Tidur pulas semalaman membuat energi Oriana kembali penuh. Seperti biasa, rutinitasnya setelah bangun pagi adalah mandi dengan air hangat, memilih pakaian yang akan dia pakai hari ini, melakukan perawatan rutin untuk kulit wajahnya, dan bersolek. Hari ini Oriana memutuskan untuk memakai dress kerja warna navy blue, memakai tas tangan warna putih, dan sepatu tumit tinggi warna putih juga.
Setelah rapi, Oriana keluar dari kamarnya dan turun menuju ruang makan, dimana sarapan sudah siap. Dia lalu menikmati sarapannya, yang berupa over-night oatmeal dengan berbagai buah-buahan segar, secangkir kopi hitam, dan segelas besar air putih. Tangannya sudah sibuk dengan sebuah tablet karena dia membaca koran elektronik. Beberapa email masuk ke dalam ponselnya. Oriana pun membacanya sekilas.
Dia lalu beranjak dari mejanya setelah menghabiskan sarapannya, lalu menuju ke pintu depan rumahnya, dimana sebuah mobil sedan mewah hitam sudah menunggunya. Segera saja Oriana masuk ke dalam kursi penumpang belakang mobil.
Seperti biasa, perjalanan menuju kantor tidak pernah sangat lancar. Sekitar setengah jam kemudian, dia sudah sampai di kantornya dan turun di lobby. Menggunakan sebuah lift khusus untuk para eksekutif tinggi, Oriana sampai di kantornya dalam waktu cepat. Para pekerjanya sudah duduk rapi di meja mereka, ada yang sedang menelepon, fokus ke laptop mereka, atau pun membaca berbagai dokumen. Sekretarisnya segera membawakan secangkir kopi untuk Oriana, dan memberi tahunya sederetan jadwal hari ini. Oriana tersenyum sedikit ketika dia akan ada pertemuan dengan Jenar pada pukul sepuluh pagi hari ini, yang artinya adalah pertemuan pertamanya di hari ini.
Setelah sekretarisnya pamit untuk melanjutkan pekerjaannya, Oriana lalu mulai membalas beberapa email yang penting. Otaknya sudah terprogram seperti itu, kebiasaan ini yang membuatnya tak bisa berhenti berpikir dan tak diperbolehkan untuk menjadi gegabah. Jemarinya tetap bergerak lincah di atas tiap tombol laptopnya ketika pintu diketuk, sekretarisnya masuk dan memberitahunya bahwa Jenar sudah datang. Orang yang disebutkan belakangan sudah berdiri di belakang sekretarisnya itu, dan Oriana tersenyum menyambutnya.
Jenar hari ini terlihat jauh lebih rapi, mengenakan kemeja biru muda dan celana bahan warna hitam, sangat berbeda dengan kemarin dia memakai baju kaos dan celana jeans, serta rambut yang diikat sembarangan. Hari ini Jenar terlihat sangat rapi, bahkan orang bisa saja mengira bahwa Jenar sebagai salah satu karyawatinya.
"Silakan duduk Mbak Jenar. Mau minum apa? Air putih, kopi, teh, atau yang lain?" dengan ramah Oriana mempersilakan Jenar untuk duduk di sofa ruangannya dan menawarkan minum kepadanya. "Gak perlu repot-repot Bu," dengan sopan Jenar menolak. "Tolong bawakan teh untuk Mbak Jenar ya," kata Oriana kepada sekretarisnya, yang dijawab dengan sopan oleh sang sekretaris itu.
Oriana lalu duduk di sofa di hadapan Jenar. "Terima kasih banyak ya Mbak Jenar udah mau datang ke sini dan menolong saya kemarin," Oriana membuka pembicaraan. Jenar tak bereaksi, dia hanya mengangguk pelan. Suasana lalu menjadi hening, karena Oriana berharap agar Jenar mengutarakan atau menyampaikan sesuatu. Tapi apa yang diharapkan tak kunjung datang. Jenar tak bersuara, dan keadaan menjadi diam yang canggung. Dalam keheningan ini, Oriana mengamati Jenar. Wajah Jenar yang menarik dan dia terlihat malu, membuat Oriana semakin penasaran. Dan tanpa disadarinya, jantungnya berdegup lebih kencang sekarang.
Hingga akhirnya keheningan dipecahkan oleh ketukan di pintu dan sekretarisnya masuk, membawakan sebuah nampan yang di atasnya terdapat dua cangkir teh. Oriana mempersilakan Jenar untuk meminum teh yang sudah disuguhkan, dan Jenar meminum teh dari cangkirnya.
Setelah sekretarisnya keluar, Oriana lalu tersenyum kepada Jenar. "Untuk ucapan terima kasih saya, mohon terima ini untuk Mbak Jenar," Oriana mengatakan itu seraya memberikan sebuah amplop putih kepada Jenar yang terlihat bingung. Dia menerima amplop itu dan menatap Oriana. "Ini apa Bu?" tanyanya dengan raut wajah yang terlihat tidak mengerti. "Oh, hanya sedikit ucapan terima kasih untuk Mbak Jenar dari saya," jawab Oriana sambil tersenyum kepadanya. Pandangan mata Jenar menatap amplop itu lalu dia menggeleng. "Tapi saya ikhlas tolong Bu Oriana," katanya sambil mengulurkan kembali amplop itu kepada Oriana, yang menolak dan menggeleng. "Gak apa-apa Mbak. Saya sangat berterima kasih kepada Mbak, dan itu adalah sedikit ucapan terima kasih saya untuk Mbak, jangan ditolak yah?" Oriana membujuk dan akhirnya Jenar mengangguk sambil menundukkan kepalanya.
"Terima kasih banyak Bu Oriana. Sebenarnya saya ikhlas banget bantu Ibu, saya gak mengharapkan apa pun Bu," jawab Jenar sambil masih menatap amplop putih yang gemuk itu di tangannya. Oriana berusaha membaca situasi, namun terlihat Jenar tak menunjukkan apa pun. "Gak apa-apa. Oh iya, kamu kerja di mana? Atau kuliah?" Oriana berusaha keluar dari topik. Jenar menatap Oriana dan menggeleng. "Lagi nganggur aja Bu. Saya belum dapat pekerjaan. Gak ada yang mau mempekerjakan saya yang cuma tamatan SMA ini," katanya lalu menunduk lagi. Melihat Jenar yang tertunduk lesu, Oriana lalu memikirkan beberapa pekerjaan, hingga akhirnya terlintaslah sebuah lowongan yang sedang ia cari. "Kamu bisa bela diri?" tanya Oriana dan pertanyaan dari Oriana itu membuat Jenar mengangkat kepalanya.
"Sedikit sih Bu, saya dulu ikut perguruan pencak silat. Kenapa emangnya Bu?" tanya Jenar. Pantas saja dia bisa mengalahkan jambret kemarin dengan sangat mudah. "Oh begitu. Silat kamu sampai tingkat apa?" tanya Oriana penasaran. Tampak ekspresi wajah Jenar semakin tidak mengerti. "Sabuk hitam Bu," jawabnya. Menganggukkan kepala, Oriana lalu tersenyum. "Sejak kejadian kemarin, saya berpikiran untuk punya pengawal pribadi. Gimana kalau Mbak Jenar yang jadi pengawal saya aja? Nanti Mbak Jenar bisa pindah tinggal di rumah saya, dapat gaji tetap tiap bulan, dan gak perlu memikirkan untuk ongkos karena Mbak Jenar harus ikut dengan saya kemana pun saya pergi. Gimana tawaran dari saya?" Oriana menawarkan posisi itu kepada Jenar, yang terlihat kaget dengan tawaran pekerjaan yang tak biasa baginya itu.
"Tapi Bu..., saya kan perempuan," kata Jenar, dan Oriana tertawa mendengarnya. "Lalu kenapa kalau kamu perempuan Mbak? Gimana? Apa Mbak Jenar tertarik dengan tawaran saya?" tanya Oriana dan Jenar tampak berpikir. Sambil berharap jika Jenar menerima tawarannya, Oriana melirik ke ponselnya yang bergetar. Sebuah pesan masuk mengenai perjanjian kerja sama dengan sebuah perusahaan kargo yang akhirnya disetujui. Menahan senyum kemenangan, Oriana lalu menatap Jenar yang masih tampak berpikir.
Akhirnya Jenar menganggukkan kepalanya. "Kapan saya bisa mulai Bu?"
***************
Setelah melewati berbagai rapat dan menenggelamkan dirinya di pekerjaan, Oriana menghela napas ketika dia melihat jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Sekarang adalah hari Jumat. Dia sudah membayangkan akan mandi air panas dan mengubur dirinya di antara tumpukan bantal dan berselimut tebal sambil menonton drama kesukaannya nanti. Tapi entah mengapa, pikirannya melayang kepada Jenar.
Dia tampak sangat terkejut dan senang sekaligus gugup ketika Oriana memintanya untuk menjadi pengawal pribadinya. Memang bukan tawaran yang terlalu bagus untuk bekerja di belakang meja, tapi entah mengapa, Oriana menginginkan Jenar selalu ada di dekatnya. Mereka belum pernah bertemu sebelumnya hingga kemarin. Bahkan Oriana tak pernah tahu bahwa Jenar ada. Kejadian kemarin mengubah segalanya.
Oriana lalu memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Dia ingin menarik napas sejenak dari ramainya bisnisnya.
Selama di perjalanan pulang yang lumayan lama, pikiran Oriana mengawang ke berbagai hal. Jika ini memang sudah takdirnya, mungkin Jenar bisa keluar dari jurang kemiskinan seperti dirinya. Dan Oriana akan jauh lebih senang jika itu memang bisa terjadi di kemudian hari. Dari sekian banyak pelajaran hidup yang telah dilaluinya, sungguh jika kita bisa membantu satu orang saja, maka yang sebenarnya terjadi adalah kita telah membantu beberapa orang lain yang tak kita sadari. Sewaktu dulu Oriana diterima bekerja di perusahaan ini, bukan hanya Oriana yang mendapatkan gaji tetap tiap bulan dan mampu menghidupi keluarganya. Tapi secara tak sadar, kesehatan dan kualitas hidup kedua orang tuanya juga semakin membaik. Papa semakin jarang sakit, Mama juga dapat menjaga makanannya. Dan ketika akhirnya Oriana dipercaya untuk memegang perusahaan, kedua orangnya dapat hidup lebih damai di tempat yang mereka idam-idamkan dan jauh dari keramaian kota.
Dan sekarang pun, ratusan orang bekerja untuknya, yang dimana mereka bisa menghidupi dan menaikkan taraf hidup orang-orang di sekitar mereka juga. Harapan dari Oriana adalah, jika suatu hari Jenar sudah dapat keluar dari titik terendah finansialnya itu, Jenar dapat membantu orang-orang di sekitarnya pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Soul Called Home
RomanceLGBTQ+ CONTENT! GXG! Hingar-bingar kehidupan di Jakarta tak seelok cerita orang. Ketimpangan sosial menjadi pemandangan sehari-hari. Tak henti tiap insan mencoba peruntungan demi sesuap nasi dan sesenti harga diri. Oriana, seorang wanita sukses dan...