah diserang dengan rasa kantuk.

Ilyas membuka selimut dan menata kursinya untuk mode tidur. Ia menarik pembatas yang berada di antara dua kursi agar dapat tidur dengan nyaman. Ghazi yang berada di samping hanya melirik kecil ketika Ilyas mulai merebahkan tubuhnya di kursi.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara dengkuran yang menggema di telinga Ghazi. Laki-laki itu nampak sedikit terganggu. Ia menghela nafas pelan dan membuka pembatas yang ditutup oleh Ilyas. Ghazi memasang sebuah alat peredam dengkuran yang dipasang di bagian leher dan mempunyai sensor untuk memperlancar aliran udara pada hidung, mulut serta tenggorokan. Ia memandang wajah Ilyas yang terpejam dengan pandangan dingin.

Ternyata, mudah sekali memasukkannya ke dalam perangkap. Beberapa hari lagi aku bisa bernafas lega karena telah menjalankan misi ini dengan sangat mudah dan sempurna.

"Maaf, Abah."

Tiba-tiba suara yang keluar dari lisan Ilyas membuat Ghazi terperanjat. Cepat-cepat ia menutup pembatas kursi dan duduk seperti posisi semula dengan buku di tangannya. Namun, beberapa saat kemudian Ghazi mendapatkan Ilyas masih tetap terjaga dalam tidurnya.

Spy in PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang