*Psikolog*

641 119 6
                                    



Mulut Ilyas menganga ketika mendengar penjelasan psikolog perihal praduga Ghazi adalah seorang transgender.

"Jadi, maksud bapak teman saya itu asalnya adalah seorang perempuan? Setelah itu dia mengganti kelaminnya ke laki-laki?" tanya Ilyas dengan kebingungan yang menyentak.

Ada-ada saja. Mana mungkin seperti itu. Tidak terlihat tanda-tanda seperti itu pada diri Ghazi. Dia seperti laki-laki pada umumnya.

Pria itu memandang ke arah Ilyas sembari tersenyum kecil.

"Kalau seperti itu namanya transeksual, bukan transgender," ujar psikolog.

"Bukannya jika sudah berganti kelamin namanya transgender, Pak?"

Pria itu menunjukkan sebuah bagan perbedaan antara transgender dan transeksual kepada Ilyas. Laki-laki itu menggaruk kepala dengan pertanyaan yang terus menggelayutinya.

"Transeksual lebih kepada transgender yang mengubah jenis kelamin dengan cara operasi dan hal lainnya, sedangkan transgender lebih mengarah kepada seseorang yang mengubah secara personalnya menjadi gender yang berbeda dari jati dirinya," jelas psikolog.

"Jadi, kalau transgender itu belum melakukan operasi kelamin dan hal lainnya, tapi dia berperilaku secara berbeda dari jenis kelaminnya? Seperti itukah, Pak?"

"Ya. Jadi, ada kemungkinan temanmu itu mungkin seorang perempuan, tapi dia berperilaku seperti laki-laki. Tapi, belum sampai mengarah kepada transeksual, baru transgender," jelas psikolog.

"Kenapa bapak bisa berpikiran seperti itu?" tanya Ilyas. "Bukankah bapak belum pernah bertemu dengan teman saya itu?"

Benar-benar menyebalkan. Kenapa hanya karena berdebar dekat dengan Ghazi, aku sampai memeriksakan diri ke psikolog dan menambah kerumitan dalam otakku.

"Kamu bilang selama ini biasa saja dengan teman laki-lakimu yang lain, tapi punya ketertarikan ketika melihat perempuan yang cantik dan pintar. Hanya saja ketertarikan dalam tahap wajar sebagai fitrah laki-laki, tidak sampai menyimpan perasaan yang menggebu. Tapi, temanmu yang satu ini punya kejeniusan setara, bahkan melebihi dirimu. Maka, saya mengambil kesimpulan mungkin saja dia adalah perempuan. Jika dia laki-laki, kamu tidak akan merasa berdebar tapi lebih kepada rasa persaingan yang sengit karena jelas kamu adalah orang yang sangat ambisius," papar psikolog itu lagi yang membuat Ilyas semakin bertambah bingung.

"Jika seandainya teman saya bukan perempuan seperti yang bapak bicarakan, bagaimana?" tanya Ilyas. "Berarti saya ada kecenderungan ke arah biseksual?"

Membayangkannya saja sudah membuatku merasa menggelikan. Mana mungkin aku bisa menyukai laki-laki dan perempuan secara bersamaan?

"Silahkan kamu datang lagi ke saya untuk konsultasi dan terapi jika memang seperti itu." Psikolog itu tersenyum ke arah Ilyas dan kembali menasihatinya sebelum keluar dari dalam ruangan.

"Jika praduga ini tidak terbukti benar, maka saya sarankan untukmu juga melakukan ruqyah dan perkuat dengan banyak dzikir, do'a serta minta perlindungan kepada Allah dari hal-hal yang tidak semestinya. Semoga segera menemukan jawabannya."

*****

Ilyas membuka matanya setelah terpejam beberapa saat dalam tidur. Perkataan psikolog kemarin terus mengganggu pikirannya beberapa hari ini. Antara rasa percaya dan tidak percaya dengan praduga yang disampaikan.

"Mungkin teman anda itu adalah seorang perempuan."

Jika Ghazi adalah perempuan, mengapa dia masuk ke pesantren laki-laki? Apa alasannya?

Seketika Ilyas tertawa kecil.

Psikolog itu sepertinya kebanyakan nonton film dan drama perempuan yang menyamar menjadi laki-laki karena suatu hal, setelah itu masuk ke asrama khusus laki-laki.

Ada-ada saja. Sudahlah, Ilyas. Tidak perlu dipikirkan.

Mungkin, aku harus lebih menata ruhiah agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang terlarang.

Lagipula, aku 'kan hanya berdebar saja ketika dekat dengan Ghazi, bukan terobsesi dengannya.

Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Ilyas kembali memejamkan mata dan kembali terlelap dalam buaian mimpi. Namun, suara kucing dari luar yang mengeong membuatnya kembali membuka mata.

Jangan bilang itu suara kucing santri caper itu. Kenapa dia sering mengeong di depan rumah? gerutu Ilyas dalam hati.

Laki-laki itu mendengus pelan, setelah itu bangkit dari tidurnya dengan perasaan dongkol. Ia membuka jendela kamar dan menatap satu bayangan putih yang berdiri di depan rumah. Ilyas berusaha menyadarkan dirinya yang setengah sadar.

Kenapa ada bayangan putih di depan rumah? Apa jangan-jangan hantu? tanyanya dalam hati.

Bulu kuduknya bergidik, namun ia berusaha menenangkan diri dengan membaca ayat kursi dan beberapa ayat Qur'an.

Tidak bisa dibiarkan. Apa jangan-jangan ada yang berusaha menyelinap ke rumah?

Ilyas keluar dari kamar dan mengambil sebuah sapu untuk berjaga jika sosok tersebut adalah orang jahat yang ingin menyelinap ke rumahnya. Ia membuka pintu rumah dengan pelan dan masih mendapati sosok itu berdiri. Laki-laki itu melangkah pelan dan mendekat seraya membawa sapu di tangannya.

"Gus Ilyas?"

Suara panggilan itu membuat Ilyas terkesiap. Ghazi menatap heran ke arah Ilyas yang membawa sapu di tangannya dengan tanda tanya yang menggema.

Astaghfirullah, anak ini benar-benar sepertinya terus ingin mengajakku untuk ribut.

Ilyas memasang wajah penuh kekesalan, namun Ghazi tersenyum geli ketika melihat laki-laki itu menurunkan sapu yang berada di tangannya.

"Kenapa malam-malam berkeliaran di sini?" tanya Ilyas seraya menatap kucing yang berada di gendongan Ghazi. Kucing itu nampak tertidus pulas dan menutup matanya dengan helaan nafas yang mendengkur.

"Tadi saya mengejar kucing ini ke sini, Gus. Soalnya dia mengambil bahan makanan di dapur," tunjuk Ghazi ke arah dua potong ikan mentah yang tercecer di teras rumah. "Hari ini saya piket untuk menyiapkan sarapan pagi santri. Jadi sibuk di dapur. Mohon maaf jika menganggu tidur Gus Ilyas."

"Sangat mengganggu sekali," jawab Ilyas. "Tapi, kenapa kucing ini selalu berada di depan rumah?"

"Mungkin, kucing ini suka dengan Gus Ilyas," canda Ghazi seraya tertawa kecil yang membuat Ilyas kembali berdebar.

Kenapa seperti ini lagi?

"Jangan bercanda," sungut Ilyas. "Kembalilah piket ke dapur."

"Iya. Baik, Gus Ilyas."

Ghazi membalikkan tubuhnya seraya membawa Louie yang tertidur dengan raut wajah dingin. Ia menyimpulkan bibirnya dan berjalan dengan langkah pelan membawa berbagai rencana yang sudah disusun secara matang.

"Saya sudah berbicara dengan pelatih dari Ajax Amsterdam terkait pemain dari Akademi Sepak Bola Sembilan yang bernama Ilyas Naufal dan menyampaikan potensial dari pemain tersebut. Rencana kita adalah membuat Ilyas masuk ke tim U-20 dan mengikuti Toulon Tournament di Amsterdam."

"Jadi, biarkan dia bermain di pertandingan Surabaya untuk masuk tim U-20?"

"Ya. Sebisa mungkin singkirkan orang-orang yang bisa mencelakai dirinya."

*****

Spy in PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang