Ghazi membuka pintu kamar untuk mengambil barang yang tertinggal. Ia menghela nafas pelan ketika suara dengkuran begitu memekakkan kedua telinganya. Dari awal masuk pesantren sampai hari ini, ia tidak pernah tidur di dalam kamar bersama santri lainnya dan memilih tidur di aula sembari belajar serta menyusun beberapa strategi untuk menjalankan misi yang telah diberikan oleh Black World.Jam 2 pagi ia akan terbangun dan mandi untuk membersihkan dirinya sebelum para santri yang lain bangun. Elena tidak suka keramaian, tapi dia harus tampil sebagai Ghazi yang berbaur dengan santri lain agar bisa menarik banyak informasi yang mungkin dibutuhkan.
"Paling lama tiga bulan. Setelah itu kembalilah ke Amsterdam," ucap pemimpin Black World kepadanya.
Ada sesuatu hal yang membuatnya kurang nyaman selama berada di pesantren. Tidak seperti kehidupannya di Amsterdam yang serba bersih, pesantren ini berbanding terbalik dengan apa yang diketahuinya tentang Islam.
Bukankah Islam mengajarkan kebersihan dan kerapihan? Tapi, mengapa dalam praktiknya jauh dari hal tersebut?
Padahal, ini katanya sebuah pesantren yang berpengaruh di negara ini, tapi ekspektasiku terlalu tinggi. Ilmu yang diajarkan di sini sudah sangat mumpuni, tapi fakta di lapangan tidak seperti yang disampaikan.
Lihatlah dari hal terkecil. Mereka membuang sampah di sembarang tempat, ruangan yang berantakan, berpakaian jauh dari kata rapi, kamar mandi yang sangat kumuh, dan hal lain yang tidak mencerminkan dari ajaran Islam.
Abah memandang ke arah keduanya yang terlihat terkejut. Ia buru-buru meralat perkataannya tadi.
"Maksudnya bukan dalam satu kamar. Tapi, nanti teman Abah akan menyiapkan rumah yang di dalamnya ada dua kamar. Abah akan menginap di rumah lainnya karena akan banyak bertemu dengan para kyai dan ulama. Jadi, kalian tidurlah di rumah satunya lagi agar tidak terlalu terganggu," ungkap Abah.
Ilyas bernafas lega, sementara itu Ghazi berpura-pura melanjutkan makannya seakan tidak mendengar dengan pembicaraan mereka berdua.
Ini sepertinya lebih baik, daripada satu kamar dengan santri caper itu, ucap Ilyas dengan penuh kelegaan walaupun tetap ada ganjalan di hatinya.
"Kita akan menginap di pesantren teman Abah."
*****
Ilyas berjalan pelan dengan kedongkolan yang menancap dalam dirinya. Di belakang, Ghazi mengintilinya sembari melihat keadaan sekeliling dengan siluet mata tajam.
"Gus Ilyas, saya bawakan barangnya?" tawar Ghazi.
"Tidak perlu," tepis Ilyas dengan cepat. Ia membuka pintu rumah dan menyalakan lampu yang berada di dalam.
"Ghazi, kamu tidur di kamar belakang," tunjuk Ilyas ke arah kamar yang berada dekat dapur. Ghazi mengangguk pelan dan membawa barang ke arah kamarnya. Ilyas melirik ke arah Ghazi yang masuk ke kamar, setelah itu memastikan semua aman terkendali.
"Malam ini ada pertandingan Real Madrid vs Barcelona. Ronaldo dan Messi akan bertemu lagi di match ini. Baiklah, jangan sampai terlewat," ucap Ilyas dengan penuh semangat. Ia masuk ke dalam kamar dan membereskan barang-barangnya di sudut. Setelah dirasa cukup, ia memejamkan mata di atas kasur dan tertidur pulas dalam buaian mimpi.
Jam 01.00
Ilyas mematikan alarm handphone dan membuka matanya yang agak sayu. Ia merasakan lapar dan kantuk yang seakan bersatu menyerangnya. Namun, suara bergemuruh dari area dapur membuatnya penasaran apa yang terjadi di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spy in Pesantren
Teen Fiction[Mystery-Thriller-Romance Spiritual] Elena Brechtje, seorang perempuan muda asal Belanda yang berumur 19 tahun dan tergabung dalam organisasi "Black World", ditugaskan menyamar menjadi laki-laki untuk sebuah misi mata-mata, demi mencari kelemahan da...