Ilyas memandang ke arah jendela mobil seraya memperhatikan jalan yang ramai dengan lalu lalang orang dan kendaraan. Pikirannya kembali terbayang dengan perkataan Ali tempo hari perihal perilaku aneh dari Ghazi yang menjadi buah bibir di kalangan santri."Ghazi," panggil Ilyas ketus ketika mereka sampai di depan Akademi Sepak Bola Sembilan.
"Iya, Gus Ilyas?"
Ilyas membelalakkan matanya ketika Ali menceritakan perihal berita yang tersebar di kalangan santri tentang Ghazi yang sering melihat ke arah Ilyas dengan tatapan penuh makna. Bahkan, sampai pada tahap spekulasi bahwasanya santri itu menyimpan rasa kekaguman yang tidak biasa kepada Ilyas.
"Jadi maksud mereka Ghazi suka denganku, begitu? Aneh-aneh saja," tukas Ilyas dengan wajah yang merona. Namun, tidak bisa dipungkiri getaran jantungnya menembus batas sesuatu hal yang tidak wajar.
"Kenapa wajahmu merah, Ilyas?" tanya Ali.
"Hah? Wajahku biasa saja," delik Ilyas sembari menyimpan degup jantungnya yang berdebar.
"Tapi, jika dipikir-pikir perkataan para santri ada benarnya juga."
"Hey, apa maksudnya?"
Ali memandang Ilyas dengan pandangan serius. "Buktinya Ghazi tiba-tiba mengajukan dirinya untuk menjadi asistenmu. Apa itu tidak aneh, Ilyas?"
"Eh?"
Ilyas terdiam, setelah itu mengatur nafasnya yang terasa tegang melingkupi tenggorokan. Ia mengatur kalimat yang ingin diucapkan, namun lidahnya kelu untuk mengemukakan.
"Sampeyan mau makan apa?" tanya Ilyas. Hampir saja jantungnya terasa copot karena ingin mengajukan pertanyaan yang sangat konyol berkat ulah Ali dan gosip di kalangan santri.
Jangan berfikir aneh-aneh. Tidak mungkin santri caper ini seperti yang dikatakan mereka.
Tapi, bagaimana jika itu benar? Hhhhh, apa yang kau pikirkan, Ilyas?
Kau 'kan memang seorang bintang. Jadi, mungkin santri caper ini begitu terkesan dengan dirimu yang begitu bersinar.
Ya, pasti seperti itu.
Ghazi sedikit terkesiap ketika mendengar pertanyaan yang terlontar dari lisan Ilyas. Ia sejenak terdiam, setelah itu menggeleng kepala pelan.
"Tidak perlu. Saya ikut Gus Ilyas saja," tolak Ghazi dengan halus. Ia tersenyum ke arah Ilyas dan memberikan isyarat untuk mengangkat barang keluar dari mobil. Mereka masuk ke dalam Akademi Sepak Bola Sembilan yang mempunyai bangunan dengan arsitektur modern dan simetris. Ghazi menaruh barang-barang yang dibawa ke dalam loker milik Ilyas, setelah itu mengikuti langkah laki-laki itu menuju lapangan yang berada di tengah bangunan akademi. Sembari menunggu pelatih, Ilyas melakukan beberapa pemanasan di pinggir lapangan seperti stretching, lari-lari kecil, pemanasan pergelangan kaki dan hal lainnya.
"Kenapa Gus Ilyas ingin jadi pemain sepak bola?" tanya Ghazi ketika mereka sedang menunggu pelatih di pinggir lapangan setelah Ilyas selesai melakukan pemanasan.
"Kenapa bertanya seperti itu?"
"Hanya penasaran saja. Biasanya sebagian besar anak Kyai meneruskan perjuangan di podium."
Ilyas memandang ke arah lapangan yang dipenuhi oleh rerumputan hijau sintetis dengan perasaan yang merekah.
Baru pertama kali ada yang bertanya kepadaku tentang hal itu. Rasanya seperti ada dukungan yang mendorongmu untuk bersemangat dalam mengejar impian.
"Di Indonesia sendiri sepak bolanya masih jauh tertinggal. Apa ada harapan untuk menjadi sang juara dunia dengan kondisi carut marutnya birokrasi sepak bola di negara ini?" tanya Ghazi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spy in Pesantren
Teen Fiction[Mystery-Thriller-Romance Spiritual] Elena Brechtje, seorang perempuan muda asal Belanda yang berumur 19 tahun dan tergabung dalam organisasi "Black World", ditugaskan menyamar menjadi laki-laki untuk sebuah misi mata-mata, demi mencari kelemahan da...