Tiga puluh empat

155 34 10
                                    

Perang dingin yang terjadi antara dirinya dan Chelsea, Husna lebih sering keluar bersama tim yang lain. Rekan-rekan kerjanya mulai mempertanyakan masalah apa yang terjadi diantara mereka.

Namun Husna maupun Chelsea tidak mau membicarakannya dengan siapapun, hanya Raka yang mengetahui permasalahannya, itupun tidak semua karena itulah malam ini ia mengajak Husna untuk makan malam, Husna juga tahu maksud dari ajakan Raka jadi ia menyetujuinya.

Raka mengajak Husna ke sebuah kafe, senyuman Raka membuat hati Husna sedikit lebih lega. Sepertinya hanya Raka satu-satunya teman yang tidak menilainya langsung tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya Raka.

"Buruk." Jawab Husna sambil duduk dikursinya.

"Pesanannya sudah siap ternyata." Kata Husna. Matanya berbinar melihat menu yang tersedia diatas meja. "Kamu memang yang terbaik." Puji Husna.

Raka mencebik, "bukannya setiap kita ke kafe kamu pasti memesan makanan yang sama." Ejek Raka.

Husna tertawa, "memang siapa yang bisa berpaling dari burger ini." Kata Husna mengangkat cheese burger berukuran jumbo tanpa sayuran itu. Husna mulai menggigit burgernya perlahan dan menikmati setiap gigitannya.

"Baiklah, aku rasa kamu tahu kan maksud pertemuan kita ini." Kata Raka.

Husna mengangguk, sambil terus menikmati burgernya. Setelah burgernya habis setengah Husna minum air mineral lalu mengambil tisu untuk mengelap tangannya. Husna mulai menceritakan awal mula hubungannya dengan Dhangku. Mengenai persahabatannya yang dulu  juga putus karena laki-laki. Husna menceritakan semuanya, hingga pertemuan mereka di London dan semua hal yang terjadi sampai saat ini. Hebat, Husna menceritakannya dengan lancar, dadanya terasa sesak tapi tidak ada lagi air mata yang keluar. Ia menarik napas panjang untuk mengakhiri ceritanya.

"Yah begitulah kisah hidupku, nggak ada yang mau mengerti perasaanku. Kejadian yang lalu kini terulang lagi, aku harus bagaimana, Ka?" Tanya Husna putus asa.

Raka tersenyum getir, ia percaya dengan apa yang dikatakan Husna. Husna gadis yang baik, cantik dan juga cerdas. Pasti banyak pria yang mengaguminya.

"Aku nggak tahu harus bilang apa. Hidupmu benar-benar menyedihkan, maksudku kamu nggak beruntung sekali dalam hal persahabatan dan percintaan." Kata Raka.

"Hidupku hanya berputar di atas daun kelor, sempit banget, kenapa aku harus bertemu dengan orang-orang itu saja. Aaarghhh kalau seperti ini terus kayaknya aku harus pulang kampung deh atau aku minta pindah ke London aja sekalian, ya kan?" Kata Husna semangat.

Raka menyentil kening Husna, "jangan berpikir kejauhan, pasti ada jalan keluar yang lain."

"Seperti?" Tantang Husna.

"Untuk saat ini aku nggak tahu, aku akan berusaha mencari jalan keluar yang tepat buat kalian semua, jadi sebelum itu terjadi sebaiknya jangan melakukan hal-hal yang aneh apalagi bunuh diri."

"Woylah," kata Husna dengan nada pura-pura marah. "Nggak mungkin banget dah aku bunuh diri, nauzubillahhiminzalik." Kata Husna. "Aku masih ingin makan burger dan pengen jalan-jalan ke London lagi. Selain itu aku ingin sekali pergi umroh sama keluargaku. Jangan mengada-ada ya." Kata Husna.

"Waaaah banyak sekali daftar keinginannya, kalau begitu aku nggak perlu khawatir lagi." Kata Raka sambil menunjukkan ekspresi lega.

Husna mencebik lalu wajahnya berubah serius, "tolong jaga Chelsea ya, aku nggak mau masalah ini  membebani pikirannya, aku nggak mau dia jatuh sakit. Sampaikan padanya, aku dan Dhangku sudah tidak ada apa-apa lagi. Kami sudah berakhir lama, aku mendoakan kebahagiaannya." Kata Husna tulus.

Raka menatap Husna dengan tatapan simpati, ia bisa merasakan ketulusan Husna, disamping itu ia juga merasakan kegetiran temannya. Ini juga pasti berat buatnya.

***

"Aku nggak tahu apa maksudmu?" Kata Dhangku.

Raka kini tengah berada di perusahaan Dhangku. Ia harus menyelesaikan masalah ini. Chelsea tidak boleh larut dalam kesedihan dan banyak prasangka, ia tidak akan rela jika ada yang menyakiti Chelsea.

"Husna sudah menceritakan semuanya. Bagaimana kisah kalian benar-benar berakhir di London."

Tangan Dhangku terhenti begitu mendengar ucapan Raka.

"Atau hubungan kalian belum berakhir?" Pancing Raka.

Dhangku melepas pekerjaannya, ia menatap Raka dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.

"So?" Raka menunggu jawaban Dhangku.

"Semua itu benar, apalagi yang ingin kamu dengar?" Kata Dhangku dingin.

"Kamu benar-benar brengsek ya," kata Raka marah. "Bagaimana bisa kamu meninggalkan seorang gadis tanpa kejelasan seperti itu, kamu benar-benar pengecut." Kata Raka marah.

"Kamu nggak berhak marah, apa yang kulakukan nggak ada urusan denganmu." Kata Dhangku, suaranya semakin dingin, tatapannya tajam.

"Husna temanku yang sangat baik, dia nggak pantas mendapat perlakuan seperti itu. Bahkan kamu nggak pantas bersama Chelsea." Kata Raka.

"Pantas tidaknya biar menjadi urusanku." Balas Dhangku.

"Kamu sudah menyakiti Husna dengan sangat buruk, nggak cuma itu, kamu bahkan menghancurkan persahabatannya dengan Chelsea, calon istrimu." Kata Raka tajam.

Dhangku menggenggam kedua tangannya erat, giginya bergemeretuk. Dadanya berdetak kencang, kata-kata Raka benar-benar memukul hatinya. Ia tahu kalau dirinya menyebabkan hidup Husna tidak mudah, tapi apa yang dikatakan Raka semakin memperjelas semua itu.

"Apakah kamu masih mencintai Husna? Apakah kamu mencintai Chelsea? Apakah kamu menginginkan pernikahan ini?"

Dhangku terdiam, ia tidak bisa menjawab pertanyaan Raka karena ia tidak harus menjelaskan apapun. Ia tahu sekali jawaban itu. Tapi ia sama sekali tidak berkata apa-apa sampai akhirnya Raka keluar sendiri dari ruangannya. Ia ingat kata-kata terakhir Raka padanya.

"Jangan pernah menyakiti Chelsea, kalau tidak kamu akan menyesal."

Dhangku tersenyum sinis, "sekarang saja aku sudah sangat menyesal." Gumamnya.

Bugh.

Dhangku meninju tembok dengan keras,  dadanya turun naik menahan amarah. "Sial, sial, sial." Umpatnya pelan. Lalu ia bersimpuh di lantai. Ia menarik lengan bajunya, disana gelang hitam itu melingkar, ia menutup matanya, merabanya pelan. Bayangan saat dulu ia memberikannya pada Husna melintas dibenaknya, begitu juga saat Husna mengembalikan gelang itu.

"Aku masih mencintainya, iya, aku masih mencintainya." Gumamnya.

***

Yes apdet lagi uhuy😄
Vomen yang banyak ya yang mau apdet lagi 😉😘

Doa di Sujud TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang