*Sepak bola*

1K 161 4
                                    



Ilyas mengusap keringat yang mengalir deras di wajahnya dengan handuk kecil di bahu. Laki-laki itu sibuk menggerakkan pelan tangan dan kakinya yang terasa kebas.

"Tau nggak? Kemarin santri baru jenius itu ngafal matan Asy-Syatibiyah cepet banget," cerita salah satu sepupu laki-laki Ilyas yang bernama Gus Ali dengan pandangan penuh kekaguman. "Sepertinya dia akan mencetak rekor baru di pesantren dengan santri tercepat dalam menghafal."

Ilyas meneguk air minumnya seakan tidak peduli dengan cerita yang dikemukakan oleh Ali.

"Dia ngafal 1173 bait matan hanya dalam waktu dua jam."

BYURR!!

Ilyas menyemburkan air yang berada di mulutnya dengan tersentak keras.

Dua jam katanya? Padahal, aku menghafalnya dua hari. Itu saja sudah masuk rekor tercepat di antara santri dan yang lain.

"Kenapa, Yas? Sampai kaget gitu?"

Bisa-bisanya rekorku terpecahkan oleh santri baru itu.

"Oh gitu. Lumayan." Ilyas beranjak dari duduknya dan memberi isyarat untuk melanjutkan permainan sepak bola pada siang itu. Ia menendang bola ke arah pemain yang lain, setelah itu menuju ke arah gawang musuh dengan berlari cepat. Beberapa orang berusaha untuk mencegatnya di barisan depan, namun Ilyas dengan gesit bisa mengelabui lawan sembari menggencarkan teknik dribbling-nya.

"Keren!" decak Ali ketika melihat aksi Ilyas melewati lawan dengan strategi yang sempurna. Ia berlari melewati bek yang berjaga, namun Ilyas dengan sigap menendang bola ke arah gawang dan...

"GOLLLL!!"

Ilyas menghembuskan nafas dengan sumringah. Senyum merekah di bibirnya seraya kembali mengusap keringat yang mengucur deras.

"Benar-benar Gus kita yang satu ini luar biasa," ucap Ali kepada Ilyas setelah mereka berhasil memenangkan pertandingan sepak bola tadi. "Sampeyan latihan sangat keras sepertinya. Ambisi untuk menuju Ajax Amsterdam belum luntur, walaupun tidak direstui Abah Ahmad?"

Ilyas menjulurkan kakinya dan duduk dengan helaan nafas yang menerpa.

"Sudah dapat restu. Hanya saja ada syarat dari Abah."

"Syarat?" Ali tertawa kecil dan memandang ke arah Ilyas.

"Aku harus jadi ulama dan menikah dulu," pungkas Ilyas. Ali terkesiap, setelah itu terbahak ketika mendengar jawaban yang keluar dari lisan Ilyas.

"Itu penolakan secara halus sepertinya."

"Hah? Apa maksudnya? 'Kan hanya tinggal menjadi ulama dan menikah saja."

"Memangnya gampang mencapai semua itu?" Ali beranjak dari duduknya dan menepuk pelan bahu Ilyas. "Tapi, aku dukung sampeyan jika memang serius. Semua tidak ada yang tidak mungkin. Sampeyan juga punya bakat yang luar biasa dalam dunia sepak bola. Siapa tau bisa menjadi pemain legendaris dari kalangan Muslim yang setara Ronaldo atau Messi. Semangat Gus Ilyas!"

Ilyas tertawa, setelah itu memberi isyarat persetujuan kepada Ali.

"Kalau nikah udah ada calon emangnya?" goda Ali.

"Belum ada."

"Hahaha."

"Jangan tertawa."

"Mau dicarikan? Aku punya kenalan banyak ning dan santri. Sampeyan tinggal pilih aja salah satu dari mereka," canda Ali.

"Belum mikir ke arah sana."

"Sampeyan normal 'kan?"

"Normal lah. Astaghfirullah. Na'udzubillahi min dzalik. Hanya saja sekarang belum mikir ke arah sana. Ada banyak ambisi yang ingin diwujudkan."

Spy in PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang