Mr.Popular

171 12 0
                                    

Aku mendengus sebal seraya tetap menatap para siswa sedang bermain basket. Tadinya aku ingin pergi ke kantin untuk makan, tapi ketika melewati lapangan basket mendadak perutku mual dan selera makanku musnah begitu saja.

"Adli... Adli... Adli..."

Cih! Apa sih yang mereka pikirkan, sampai-sampai mereka berteriak histeris hanya untuk menyemangati bocah macam Adli. Memang sih Adli itu jago main basket, lumayan tampan, juara umum, aish kenapa aku jadi memujinya begitu, menyebalkan.

"Ish ish ish, kenapa dengan wajahmu itu Keyla? Seperti ingin memakan orang saja."

Aku menatap tajam orang yang sedang berbicara disampingku. Mengganggu saja! Sudah tahu aku sedang emosi, kenapa pula dia muncul dan mengganggu aktivitas memakiku kepada Adli.

"Benar! Aku memang sedang ingin memakan orang, kebetulan sekali kau ada Mira, bagaimana jika kau saja yang aku makan?!" Aku berkata seraya menyipitkan kedua mataku, berusaha untuk mengintimidasinya melalui tatapan tajamku. Tapi yah, harusnya aku belajar dari pengalaman. Mira, si gadis dodol itu malah nyengir dengan wajah bodoh.

"Hehehe, wajahmu sangat menunjukan jika kau ingin melahap semua gadis centil yang sedang meneriaki nama Adli. Kenapa tak kau hampiri mereka dan menjambak semua rambut gadis-gadis centil itu yang selalu mengurai rambutnya jika bertemu dengan Adli?"

Benar, aku juga pernah berpikir ingin ambil tindakkan mengenai rambut siswi-siswi yang selalu diurai itu. Bahkan, aku pernah berpikiran untuk mengajukan peraturan untuk siswi yang rambutnya diurai akan dipotong sampai botak. Beruntunglah siswi-siswi itu karena aku tak jadi mengajukan peraturan itu pada kepala sekolah. Meskipun aku hanya guru magang yang mengisi waktu kosong dijam kuliah, aku adalah anak dari kepala sekolah, jadi bukan tidak mungkin jika peraturan itu bisa saja berlaku.

Hei, jangan menjudge diriku yang tak propesional dan mengandalkan jabatan ayahku. Toh sampai sekarang pemikiran itu tak aku ajukan pada ayah. Lagipula akal sehat ku menasehati, kalau aku benar mengajukan peraturan itu, itu terlalu berlebihan.

"Siang kak, kak Keyla mau kekantin?"

Aku melirik Mira yang sedang cemberut. Gadis itu benar-benar. Apa dia serius menyukai bocah yang baru saja menyapaku? Terlebih bibirnya yang selalu dikerucutkan jika bocah itu datang dan hanya menyapaku, seolah-olah dia memang tak melihat keberadaan Mira.

"Tadinya iya sih Ver, tapi nggak jadi. Kalau kak Mira sih kayanya jadi Ver. Nitip dia aja ya, jagain."

Setelah mengatakannya aku langsung pergi meninggalkan Verlo dan Mira. Sedikit info, aku sangat malas jika sudah ada Verlo didekatku. Entah itu hanya perasaanku saja atau memang benar, Verlo selalu menatapku dengan pandangan yang berbeda, dan itu sedikit membuatku risih. Kalau masalah dia memanggilku kakak dan bukan ibu, itu memang sudah menjadi kesepakatanku dengan semua siswa-siswi disini untuk memanggilku kakak. Rasanya aku belum mau dipanggil dengan panggilan setua itu, aku juga belum genap berumur 20 tahun. Mengajar disini pun aku hanya sebagai guru magang yang seharusnya belum waktunya aku magang.

"Ngelamunin apa sih? Seru banget kayanya."

Aku menoleh menatap orang yang baru saja berbicara padaku. Aku tak menjawab pertanyaannya, aku hanya terus menatapnya dan mulutku juga tetap bungkam. Aku tahu sebentar lagi dia akan membuka mulutnya, meskipun dia so dingin begitu, tapi aku tahu kalau dia tak akan tahan aku diamkan.

"Kenapa sih liatin akunya kaya gitu banget? Ada yang salah? Atau kadar ketampanan aku meningkat lagi?"

Cih! Mana ada orang berkata narsis tapi dengan ekspresi sedatar itu. Benar-benar manusia tanpa ekspresi. Tersenyum apa susahnya, toh dia juga tak akan kehilangan semua fansnya jika ia tersenyum. Apa aku perlu mengajarinya bagaimana cara tersenyum? Mungkin dia lupa cara tersenyum karena sudah lama tak melakukannya.

Story of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang