Hari Itu...

46 4 0
                                    

Dahulu aku selalu bertanya pada mereka yang mengalami situasi seperti ini. Bagaimana bisa mereka menceritakan pada kedua orangtuanya? bagaimana mereka dapat merangkai sebuah kata yang membuat orangtua mereka setuju dan menerima keputusannya. Terlebih kaum kami, maksudku wanita. Kalimat seperti apa yang mereka gunakan?

"Ayah, ibu..." suaraku mencicit, sangat terdengar ragu.

Oh, mungkin bagi mereka yang terbiasa menceritakan apapun yang mereka alami pada ibunya, situasi ini akan sedikit lebih mudah. Tapi aku, aku bukanlah seseorang yang akan mengeluarkan apa yang aku rasakan, aku, aku sudah terbiasa memendamnya. Namun sekarang, mau tak mau aku harus membicarakan ini pada kedua orangtua ku.

"Ada apa Asiah? Mengapa raut wajahmu begitu sangat takut untuk mengatakannya?"

Aku tersenyum kaku mendengar pertanyaan ayah. Ayah, putrimu ini akan mengatakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya.

"Asiah? Ada apa sayang ? katakan saja."

Lagi-lagi aku tersenyum kaku. Ibu, sudah benarkah aku mengambil keputusan seperti ini?

"Ayah, ibu. Asiah ingin, mmm... jadi begini mm... Asiah...."

Aku berhenti berbicara. Memejamkan mata sejenak lalu mengusap wajahku seraya mengucap do'a sebanyak 3 kali, Robbisy-rohlii shodrii wa yassir lii amrii wahlul 'uqdatan minlisaanii yafqohuu qowli (Ya Allah! Tuhan kami, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, lepaskanlah ikatan lisanku, agar mereka paham ucapanku).

Setelah selesai membaca do'a, aku kembali menatap kedua orangtua ku yang menunggu dengan wajah yang penasaran. Bismillah.

"Ayah, ibu. Asiah mm.. beberapa hari yang lalu menerima proposal, mm-maksud Asiah, ada seseorang yang menawarkan untuk taaruf dengan Asiah."

Aku sejenak terdiam, ingin melihat respon dan dari kedua orangtuaku. Terkejut, itu yang mereka tunjukan selama 2 detik, karena setelahnya mereka kembali memasang wajah tenang namun waspada. Ayah menatapku semakin intens, ia berdehem sejenak, memintaku secara tidak langsung untuk melanjutkan apa yang akan aku ucapkan lagi.

"Dia dahulu adalah senior Asiah dikampus, dan sekarang kami bekerja ditempat yang sama. Ayah jangan khawatir! Asiah sebelumnya tidak pernah memiliki hubungan dengan dia. Bahkan Asiah tidak pernah mengobrol dengannya jika itu tak menyangkut kuliah dan pekerjaan."

Aku gelagapan saat ayah melotot mendengar penjelasan bahwa aku dan dia sudah mengenal sejak lama. Ayah dan ibu memang tidak pernah menyetujui jika aku memiliki sebuah hubungan khusus dengan seorang pria. Dan saat kedua orangtuaku masih belum bersuara, itu artinya mereka ingin aku melanjutkan ucapanku.

"Sebelumnya Asiah tidak pernah sesulit ini untuk memutuskan, namun karena dia..."

"Pinta dia untuk segera menghadap ayah," ayah memotong ucapanku yang sudah mulai terdengar ragu dan samar.

"Mmm... sebenarnya karena itulah Asiah ingin membicarakan ini."

Ayah dan ibu kembali memandangku dengan bingung. Oh, mereka belum mengerti sepenuhnya ternyata.

"Asiah sudah bilang padanya untuk menghadap ayah beberapa hari yang lalu, dan dia bilang iya. Mmm.. dia juga bilang hari ini akan ke rumah bersama keluarganya sesudah ba'da isya."

Ayah dan ibu melongo. Lalu sedetik kemudian ibu sudah mengomel karena aku tidak mengatakan sebelum-sebelumnya. Aku hanya meringis mendengar bahwa ibu belum melakukan persiapan apa-apa padahal sekarang sudah menunjukan pukul 5. Oh, aku bukan tak ingin mengatakannya, hanya saja beberapa hari ini aku menguatkan mental untuk berbicara hal seperti ini pada mereka. Aku sangatlah gugup dan takut setiap kali akan membicarakan masalah ini, hingga akhirnya baru sekaranglah aku mengatakannya.

"Sudahkah solat Istikhoroh Asiah?" ayah bertanya sesudah ibu pergi. Ia mengatakan akan memasak makanan istemewa untuk tamu yang sangat istimewa. hah, terkadang ibu memang kekanakan.

"Sudah ayah," ucapku dengan senyum canggung. Ayah menatapku sejenak, lalu mengangguk sambil tersenyum.

"Ayah pergi ke kamar dulu," aku mengangguk menjawab ucapan ayah yang masih saja tersenyum seraya mengusap kepalaku yang tertutup hijab sebelum pergi ke kamar.

***

Aku tidak pernah tahu bahwa situasi seperti ini membuatku begitu tak karuan. Bahkan berkali-kali Kak Lisa -orang yang bertugas merias diriku- menggerutu karena aku terlalu banyak berkeringat. Sungguh, dadaku sangat berdetak dengan cepat dan kedua kakiku lemas tak terkira.

Ibu yang melihatku begitu cemas menghampiri sambil tersenyum, meski tak banyak berpengaruh karena ia pun sama cemasnya. Ia usap tanganku menangkan.

"Ibu disini saja menemani kamu," ujarnya seraya duduk disampingku. Aku menggeleng, tak setuju dengan niatannya.

"Tak apa, ibu ingin menemanimu. Ibu takut kamu pingsan soalnya," ucapnya dengan sedikit kekehan. Benar-benar garing sebenarnya, namun aku sangat terharu ibu begitu berusaha agar aku tidak terlalu cemas.

"Ini," ucapnya seraya menyerahkan ponsel, "ibu mau kita streaming sebenenarnya, tapi dengarkan saja ayah dan calon suamimu saat akad," lanjutnya.

Tak lama dering ponsel terdengar, terpampang nama 'Radisti' sepupuku. Ibu mengangguk isyarat agar aku menerima panggilan itu.

"Assalamualaikum Asiah, sekarang disini sudah akan mulai akad. Kamu dengarkan saja oke? Ehh calonmu tampan juga ya hahaha."

Terdengar suara Radisti yang cekikikan seperti biasanya. Suara-suara ramai yang tadinya juga terdengar dengan perlahan kian menghilang. Lalu yang terdengar hanyalah sebuah suara yang membuatku tambah diam membeku.
"Ankahtuka wa Zawwajtuka Makhtubataka Binti Asiah Nuraeni alal Mahri dzahabun."

Itu suara ayah. Terdengar bergetar namun penuh keyakinan. Lalu, tak lama terdengar suara dia,

"Qobiltu Nikahaha wa Tazwijaha alal Mahril Madzkuur wa Radhiitu bihi, Wallahu Waliyut Taufiq."

Tak kuasa aku menahan air mata. Ibu pun langsung memelukku seraya mengucap hamdalah bersama orang-orang disana yang kudengar diponsel yang kupegang.

Masih sangat terngiang nasihat-nasihat ibu dan ayah.

Ayah, ibu. Meski kini aku tanggungjawabnya. Namun aku adalah putrimu. Putrimu yang selalu bersyukur ada pada tahap ini bersama kalian.

***

Selasa, 26 Desember 2016

Story of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang