Akademi Sepak Bola Sembilan, Kudus-Jawa Tengah.Hari itu suasana di akademi tidak seperti biasanya yang dipenuhi oleh para murid yang berlatih sepak bola. Hanya ada beberapa orang yang datang untuk memenuhi latihan khusus bagi para murid istimewa dan terpilih oleh pelatih.
Ilyas berdiri dari beberapa meter garis penalti seraya memusatkan pandangannya ke arah gawang. Ia mengatur nafasnya yang menderu kuat dan berusaha menghembuskan perlahan. Ghazi yang berada di pinggir lapangan menatap lurus ke arah Ilyas yang sedang mengatur konsentrasinya. Pelatih meminta murid yang datang pada hari itu untuk berlatih free kick dan corner kick tanpa ada lawan.
"Sepak bola itu didominasi oleh kerjasama tim, namun ada kalanya ketika dalam keadaan terjepit, pemain harus bisa menguasai keadaan lapangan untuk mengambil kesempatan mencetak gol," jelas pelatih kepada para murid.
"Free kick adalah tendangan bebas disebabkan karena kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pemain. Corner kick adalah tendangan sudut disebabkan oleh bola yang keluar dari garis. Akurasi dari eksekutor sangat menentukan dalam hal ini agar bola bisa masuk ke gawang tanpa perlawanan dari musuh."
Ilyas mengusap keringat yang keluar dari dahinya. Ia memasang posisi bersiap ketika pelatih meniupkan peluit dan mengayunkan kaki seraya menatap pandangan mata kiper.
"Strategi yang bisa dilakukan ketika ingin mencetak gol adalah memperkirakan pandangan kiper ke arah bola yang akan ditendang. Jika tatapan ke arah sudut kanan, maka kecoh dia seakan kita menendang bola ke arah kanan."
Ghazi memandang ke arah Ilyas yang memancarkan kobaran api di pelupuk matanya dengan getaran jantung yang berdebar. Laki-laki itu tampak berbeda dengan aura seorang pemain professional yang berkutat pada ambisi yang dikejarnya.
Orang itu? Ambisi yang terpancar seakan meluap bersamaan tendangan ke arah gawang, batin Ghazi.
"GOLLL!!"
Nafas Ilyas terengah, namun senyum merekah di bibirnya ketika strategi yang dijalankan sesuai petuah pelatih berhasil ia lakukan. Di pinggir lapangan, decak kagum juga dirasakan oleh Ghazi yang merasakan sebuah atmosfir ketegangan ketika Ilyas menciptakan gol yang begitu sempurna.
Orang itu, hebat juga.
*****
Ghazi sedikit terkejut ketika Ilyas menampakkan wajah serius ke arahnya. Sepertinya anak Kyai itu benar-benar begitu keras dalam mengejar impiannya sampai bersembunyi dari Abah perihal pendidikannya di Akademi Sepak Bola Sembilan. Ia terdiam sejenak sembari memikirkan celah yang bisa dimasuki olehnya untuk melancarkan strategi misi.
"Saya tidak akan meminta apapun," ucap Ghazi ke arah Ilyas. Ia berusaha membuat laki-laki itu menghilangkan rasa ketegangan yang menyerang dirinya.
"Apa maksudmu?" tanya Ilyas.
"Saya hanya ingin mengabdi kepada Abah dan Gus Ilyas untuk mendapatkan barokah sebagai seorang murid," pungkas Ghazi tanpa jeda yang membuat Ilyas terkesima.
Kenapa lagi-lagi jantungku terasa aneh ketika Ghazi yang menyampaikan hal itu? Bukankah ini suatu hal yang biasa?
"Jika diizinkan, saya akan mendukung Gus Ilyas dan siap menjadi asisten ke manapun pergi, termasuk antar jemput ke Akademi Sepak Bola Sembilan," ucap Ghazi. "In syaa Allah saya orang yang amanah untuk menjaga rahasia dan tidak akan membocorkan hal ini kepada Abah."
Ghazi tersenyum dengan penuh meyakinkan ke arah Ilyas. Matanya menyiratkan perasaan yang menggebu. Ilyas yang berada di hadapan Ghazi seketika bergetar hebat dengan pikiran aneh yang menyelimuti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spy in Pesantren
Teen Fiction[Mystery-Thriller-Romance Spiritual] Elena Brechtje, seorang perempuan muda asal Belanda yang berumur 19 tahun dan tergabung dalam organisasi "Black World", ditugaskan menyamar menjadi laki-laki untuk sebuah misi mata-mata, demi mencari kelemahan da...