Tiga belas

894 108 22
                                    

"Aku sudah bilang nggak mau ke sini." Pria berjaket hitam itu terlihat kesal. Wajahnya benar - benar menunjukkan tingkat kebosanan yang tinggi.

"Hanya menemaniku saja apa susahnya sih." Kata si wanita bergelayut manja padanya.

"Nggak susah kalau seandainya nggak setiap malam aku menemanimu. Aku punya pekerjaan lain Kiran."

"Dhangku sayang, sejak kapan kamu jadi perhitungan sama sahabatmu hah," kata Kiran.

"Sejak kamu membuang waktuku sia - sia." Dhangku menatap lelah pada sahabatnya ini. Kiran yang di tatap seperti itu hanya bisa tertawa.

"Husna."

Deg.

Tubuh Dhangku menegang. Nama itu membuat seluruh dunianya seakan terhenti. Nama indah yang selalu ia gumamkan dalam malam - malam penuh kerinduannya.

Seorang gadis yang telah ia sakiti dengan meninggalkannya tanpa kabar. Kedua tangannya mengepal, napasnya naik turun, ia menelan salivanya dengan susah payah.

Apa mungkin?

Perlahan ia memutar tubuhnya ke belakang, dan dunianya benar - benar terhenti. Di hadapannya berdiri seorang gadis cantik dengan hijab biru langitnya yang cerah, memancarkan wajah manis yang selalu ia rindukan. Pancaran mata yang dulu begitu menyejukkannya kini terlihat berkaca - kaca. Wajah itu menampakkan kekecewaan yang nyata.

Mereka hanya saling memandang, entah apa yang mereka coba sampaikan melalui tatapan mereka.
Husna menggeleng ketika di lihatnya Dhangku melepas pelukan wanita di sampingnya dan hendak melangkah mendekatinya.

"Husna."

Dhangku menoleh pada seorang wanita yang mendekati Husna. Dilihatnya Husna berbalik, meninggalkannya dalam keterkejutan yang luar biasa. Setelah tersadar Dhangku mulai berlari mengejar gadisnya, pujaan hatinya.

"Ah brengsek." Makinya pada dirinya sendiri. Dia tidak sedang berkhayal, gadis itu Husnanya.

"Dhangku tunggu," Kiran mengejarnya dan menahan langkahnya.

"Lepaskan." Katanya dengan suara berat. Wajah frustasi terlihat jelas di wajahnya.

"Ada apa?" Tanya Kiran bingung.

"Dia di sini."

"Siapa?"

"Dia di sini. Ya, Tuhan aku nggak percaya ini." Dhangku meremas rambutnya frustasi. Dhangku memegang bahu Kiran, menatapnya tajam kemudian berkata, "Aku akan mencarinya, kamu tunggu di mobil atau kalau kamu mau pulang silahkan. Jangan tunggu aku." Setelah mengatakan itu Dhangku meninggalkan Kiran yang kebingungan.

"Memangnya siapa yang ada di sini?" Kata Kiran menggelengkan kepala.

***

Husna lebih banyak diam ketika mereka dalam perjalanan pulang. Ia terlihat mendengarkan celoteh teman - temannya namun sebenarnya pikirannya sedang tidak di sana.

Berulang kali ia mengucap istigfar dalam hati. Agar sesak di dadanya segera pergi. Agar lukanya tidak menyakitinya lebih dalam lagi. Berulang kali ia juga meyakinkan diri bahwa ia tidak boleh lemah karena cintanya pada seorang pria.

Entah bagaimana ia menahan diri di depan teman - temannya agar tidak menangis. Karena sekarang, di dalam kamarnya Husna sedang menangis. Ia menangisi dirinya yang begitu bodoh, menjaga cintanya untuk orang yang sudah melupakannya.

"Ya Allah, sakit." Lirihnya sembari menepuk dadanya pelan. Air matanya tak kunjung berhenti. Biarlah malam ini ia menangisi cintanya, cinta yang bertahun - tahun menjadi semangat dalam hidupnya. Husna terus merapalkan kalimat istigfar hingga ia terlelap.

Doa di Sujud TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang