*Demak*

905 147 7
                                    



Semua pandangan tertuju ke arah Ilyas yang terdiam tanpa membalikkan tubuhnya sama sekali. Laki-laki itu berusaha mengatur nafas yang menderu dalam batinnya. Ia berusaha menekan emosi yang meluap dan mengelus dada.

Siapa pelaku semua ini?
Tahan, Ilyas. Sabar.
Kamu harus menjaga image di hadapan santri dengan sikap tenang.

"Maaf, Gus Ilyas," ucap Ghazi berlari ke arahnya dengan wajah yang penuh kepanikan. "Saya minta maaf atas kecerobohan saya."

Ilyas menoleh ke arah Ghazi yang menundukkan wajah dengan gemetar yang melingkupi tubuhnya. Ia memberi isyarat agar Ghazi mengikutinya untuk berbicara empat mata. Suasana lapangan berubah menjadi sangat mencekam, hanya terdengar buaian angin yang berhembus pelan.

Apa yang akan dilakukan Gus Ilyas kepada Ghazi? tanya mereka dalam hati.

"Duduklah," pinta Ilyas kepada Ghazi agar ia duduk di kursi teras depan rumahnya. Wajahnya nampak dingin dan tidak bersahabat. Laki-laki itu menghembus nafas pelan dan menatap ke arah Ghazi.

"Berhati-hatilah ketika bermain bola. Di sini bukan lapangan yang sesungguhnya. Jika ingin menunjukkan kekuatan, bukan di sini tempatnya."

"Eh?"

Ghazi tersentak ketika Ilyas seakan seperti menyindirnya, namun tetap bersikap tenang layaknya seorang pembesar.

Kenapa dia seakan-akan mengetahui rencana yang sedang aku jalankan?

"Saya minta maaf sekali lagi, Gus Ilyas. Jika harus terkena hukuman, In syaa Allah saya ikhlas menjalankannya." Ghazi menunjukkan wajah bersalah dan penuh kepasrahan ke arah Ilyas. Laki-laki itu sedikit terkejut ketika melihat gurat pasrah yang terpancar dari santri itu.

"Ti...." Belum sempat Ilyas meneruskan perkataannya, tiba-tiba Abah keluar dari rumah dengan senyum penuh sumringah.

"Ada Ghazi," sapa Abah kepada santri tersebut. Ghazi langsung berdiri dan menyalami Abah yang keluar.

"Tadi saya mendengar kalian berbicara tentang hukuman," tukas Abah kepada mereka berdua. Pria itu memandang bergantian ke arah Ghazi dan Ilyas.

Kenapa perasaanku jadi tidak enak? ujar Ilyas dalam hati.

"Bagaimana jika Ghazi membantu saya?" tawar Abah.

Ilyas menganga. Ghazi sedikit terkesiap ketika Abah menawarkan sebuah hal yang membuatnya lebih leluasa untuk menjalankan misi Intelijennya.

"Saya In syaa Allah siap untuk berkhidmah untuk Abah dan pesantren," pungkas Ghazi dengan penuh binar semangat.

Kenapa jadi seperti ini?

Ilyas sedikit merengutkan wajah tanda tidak suka. Ia menatap ke arah Abah yang seakan berkobar dengan rencana yang digaungkannya.

"Selain jadi khodim pesantren, saya ingin mengangkat sampeyan jadi murid. Bagaimana?" tanya Abah.

Perasaan Ilyas semakin dipenuhi kekesalan yang memuncak.

Ini bukan hukuman namanya. Kenapa jadi Abah yang mengambil keputusan tanpa persetujuanku sebagai korban?

"Nggih. Saya ikut saja perintah yang diberikan oleh Abah. In syaa Allah saya siap mengabdi."

Cih. Kenapa wajahnya seperti seorang yang haus akan perhatian? Benar-benar menyebalkan.

"Saya bisa menyetir mobil juga," cerita Ghazi. Ia mengeluarkan SIM A dan menunjukkan kepada keduanya. Wajah Abah nampak berbinar. Pria itu nampak bersemangat untuk menantikan khidmah yang akan dilakukan oleh Ghazi.

Spy in PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang